Perjalanan Panjang Pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang
Tanggal 12 April 2022 menjadi hari bersejarah bagi seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelompok, khususnya bagi anak di Indonesia. Setelah menunggu 10 tahun perjalanan pembahasan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), akhirnya disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang TPKS pada pukul 10.30 WIB dalam pembicaraan tingkat II sidang Paripurna DPR-RI.
Sorak-sorai dan tepuk tangan dari sisi balkon dan para anggota dewan mewarnai ruang sidang Paripurna ketika Ketua DPR-RI Ibu Puan Maharani mengetok palu sidang sebagai tanda RUU TPKS sah menjadi undang-undang. Rasa haru atas kemenangan ini menyelimuti semua orang baik yang menyaksikan di lokasi maupun secara daring.
Pengesahan UU TPKS ini merupakan momen bersejarah dalam upaya perlindungan anak terhadap kekerasan seksual di Indonesia. Undang-Undang ini memberikan jaminan perlindungan cukup menyeluruh bagi anak. Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan, tetapi menjadi delik laporan.
Jika selama ini penegak hukum mendasarkan pemeriksaan berdasar adanya aduan atau tidak, nantinya jika kontak seksual tersebut dilakukan terhadap anak atau kelompok disabilitas, aparat sudah bisa bergerak tanpa menunggu aduan. UU TPKS secara tegas mengatur tentang peniadaan persetujuan kontak seksual terhadap anak, pemaksaan perkawinan, dan dana bantuan korban.
Perjuangan WVI dalam proses perumusan dan pengesahan RUU TPKS dimulai sejak akhir tahun 2019. Upaya ini merupakan upaya gabungan antara divisi Perlindungan Anak dan Advokasi, baik di tingkat nasional maupun Area Program WVI. Data-data insiden safeguarding dan laporan-laporan kisah kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh tim di Area Program menjadi acuan dan landasan dalam perumusan poin undang-undang. Selain itu, WVI juga ikut tergabung dengan Indonesia Joining Forces (IJF), Jaringan Aksi dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dalam melakukan advokasi RUU TPKS.
WVI mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang senantiasa menerima masukan organisasi fokus anak terkait pasal-pasal dalam RUU TPKS. KPPPA juga turut mendengar berbagai masukan dari lembaga swadaya masyarakat, jaringan, dan aliansi yang tergabung dalam Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children, Jaringan Aksi dan Aliansi PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak).
Mari terus kawal implementasi UU agar layanan perlindungan terhadap anak, terutama di daerah-daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T) tetap bisa berlangsung dengan baik serta anak-anak di daerah 3T mendapatkan fasilitas dan perlindungan anak yang memadai.
Ditulis oleh: Lia Anggiasih, Public Policy Analyst Wahana Visi Indonesia
(Foto: ilustrasi perlindungan anak)