Cerita Anora: Fakta Kaitan Isu Kesehatan dengan Ekonomi

Cerita Anora: Fakta Kaitan Isu Kesehatan dengan Ekonomi

Anora, seorang anak berusia empat tahun tapi berat badannya hanya 12,4 KG*. Idealnya, anak perempuan seusianya memiliki berat badan 16 KG. Beberapa kali mengikuti penimbangan di Posyandu, berat badan Anora sering turun dan sulit untuk naik lagi. Hal ini terjadi karena asupan gizi Anora tidak terpenuhi. 

Ia tinggal di salah satu desa terjauh di Kabupaten Ende, NTT. Di rumah yang sederhana, Anora tinggal bersama delapan anggota keluarga lainnya. Sehari-hari orang tuanya bekerja sebagai petani, tanpa penghasilan tetap. Anora juga sering ikut ke kebun bersama orang tua atau nenek-kakeknya. Keluarga Anora tidak punya pilihan selain membawanya ke kebun karena tidak ada yang bisa mengasuh Anora di rumah. 

Bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh Anora hanya karbohidrat seperti jagung dan ubi. “Kalau ikan, kami beli itu, sekali-sekali saja datang (penjualnya). Kalau telur, kami beli hanya satu butir, untuk dia saja. Telur satu butir harganya RP 3.000. Sehari-hari Anora makan nasi atau jagung dengan sayur. Kadang-kadang dengan ikan atau telur,” cerita Mama Priska, ibu dari Anora. 

Kedua orang tua Anora sulit memenuhi asupan bergizi seimbang bagi Anora. Upaya terbaik selalu mereka coba namun banyak hambatan yang harus diurai agar Anora dapat memperoleh asupan gizi yang cukup. Saat ini, kebutuhan protein untuk makanan Anora masih harus dibeli dari penjual yang ada di sekitar desa. Sedangkan pengetahuan Mama Priska untuk mengolah bahan pangan lokal pun terbatas. 

Mama Priska masih berusaha mencari cara terbaik agar selera makan Anora meningkat. Ia mulai mencoba mengolah sayuran dengan cara yang bervariasi seperti yang ia pelajari dari kelas-kelas Pos Gizi di desa. Kegiatan Pos Gizi di desa tempat Anora tinggal difasilitasi oleh Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan tenaga kesehatan dan kader setempat. 

“Saya merasa kondisi Anora tidak baik-baik saja. Ada anak yang usianya lebih muda dari dia tapi berat badannya lebih naik,” tuturnya. Sebagai seorang ibu, ia berharap menu makanan Anora bisa lebih bergizi. Mama Priska ingin bisa mengolah bahan pangan yang ada di desa. “Saya ingin apa yang saya olah, Anora bisa makan,” ungkapnya. 

Mama Priska menyadari bahwa lauk-pauk yang mengandung protein seperti ikan, daging, dan telur sangat penting untuk tumbuh-kembang anaknya. Namun saat ini, berbagai hambatan seperti akses terhadap bahan pangan yang mengandung protein, wawasan untuk mengolah bahan pangan lokal menjadi menu bergizi, serta kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil membuat Anora belum bisa mendapat asupan gizi yang cukup setiap hari, setiap kali makan. 

Isu pemenuhan gizi anak di daerah terjauh di Indonesia bukan hanya membutuhkan intervensi pada sektor kesehatan saja. Permasalahan yang kompleks seperti yang dialami Mama Priska dan Anora membutuhkan bantuan lintas sektor. Oleh karena itu, WVI menginisiasi proyek AMPUH (Aksi Mencegah Malanutrisi dengan Pangan Telur Harian) yang bukan hanya akan memenuhi tambahan asupan protein harian anak, tetapi juga memicu pergerakan ekonomi keluarga.  Melalui AMPUH, keluarga-keluarga rentan akan mendapat pengembangan kapasitas untuk memulai usaha ternak ayam petelur. Akses terhadap telur sebagai sumber protein tambahan untuk anak jadi lebih mudah. Keluarga juga mendapat penghasilan tambahan dengan menjual sebagian hasil ternak.  

WVI percaya, dengan dukungan berbagai pihak, termasuk Anda, anak-anak di Ende dapat bertumbuh-kembang optimal. Anak-anak dapat mengonsumsi makanan bergizi cukup, serta setiap orang tua mampu mengasuh dan mengasup dengan baik. 

 

 

*Hasil penimbangan berat badan di Posyandu bulan Februari 2025. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait