Ekonomi Desa Jadi Lebih Memikat dengan Kain Tenun Ikat
Mayoritas perempuan di salah satu desa di Kabupaten Sumba Timur adalah penenun. Kain-kain tenun ikat khas Sumba sebenarnya merupakan potensi lokal yang sangat bernilai ekonomi. Tetapi pada awal BUMDes hadir, alih-alih mengembangkan pemasaran kain tenun ikat, unit usaha yang dipilih adalah kios barang eceran. Akibatnya, BUMDes pun macet dan mengalami kerugian.
Bapak Jhoni, sebagai kepala desa, merasa BUMDes tidak mungkin terus-menerus merugi. Solusi untuk memajukan BUMDes ia dapatkan setelah mengikuti rangkaian pelatihan yang difasilitasi oleh program ENVISION yang didanai oleh Uni Eropa (European Union). Ia menyadari dan mulai berharap agar usaha kelompok perempuan yang sebenarnya selama ini sudah ada di desa dapat diberdayakan. Potensi lokal berupa kain tenun ikat hasil karya mama-mama di desa pasti bisa bermanfaat untuk BUMDes dan terlebih lagi untuk masyarakat.
“Kelompok tenun di desa kami terbentur masalah modal. Kami selaku pemerintah desa mencoba mengakomodir masalah ini. Karena saya melihat ada potensi dari kreativitas mama-mama di sini. Saat ini BUMDes juga memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan ekonomi, jadi kedua unsur ini saya dukung sebaik mungkin,” ujar Bapak Jhoni.
Bapak Jhoni dan aparat pemerintah desa lainnya pun makin menyadari bahwa BUMDes hadir untuk memajukan ekonomi desa dan mensejahterakan masyarakat desa. Oleh sebab itu, seharusnya unit usaha yang dipilih juga berasal dari potensi lokal. Selain itu, sama seperti usaha dagang lainnya, produk yang ditawarkan juga harus memiliki keunikan dan kualitas. Seringkali, produk-produk seperti ini merupakan hasil karya masyarakat desa, contohnya kain tenun ikat.
“Saat ini, sudah ada 54 lembar kain tenun yang terkumpul di BUMDes, 20 diantaranya sudah terjual dengan total harga lebih dari RP 14.000.000. Dari hasil penjualan tersebut, RP 5.000.000 sudah diberikan sebagai Pendapatan Asli Desa. Hasil usaha kain tenun ini membuat BUMDes maju. Perputaran ekonomi di desa berjalan. Kedepannya, BUMDes bisa mendukung bahan pewarna bagi kelompok tenun di desa,” tutur Ndapa Hudang, Direktur BUMDes.
Buah manis juga dirasakan oleh kelompok penenun perempuan yang ada di desa. Permasalahan benang, alat tenun, pewarna, dan kebutuhan modal lainnya berhasil mereka suarakan dan mendapat dukungan dari pemerintah desa. Proses produksi kain tenun dapat aktif kembali bahkan hingga terbentuk 10 kelompok penenun di desa. “Sebelum bekerja sama dengan BUMDes, hanya ada satu-dua kelompok saja. Karena kami kan hanya menjual sendiri di pasar begitu. Tapi setelah ada BUMDes, pemasaran juga lebih mudah karena pengurus yang membantu posting-posting, bikin pemasaran yang lebih kreatif begitu, jadi orang yang tadinya tidak tahu jadi tahu produk kami,” ujar Mama Lusiana, anggota kelompok penenun di desa.
Mama Lusiana pun menjelaskan bahwa BUMDes juga membantu para perempuan penenun berkreasi sebaik mungkin untuk mendapat kualitas kain tenun ikat yang terbaik. Para penenun didorong untuk tidak lagi membuat kain tenun ikat yang kualitasnya biasa-biasa saja.
“Dari hasil kerja sama kelompok dengan BUMDes ini, kami ibu-ibu bisa dapat uang yang dipakai untuk bayar uang sekolah anak. Ada juga yang dipakai untuk kebutuhan makan-minum. Jadi bisa membantu penghasilan bapak-bapak begitu,” ujar Mama Lusiana. BUMDes yang memperhatikan potensi lokal mampu memberdayakan para perempuan di desa hingga bisa menjadi salah satu pundi ekonomi keluarga.
Ketika pengurus BUMDes jeli melihat potensi yang ada di masyarakat, serta dijembatani dengan baik oleh pemerintah desa, maka akan muncul sinergi yang baik antara pihak-pihak ini. BUMDes akan kembali aktif dan menghasilkan keuntungan. Masyarakat pun terhubung dengan unit usaha yang memang bertujuan untuk mensejahterakan desa. Perputaran ekonomi di desa pun makin lancar berjalan dan memberi manfaat pada anak dan keluarga.
Penulis: Tim proyek ENVISION area Sumba Timur
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)