Pengembangan Transformatif di Mata Pahlawan Kemanusiaan Grace Hukom

Pengembangan Transformatif di Mata Pahlawan Kemanusiaan Grace Hukom

WVI adalah lembaga pelayanan kemanusiaan yang memakai pendekatan Transformational Development (TD) pada banyak programnya di lapangan. Iman Kristen menjadi landasan dalam pelayanan mereka. WVI tidak sekadar datang membawa program, namun memicu kesadaran dan melahirkan kemandirian pada masyarakat yang menjadi tujuan.

WVI misalnya mengupayakan air bersih. Mereka tidak berhenti menjawab isu fisik bahwa air telah tersedia. Sebab semua agensi bisa melakukan hal yang sama. Namun WVI sampai pada tahapan, apakah masyarakat merasa bersyukur dengan air yang tersedia itu, karena bisa menghidupi diri mereka selanjutnya? Apakah masyarakat menyadari bahwa mereka telah terbebaskan dari penindasan orang yang dulu menguasai air? Transformasi terjadi pada titik ini!

Kami pernah membangun pipanisasi air di wilayah Sumba Barat, NTT. Kita jangan lupa bahwa tanah-tanah yang harus dilalui untuk pemasangan pipa itu milik tuan tanah. Tanpa melibatkan mereka, pengembangan transformasi tidak bisa terjadi. Para pemilik tanah ini perlu  disadarkan bahwa dengan merelakan tanah mereka dilalui oleh pipa, maka mereka sudah melayani sesamanya yakni rakyat miskin yang tidak punya akses terhadap air bersih. Kami bisa saja langsung menarik pipa sesuai perintah kepala desa. Tetapi yakinlah, tiga sampai empat tahun kemudian  pipa bisa hancur dipotong-potong.  Tantangan TD di sini. Kalau sekadar kerja melakukan proses pengembangan, itu gampang.

Dalam TD selalu dipegang prinsip: Masyarakat jangan dijadikan “objek” yang terus ada,  supaya kita bisa terus mendapatkan sponsor dan bisa juga hidup dari sana. Pengembangan transformatif harus membuat masyarakat sadar bahwa  mereka telah dimerdekakan dari masa lalu yang mengungkung. Mereka akan berseru, “Kami telah merdeka!” Atau berkata, “We know who is our Lord.” Karena Tuhan telah membebaskan mereka dari relasi yang buruk dengan diri sendiri, relasi yang buruk dengan sesama, tidak memperlakukan alam semena-mena, dan kini mereka telah merdeka untuk berkembang dan  bertumbuh menjadi lebih baik.

Pertanyaan untuk mengukurnya mudah, yakni: Apakah masyarakat yang pernah kita bantu, dan kemudian kita tinggalkan, merasa bersyukur bahwa kita pernah hadir di sana? Apakah mereka merasa telah dimerdekakan dari keterbelakangannya? Atau jangan-jangan kita justru membuat mereka semakin tergantung dengan bantuan?

Pengembangan transformasional memang perlu waktu yang lama untuk bisa melihat hasilnya. Dan kebanyakan kita tidak betah dengan itu. Kita mau yang instan saja. Banyak orang tidak sabar dengan proses. Dan banyak yang tidak  mau menerima karena prosesnya yang panjang itu. WVI adalah lembaga yang taat dalam proses ini.

Saya selalu bilang, WVI bisa bertahan selama puluhan tahun seperti sekarang ini oleh karena mereka menyadari pelayanan ini milik Tuhan. WVI bertahan bukan karena siapa yang menjadi direkturnya atau siapa stafnya, dan lain-lain. 

Saya kasih contoh. Tahun 1997 terjadi kelaparan di Karubaga, Pegunungan Tengah, Papua. James Tumbuan yang menjadi direktur nasional kala itu. WVI mau melakukan respons bencana dengan rencana akan mengirimkan obat-obatan dan makanan. Tetapi kita tidak  punya uang. Yang bisa dilakukan adalah kami masuk ke dalam ruangan dan mulai berdoa. Mohon kepada Tuhan, kalau Ia berkenan warga bisa memakai WVI sebagai perpanjangan tangan-Nya untuk menyalurkan bantuan. Tuhan berkenan membuka jalan. Tentu saja setelah itu kami tidak tinggal diam.  

Tak disangka, setelah berdoa itu, telepon berdatangan dari mana-mana. WVI diminta datang mengambil obat-obatan. Datang mengambil bahan pangan dan pakaian. Semua yang dibutuhkan untuk respons bencana tersedia dalam waktu relatif singkat. Ada juga sumbangan uang yang cukup untuk kita kirimkan ke Papua. Proses-proses seperti inilah yang saya alami. Terjadi dari waktu ke waktu.

Tahun 1998 krisis datang. Kita mau membantu tapi juga tidak ada dana. Kami berdoa, minta Tuhan sendiri menuntun dan membuka jalan. Tiba-tiba bantuan datang kayak angin ribut. Sampai kita perlu tambah staf untuk mengurus semuanya. Dari 200 orang naik menjadi 1.000 orang. Kita merekrut anak-anak muda terbaik.

Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Semua ini terjadi karena WVI  taat pada visi-misi yang sudah Tuhan berikan. Taat pada core value-nya. Taat pada mandatnya yakni, bergantung kepada Tuhan!

Saya selalu bilang: Kamu boleh pintar, boleh hebat. Tapi kalau kamu mengandalkan diri sendiri, kamu nggak ada apa-apanya.  Sebab semua orang bisa bikin proposal. Teman-teman pasti jago bikin proposal. Tapi kalau kita tidak andalkan Tuhan, kita tak ada apa-apanya.

Semua uang yang “datang” itu kan bukan uang WVI.  Semua itu titipan para pendonor, agar kita melakukan pengembangan transformasional tadi.

Dalam rancangan seperti itulah yang membuat WVI bertahan sampai sekarang dan nanti.  Saya sangat yakin!  

Mau lembaganya berubah, pimpinannya siapa pun, selama takut akan Tuhan dan organisasi berjalan sesuai mandatNya, WVI akan tetap ada.

 

Ditulis oleh Alex Japalatu, Penulis Buku "Menuju Kemandirian WVI, Setiap Anak Hidup Utuh Sepenuhnya" berdasarkan wawancara dengan Grace Hukom, 4 Mei 2021

 

Catatan:
Tulisan ini dipublikasikan untuk mengenang sosok Grace Hukom yang lebih dari 30 tahun melayani di Wahana Visi Indonesia. Grace Hukom wafat pada 19 Agustus 2021 di Jakarta. Semasa hidupnya Grace Hukom dikenal sebagai sosok pahlawan kemanusiaan yang mendedikasikan hidupnya pada pelayanan di sejumlah organisasi kemanusian, salah satunya adalah pelayanan yang berfokus pada anak bersama Wahana Visi Indonesia.


Artikel Terkait