Kekerasan Siber Dan Urgensi Pendidikan Seksual Anak
Ditulis oleh: Emmy Lucy Smith – Child Protection Team Leader, Wahana Visi Indonesia
Beberapa waktu ini dunia maya kembali diramaikan dengan kasus penyebaran video aktivitas seksual eksplisit seorang publik figur perempuan tanpa seizinnya. Ini bukan kali pertama peristiwa seperti ini terjadi. Lagi-lagi perempuan yang paling dirugikan dalam kasus-kasih semacam ini.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 juga menunjukkan adanya peningkatan kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) di tahun 2021 dan 2022. Hal ini sangat memprihatinkan, karena sementara pemerintah dan sekelompok masyarakat masih belum sepakat juga tentang pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi (Kespro) untuk remaja, anak-anak kita sudah bertumbangan menjadi korbannya.
Anggapan bahwa semakin sedikit yang diketahui anak, maka akan semakin menjauhkan mereka dari kemungkinan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan ternyata salah. Menggunakan pendidikan agama sebagai pencegah anak melakukan hubungan seksual juga tidak sepenuhnya terbukti.
Di dalam beberapa program berkaitan dengan remaja di Jakarta, Wahana Visi Indonesia (WVI) mendapat laporan dari 20-an anak yang mengatakan kalau mereka sudah melakukan hubungan seksual - termasuk dengan pacar orang dewasa - tetapi baru sadar bahwa yang terjadi sebetulnya masuk dalam kategori kekerasan seksual. Hal ini baru disadari setelah anak-anak tersebut mendapatkan informasi dari konselor remaja WVI.
Sedih mendengar penuturan anak-anak tersebut. Meskipun di awal tampaknya mereka memberikan konsen ketika akan berhubungan seksual, tetapi ternyata karena relasi kuasa yang tidak setara, sangat mungkin anak melakukannya karena rasa takut ditinggalkan,takut tidak dicintai, sudah di-grooming, atau karena bujuk rayu lainnya.
Demikian pula dengan KSBG yang seringkali menimpa anak-anak kita terutama anak perempuan. Dengan dalih ekspresi kasih sayang, anak-anak mendokumentasikan adegan-adegan seksual, yang tanpa disadari bahwa suatu saat dokumentasi tersebut bisa menjadi bumerang buang mereka.
Tanpa pengetahuan yang cukup, anak jadi tidak memiliki kemampuan untuk melindungi diri mereka sendiri dari kemungkinan menjadi korban KSBG. Ketika memasuki usia remaja, salah satu bentuk perlindungan kita terhadap anak adalah dengan memberikan pendidikan Kespro sesuai dengan usianya.
Menghalangi anak untuk mendapatkan pendidikan Kespro membuka peluang anak mencari sendiri dari sumber yang kurang tepat atau bahkan sengaja menyesatkan. Di media sosial saat ini, informasi mudah sekali didapatkan, termasuk tentang seksualitas. Sayangnya, banyak pihak yang dengan sengaja memanfaatkan peluang tersebut untuk menyebarkan informasi sesat atau mempengaruhi secara negatif penerima informasinya.
Selain Kespro, pendidikan tentang kesetaraan juga sangat penting untuk segera diberikan. Jika melihat dari banyaknya kasus yang terjadi, sering kali ada relasi kuasa yang menyertai di dalamnya. Antara perempuan dan laki-laki, anak yang lebih tua ke yang lebih muda, guru dan murid, orang tua dan anak, dan seterusnya.
Tanpa pengetahuan tentang Kespro dan kesetaraan, bukan hanya anak perempuan yang rentan menjadi korban. Salah satu penelitian kami menunjukkan bahwa sejumlah anak laki-laki mendapatkan tekanan dari anak laki-laki lain atau laki-laki dewasa untuk menunjukkan kejantanan dengan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya atau perempuan lain.
Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, remaja adalah usia dimana anak sedang berusaha menemukan identitasnya. Proses belajar mengambil keputusan juga terjadi di usia-usia ini. Karena itu beban besar ada di orang tua atau pengasuh untuk melindungi anak, termasuk ketika ada relasi intim antara anak dengan orang berusia dewasa.
Jika anak-anak kita biarkan terus di dalam ketidaktahuan tentang kespro dan konsekuensinya, maka kemampuan mereka untuk mengambil keputusan juga mungkin akan salah. Bagaimana kita dapat berharap anak-anak bisa mengambil keputusan yang tepat jika kita tidak mau mendampingi anak, atau informasi yang kita berikan sifatnya parsial, atau bahkan hanya bermaksud menakut-nakuti.
Usia remaja adalah persiapan anak menghadapi dunia yang lebih luas. Kita tidak bisa lagi selamanya menjaga anak-anak untuk terus menerus di bawah pengawasan kita sebagai orang tuanya. Di tengah masyarakat yang patriarkis, anak-anak perempuan perlu diajarkan untuk memiliki cita-cita, rasa percaya diri yang tinggi dan menghargai tubuh mereka.
Anak laki-laki memiliki kerentanan berbeda. Laki-laki tidak bisa hamil, sehingga pemangsa membidik mereka karena dianggap tidak ada ‘bekasnya.’ Selain itu, konstruksi sosial yang mewajibkan laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng, bisa menyelesaikan masalah sendiri, membuat kasus kekerasan seksual pada anak laki-laki tidak mudah terungkap dan korban tidak mendapat layanan yang memadai. Jika tidak ditangani dengan baik, korban anak laki-laki di masa mendatang berpotensi menjadi pelaku.
Selain itu, anak laki-laki juga perlu diajarkan sejak dini untuk menghargai perempuan. Karena di masyarakat patriarki, anak laki-laki bisa saja belajar dari lingkungan dan menjadikan teman-teman perempuannya sebagai obyek eksplorasi seksual semata, seperti yang terjadi pada orang dewasa di sekitar mereka.
Kita sebagai orang tua juga harus mulai belajar merelakan anak-anak beranjak dewasa dengan membekali mereka informasi yang lengkap, serta berani membuka ruang diskusi ketika anak-anak bertanya. Jangan sampai akibat sempitnya pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi, pendidikan seksual atau kesetaraan, kemudian berujung pada kekerasan.
Artikel Opini ini telah terbit di Koran Tempo: https://koran.tempo.co/read/opini/482614/kekerasan-siber-berbasis-gender