Perempuan Pejuang Senyum Setiap Anak di Desa

Perempuan Pejuang Senyum Setiap Anak di Desa

“Anak adalah segala-galanya buat saya. Masa depannya harus cerah. Saya tidak akan membiarkan apapun terjadi pada anak-anak di desa ini,” ujar Bu Rita tegas. Seorang ibu yang sehari-hari bekerja sebagai petani ini berani memperjuangkan hak-hak anak di desanya. Padahal tidak sedikit pengalaman tidak menyenangkan yang ia terima ketika membela hak seorang anak. Intimidasi, ancaman, dan cemooh tidak membuat Bu Rita gentar. 

“Saya sempat mendampingi satu kasus kekerasan terhadap anak. Orang tua pelaku tidak terima kalau kasus diproses secara hukum. Sempat orang tersebut datang ke rumah saya dalam keadaan mabuk lalu marah-marah. Sebagai manusia biasa, saya sempat takut, tapi saya tetap bertahan karena ini ada dasar hukumnya. Saya ingin hukum bisa ditegakkan demi hak seorang anak,” cerita Bu Rita. Ia menyadari bahwa sejak memutuskan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang WVI fasilitasi, hidupnya akan selalu menuju jalan kebenaran. Tantangannya tidak akan mudah namun apa yang diperjuangkan juga hal yang sangat berharga yakni, kesejahteraan setiap anak. 

Melihat ke belakang, Bu Rita dulunya dikenal sebagai warga desa yang acuh, sama seperti kebanyakan warga lain. Sesama warga desa tidak mengenal arti kebersamaan. Orang tua hanya memperhatikan anaknya sendiri dan memilih untuk masa bodoh dengan kondisi anak-anak lain di desa. Namun, pada satu momen, untuk pertama kalinya Bu Rita melihat bahwa anak-anak sebenarnya adalah sosok yang paling rentan. “Anak-anak di desa itu mudah terpengaruh, masih labil. Padahal seringkali yang memberi pengaruh tidak baik itu justru orang terdekat,” tuturnya. 

“Saya jadi tertarik dengan kegiatan-kegiatan WVI di desa karena WVI itu selalu semuanya tentang anak,” ceritanya. Sejak 2012, Bu Rita pun menjadi salah satu relawan masyarakat yang berperan penting dalam perubahan-perubahan besar dalam hidup anak-anak. Desa tempat Bu Rita tinggal merupakan salah satu desa dampingan WVI di area Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. 

Bu Rita memaparkan bagaimana desanya kini sudah sangat ramah anak. “Dulu, anak aku ya anak aku, anak kamu ya anak kamu. Sekarang, ya anak tetangga itu anak kita juga. Jadi kalau ada anak tetangga yang orang tuanya di sawah seharian itu biasanya ditanya, sudah makan belum. Kalau belum ya dipanggil ke rumah lalu dikasih makan,”. 

Berkat pendampingan Bu Rita, sekarang orang tua juga tidak lagi membeda-bedakan hak anak perempuan dengan anak laki-laki. Kini, setiap anak perempuan di desa dapat memiliki peluang berkembang yang sama dengan anak laki-laki. “Dulu itu, cara dulu, anak perempuan hanya di dapur. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi. Tapi sekarang malah banyak anak perempuan yang sampai kuliah. Orang tua sudah sadar artinya pendidikan,” ungkapnya. 

Selain berdampak positif pada anak perempuan, pemerintah desa pun makin familiar dengan isu kesetaraan gender. Saat ini, Bu Rita menjabat sebagai anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Ia menjadi perwakilan kaum perempuan di desa. Hal ini berarti suara dan partisipasi perempuan sudah diperhitungkan dalam program-program pengembangan desa. 

Di luar isu kesetaraan gender dan kepedulian akan anak, Bu Rita juga berkontribusi dalam mewujudkan desa yang aman bagi anak-anak. Tiga tahun terakhir ini, pemerintah desa dan Bu Rita tidak menerima aduan kasus kekerasan terhadap anak. Baik orang dewasa maupun anak-anak sudah sadar tentang pentingnya perlindungan anak. “Dulu kasus pernikahan dini di desa ini tinggi. Tapi sekarang sudah tidak pernah saya dengar lagi. Pemerintah desa sudah tidak mau mengurus dokumen kalau ada orang tua yang mau nikahin anaknya dan ada sanksinya juga,” jelas Bu Rita. 

Menurut Bu Rita, pelatihan Pengasuhan dengan Cinta (PDC) yang ia peroleh melalui WVI juga berpengaruh besar bagi para orang tua. Materi-materi PDC mampu mengubah pola pikir orang tua mengenai menyayangi anak dengan cara yang tepat. Selain itu, PDC juga menjadi wadah bagi para orang tua berdamai dengan masa kanak-kanak yang sarat akan kekerasan dan memutuskan untuk tidak melakukan hal yang sama pada anaknya sekarang. “Orang tua sekarang tahu mencintai anak tapi tidak tahu maknanya,” tutur Bu Rita, “contohnya, karena sayang, anak dikasih gawai tapi tidak dibatasi jamnya. Sekarang sudah dibatasi,”. 

Banyak perubahan terjadi di desa dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Namun bagi Bu Rita, semua kontribusinya pada perubahan tersebut berawal dari diri sendiri terlebih dahulu. “Semua hal yang saya peroleh dari pelatihan-pelatihan yang WVI fasilitasi, itu makin menyadarkan saya juga. Mungkin saya juga pernah melakukan hal yang sama seperti warga lain. Artinya, saya harus berubah dulu baru saya sebarkan ke masyarakat. Karena kalau berubah, harus dari diri sendiri dulu,” ujarnya. 

Dengan keyakinan, Bu Rita berkomitmen untuk terus melanjutkan perannya sebagai relawan masyarakat yang mengutamakan kesejahteraan anak-anak di desanya. Ia bermimpi, anak-anak di desa hidup aman dan sejahtera. Bagi Bu Rita, seorang anak itu masa depannya masih panjang. Oleh karena itu, apa salahnya bila setiap orang menanamkan kebaikan dalam kehidupan anak tersebut. Sehingga nantinya, ia pun bisa lanjut menanam kebaikan dalam kehidupan generasi berikutnya. “Saya ingin, anak-anak di desa ini tersenyum. Saya tidak ingin kembali ke pola yang dulu dan tidak memiliki banyak wawasan tentang pentingnya seorang anak,” pungkasnya. 

Pada tahun 2023, kantor operasional WVI area Kabupaten Sambas telah mengakhiri masa pelayanannya. Setelah selama 15 tahun mendampingi anak dan masyarakat Sambas, kini tongkat estafet pengembangan masyarakat berada di tangan sosok-sosok seperti Bu Rita dan juga pemerintah setempat. Perubahan-perubahan yang saat ini terjadi akan terus berlanjut dari generasi ke generasi karena sosok pewujud harapan seperti Bu Rita dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. 

Kini anak-anak di salah satu desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat tidak perlu lagi sulit bersekolah, bahkan anak dengan disabilitas pun sudah dapat mengakses pendidikan. “Teman anak saya ada yang anak dengan disabilitas. Dia masih SD waktu itu dan tidak sekolah karena orang tuanya tidak bisa mengambil tugas ke sekolah. Maklumlah, ibunya punya dua anak balita jadi pasti sulit meninggalkan rumah,” cerita Bu Rita. Melihat kondisi tersebut, Bu Rita kemudian berinisiatif untuk berdiskusi dengan pihak sekolah dan mencari solusi terbaik. Pihak sekolah pun akhirnya menyadari bahwa anak dengan disabilitas pun berhak akan pendidikan, dan setiap guru justru harus mampu mengatasi hambatan anak tersebut dalam mengakses pendidikan. 

“Jadi solusinya, guru-guru yang mengantarkan tugas anak ini ke rumahnya. Sampai anak ini berhasil lulus SD. Saya masih ingat dan trenyuh kalau mengingat bagaimana senangnya wajah teman anak saya ini waktu memamerkan ijazah SD-nya pada saya. Dia sungguh ingin bisa lulus SD dan mimpinya itu akhirnya bisa tercapai,” tutur Bu Rita. 

Menjadi jalan bagi harapan setiap anak adalah panggilan Bu Rita. Panggilan hidup yang tidak mudah namun ternyata membawa kebahagiaan yang tidak tergantikan dengan apapun. Seperti Bu Rita yang ingin membuat anak-anak di desanya tersenyum, apakah kita juga dapat menjadi alat untuk menerbitkan senyum di setiap wajah anak Indonesia? Kunjungi tautan wahanavisi.org/sponsoranak untuk informasi rinci mengenai program sponsor anak yang dapat menjadi jalan Anda untuk menciptakan harapan bagi anak-anak paling rentan di Indonesia. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait