Anak-anak Bengkulu Selatan Bersuara Berdasarkan Data
Dengan data yang valid dan analisa yang tajam, anggota Forum Anak di Kabupaten Bengkulu Selatan berhasil menyuarakan rekomendasi yang tepat untuk isu perkawinan usia anak dan kaitannya dengan status gizi balita. Hans, Nabila, dan Afgan sebagai perwakilan Forum Anak menyampaikan rekomendasi tersebut dalam Musrenbang Kabupaten. Mereka mendorong setiap pihak bekerja sama agar setiap anak perempuan dan laki-laki, dalam keadaan apapun, dapat tetap memiliki akses terhadap pendidikan. Anak-anak yang menjadi penyintas perkawinan usia anak juga harus memperoleh akses terhadap layanan kesehatan dan konseling. Sehingga, tidak ada satu hak pun yang tercerabut walaupun anak dalam kondisi mengandung atau trauma akibat tindakan kekerasan yang dialaminya.
Dalam Musrenbang tersebut, Forum Anak di Kabupaten Bengkulu Selatan menyuguhkan hasil penelitian yang dipimpin dan dilakukan oleh anak-anak dengan topik kesehatan remaja, stunting, dan perkawinan usia anak. Metode Child-Led Research (CLR) menjadi salah satu cara agar anak-anak terbiasa bersuara berdasarkan data. Anak-anak melakukan semua proses penelitian dari mengkonsep, pengambilan data melalui kuisioner, proses analisa hingga penyusunan hasil penelitian. “Saya bangga menjadi bagian dari tim peneliti ini karena data-data ini akan menjadi suara anak yang disampaikan kepada pemerintah daerah untuk memperjuangkan hak-hak anak di daerah kita,” ujar Hans, seorang remaja laki-laki yang saat ini berusia 17 tahun.
CLR ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa kondisi stunting anak di Bengkulu Selatan merupakan permasalahan serius yang terkait erat dengan praktik perkawinan usia anak yang masih terjadi hingga saat ini. Data menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Provinsi Bengkulu, termasuk Bengkulu Selatan, masih cukup tinggi. Menurut hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting Bengkulu Selatan berada di angka 23,2 %. Angka ini menunjukkan bahwa stunting masih menjadi masalah kesehatan yang signifikan di daerah pesisir pantai Bengkulu.
Perkawinan usia anak menjadi faktor penting yang berkontribusi pada tingginya angka stunting di daerah Bengkulu Selatan. Perkawinan dengan ibu yang masih berusia anak akan meningkatkan risiko anak yang dikandung mengalami stunting serta berbagai dampak negatif lainnya. Perkawinan usia anak dapat menyebabkan pertumbuhan fisik yang terhambat pada bayi dan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak saat melahirkan.
Berdasarkan penelitian Forum Anak, sebanyak 75,2% responden menyatakan bahwa perkawinan usia anak masih terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, selain mendorong terbukanya akses, Forum Anak juga mendorong pemerintah untuk memperketat syarat dispensasi nikah pada calon suami atau istri usia anak. Hal ini sesuai dengan peraturan Bupati Bengkulu Selatan No. 24 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan usia anak, bahwa usia minimum menikah adalah 19 tahun. Selain itu juga diperlukan peningkatan cakupan dan layanan kesehatan reproduksi dan psikologi bagi remaja. Rekomendasi lain yang anak-anak sampaikan saat Musrenbang adalah mengenai youth entrepreneurship. Hal ini dirasa penting dan mendesak agar remaja di Bengkulu Selatan dapat segera mengambil peranan dalam mengembangkan ekonomi lokal.
Gusnan selaku Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan menyambut baik partisipasi perwakilan Forum Anak di Musrenbang. “Kita akan berikan kesempatan pertama untuk anak-anak menyampaikan suaranya. Mereka adalah cikal-bakal penerus pemerintahan daerah Bengkulu Selatan,” ungkapnya. Selain mengasah kemampuan meneliti, CLR juga menjadi alat agar anak-anak mendapat porsi partisipasi yang besar di hadapan para pemangku kepentingan.
“Saya berharap apa yang kami sampaikan dari advokasi itu bisa didengar, dipertimbangkan, dan direspon secara serius oleh pemangku kebijakan dalam mengatasi isu perkawinan usia anak. Isu anak harus menjadi fokus bersama, khususnya pemerintah daerah dalam memberikan kebijakan yang terbaik untuk anak,” pungkas Hans.
Setiap anggota Forum Anak yang terlibat dalam CLR dan berhasil bersuara di Musrenbang juga mengalami perubahan secara pribadi. “Ini pengalaman luar biasa. Kali pertama ini, melakukan penelitian yang dipimpin oleh anak. Saya merasakan perubahan pengetahuan mengenai perkawinan usia anak yang sebelumya dianggap biasa saja. Setelah merasakan partisipasi dalam penelitian ini, saya juga memiliki cara berpikir yang baru yakni, setiap anak berhak mendapat layanan pendidikian dalam kondisi apapun,” ungkap Nabila.
Kesan berbeda datang dari Afgan. Selama proses menyebarkan kuisioner kepada teman-teman di sekolahnya Afgan sempat menerima penolakan. “Saya mendapat pelajaran untuk mengatur emosi saya dan menghargai suara dari teman-teman saya, serta mengedukasi teman saya agar memberikan suaranya yang sangat berharga untuk anak-anak di wilayah ini,” ujarnya.
Memimpin dan menuntaskan sebuah penelitian menjadi pengalaman yang berharga bagi para anggota Forum Anak di Bengkulu Selatan. Bukan hanya mengasah cara berpikir kritis dan kecerdasan emosional, anak-anak semakin sadar akan pentingnya aspirasi seorang anak dalam memperjuangkan hak anak. Partisipasi mereka dalam Musrenbang Kabupaten pun menjadi langkah awal agar anak-anak dapat menjadi agen perubahan untuk anak-anak lain. Para aktivis muda inilah yang akan terus mengadvokasi pemenuhan hak anak serta menyuarakan perlindungan bagi setiap anak di Indonesia.
Penulis: Jeng Karona Sitepu (Koordinator di kantor operasional WVI area Bengkulu Selatan)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)