Fakta Megathrust dan Kepercayaan Publik di Bawah Tsunami Informasi

Fakta Megathrust dan Kepercayaan Publik di Bawah Tsunami Informasi

 

Indonesia memiliki privilege menjadi tuan rumah tiga lempeng tektonik besar, yaitu Eurasia di bagian utara yang bergerak 0-3 cm/tahun, Pasifik di bagian timur yang bergerak sekitar 10 cm/tahun, dan Indo-Australia di bagian selatan. Pertemuan ketiganya menyebabkan adanya zona tumbukan dan salah satunya adalah megathrust. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa Indonesia memiliki 13 segmentasi sumber gempa megathrust dengan potensi mencapai 9,2 magnitudo di Megathrust Aceh-Andaman. Bahkan jika dilihat kembali, sepanjang zona subduksi Sumatra dan Jawa, potensi magnitude gempa setidaknya mencapai 8,7.

Dua dekade setelah tsunami Aceh 2004 yang menewaskan lebih dari 230.000 jiwa masih memunculkan pertanyaan reflektif, apakah pengalaman gempa bumi, khususnya gempa di zona subduksi selama ini sudah cukup menyadarkan pentingnya upaya pengelolaan risiko bencana? Wahana Visi Indonesia (WVI) yang hingga saat ini hadir di 81 kabupaten/kota masih merasakan tantangan dalam penguatan kapasitas pengurangan risiko bencana masyarakat. 

Beberapa di antaranya adalah: (1) Kesadaran masyarakat dan pemerintah desa mengenai pentingnya pengurangan risiko bencana di wilayah desa/kelurahan yang masih rendah; (2) Adanya persepsi/anggapan umum bahwa bencana adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bencana adalah takdir sehingga mitigasi bukan prioritas; (3) Kurangnya jumlah fasilitator Desa Tangguh Bencana (DESTANA) sehingga cakupan wilayah yang didampingi cenderung sedikit. Pada 2024 hanya tercatat 1.461 fasilitator sehingga kebutuhan fasilitator masih sangat besar untuk akselerasi 54.000 desa rawan bencana menjadi desa Tangguh; (4) Pendanaan untuk mitigasi masih sangat kecil proporsinya dibandingkan dengan tanggap bencana; dan (5) Lokasi geografis Indonesia yang menyulitkan pemerataan pembangunan infrastruktur dan distribusi logistik.

 

Bencana Geologi: Besar dalam Dampak, Jarang dalam Frekuensi

Jika membandingkan data kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam lima tahun terakhir saja, hanya sekitar 0,6% merupakan bencana geologis, sedangkan sisanya hidrometeorologis dan sosial. Para ahli memperingatkan bahwa gempa megathrust dapat memicu tsunami besar, seperti yang terjadi pada 2004. 

Zona ini memiliki akumulasi energi yang signifikan, yang jika dilepaskan, dapat menyebabkan kehancuran yang masif. Akumulasi energi ini yang sering dikaitkan dengan seismic gap atau kawasan sumber gempa aktif namun belum mengalami gempa kuat dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun. Dua seismic gap yang dikemukakan oleh BMKG adalah Mentawai-Siberut dan Selat Sunda dengan masing-masing “puasa” gempa besar selama 227 tahun dan 267 tahun.

Menurut data BMKG, Indonesia mengalami ratusan gempa setiap tahunnya. Namun, hanya sebagian kecil yang memiliki dampak signifikan. Fakta ini sering membuat bencana geologi terlihat sebagai “anomali” daripada ancaman nyata, meskipun risikonya tetap besar. 

Data bencana BNPB 5 tahun terakhir menunjukkan signifikansi perbedaan rasio antara korban meninggal dan kejadian antara bencana geologis dan hidrometeorologis. Secara statistik, setidaknya 100 bencana hidrometeorologis menyebabkan sembilan korban meninggal, sedangkan satu bencana geologis menyebabkan tujuh orang meninggal.

Selama periode 2019-2024, WVI melakukan 30 respons tanggap darurat, di mana 15 bencana merupakan hidrometeorologis dengan total dana sekitar US$1,04 juta. Sisanya terbagi menjadi tujuh bencana geologis, sedangkan delapan lainnya merupakan gabungan dari bencana sosial dan kesehatan. Bencana yang tercatat selama periode tersebut menunjukkan bahwa bencana geologis hanya sekitar 23% dari keseluruhan bencana yang direspon WVI, namun alokasi dana untuk meresponsnya lebih dari dua kali dari bencana hidrometeorologis, yaitu US$2,36 juta.

Investasi dalam Mitigasi: Tantangan dan Ketimpangan

Media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap risiko bencana. Belajar dari narasi perubahan iklim yang memiliki daya tarik yang kuat karena membawa pesan bahwa pengaruhnya terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, dari lingkungan hingga ekonomi. Sedangkan gempa bumi atau tsunami mungkin menjadi berita besar selama beberapa pekan, tetapi jarang meninggalkan warisan naratif jangka panjang yang mendorong aksi global. Selain itu, visual dari bencana geologis sering kali terbatas pada kehancuran fisik, sementara visual perubahan iklim menawarkan simbol “harapan”.

Mengurangi risiko bencana geologis memerlukan investasi besar dalam infrastruktur, seperti pembangunan sistem peringatan dini tsunami, jalur evakuasi, dan desain bangunan tahan gempa. Namun, alokasi dana seringkali terhambat oleh fakta bahwa risiko ini dianggap sporadis. Sebagai perbandingan, mitigasi perubahan iklim seperti penggunaan energi terbarukan atau penghijauan lebih sering dilihat sebagai investasi jangka panjang yang dapat mendukung pembangunan ekonomi.

Di tingkat tapak, investasi pengurangan risiko bencana juga masih memiliki tantangan, bukan hanya infrastruktur, namun juga kapasitas masyarakatnya. WVI berupaya untuk mengisi gap dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh melalui beberapa pendekatan, antara lain pendampingan pembentukan desa tangguh bencana (DESTANA), Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) khususnya Pilar 2 (manajemen kebencanaan), edukasi masyarakat, dan advokasi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2023, WVI mencatat ada 30 desa dampingan yang diperkuat melalui pendampingan DESTANA dan 14 Satuan Pendidikan formal yang didampingi SPAB Pilar 2.

 

Bagaimana Membalikkan Fokus?

Tidak sedikit masyarakat yang khawatir terhadap banyaknya informasi yang disuguhkan di media, baik dari sumber resmi maupun analisis ahli dan media. Mengapa tidak, narasi dan visual yang dibawakan sebagian besar menyampaikan “kengerian” dengan dasar saintifik. Memang bukan hal yang sepenuhnya salah, namun kapasitas masyarakat dalam menerima informasi sangat berbeda-beda. Hendaknya kengerian ini diimbangi dengan edukasi preventif atau mitigasi risiko, promosi program pemerintah yang relevan, atau bahkan inovasi dan teknologi yang bisa menjadi solusi di masa depan. 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat, misalnya

(1) Edukasi Publik yang Berkelanjutan.

Banyak orang masih melihat bencana geologi sebagai hal yang tidak dapat dihindari. Padahal, edukasi yang menekankan pentingnya mitigasi seperti latihan evakuasi atau kesadaran akan tanda-tanda awal tsunami dapat menyelamatkan banyak nyawa.

(2) Narasi yang Menginspirasi 

Penting untuk mengubah cara bencana geologi dipahami. Alih-alih hanya menyoroti kehancuran, media dan pemerintah perlu menampilkan cerita tentang ketahanan masyarakat, keberhasilan mitigasi, dan inovasi dalam menghadapi risiko geologi

(3) Integrasi dengan Isu Perubahan Iklim 

Meski tampak berbeda, isu perubahan iklim dan bencana geologi saling terkait. Misalnya, kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim dapat memperburuk dampak tsunami di daerah pesisir. Integrasi kedua isu ini dalam kebijakan mitigasi dapat menciptakan perhatian yang lebih luas.

Refleksi Dua Dekade

Dua puluh tahun setelah tsunami Aceh, saatnya untuk merefleksikan pelajaran yang telah kita peroleh. Bencana geologi bukan sekadar fenomena alam, tapi sebagai pengingat akan kerentanan kita dan perlunya upaya kolektif untuk mengurangi dampaknya. Dalam menghadapi ancaman bencana, baik geologi maupun perubahan iklim, komitmen jangka panjang adalah kunci. Mengangkat kembali pentingnya mitigasi bencana geologi tidak hanya soal mengurangi risiko, tetapi juga soal melindungi masa depan masyarakat.


Artikel Terkait