Kisah Kasih Keluarga-keluarga Luar Biasa

Kisah Kasih Keluarga-keluarga Luar Biasa

Mengasuh anak merupakan tanggung jawab terbesar orang tua, keluarga, bahkan masyarakat. Apalagi bila anak tersebut adalah anak dengan disabilitas. Secara alami, anak dengan disabilitas membutuhkan pengasuhan yang spesifik. Namun, karena dirasa perlu perlakuan khusus, seringkali anak dengan disabilitas secara sengaja dikecualikan dari kehidupan bermasyarakat. Padahal, pengasuhan yang spesifik bukan berarti mempersempit hak-hak anak dengan disabilitas. Sebaliknya, pengasuhan yang spesifik seharusnya menjadi jalan agar setiap hak bisa terpenuhi sehingga anak penyandang disabilitas bisa berdaya. 

Tidak semua orang tua pun paham bahwa anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti anak lainnya. Anak penyandang disabilitas sering dirasa sebagai beban bahkan aib. Hambatan dan kekhawatiran yang mempersulit akses hak yang paling mendasar membuat anak-anak hebat ini makin terkucilkan dari pemberdayaan. Selain itu, kurangnya ruang berpartisipasi juga membuat anak penyandang disabilitas sering merasa minder ketika beraktivitas di tengah masyarakat. Padahal mereka memiliki keinginan beraktivitas sama seperti anak-anak lainnya. 

“Saya memiliki kekhawatiran yang sangat besar jikalau anak saya sampai dirundung oleh teman-temannya. Sehingga sampai saat ini saya belum menyekolahkan anak saya,” cerita Karolus (48), ayah dari seorang anak dengan cerebral palsy. Anak laki-lakinya yang bernama Evaldus (11) merupakan satu dari 135 anak penyandang disabilitas yang berada di desa dampingan WVI area Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Khawatir akan penerimaan dari lingkungan sekitar menjadi salah satu batasan anak penyandang disabilitas mengakses pendidikan. Hal ini pun berakibat pada penerimaan anak akan diri mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Emirensiana (54),“Selama ini anak saya, Delfino (18), masih saja belum bisa menerima keadaannya terlahir seperti ini, dikarenakan dia selalu membandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya,”. 

Berawal dari kisah Karolus, Emirensiana serta orang tua lainnya, WVI bermitra dengan Cipta Aliansi Edukasi Indonesia dan pihak keuskupan di Manggarai mengadakan kegiatan untuk anak penyandang disabilitas bersama orang tua masing-masing. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai pendekatan yang tepat bagi anak mereka yang merupakan penyandang disabilitas dan memberi pemahaman mengenai pola pengasuhan yang tepat. 

“Dari kegiatan ini, wawasan saya dibuka kembali bahwa anak saya dan juga anak-anak yang lain memiliki kesempatan yang sama untuk belajar tapi caranya saja yang berbeda. Kekhawatiran saya jadi tidak beralasan. Ketika saya belajar menerima keadaan anak saya maka orang-orang di sekitar saya juga dapat belajar menerima keadaan anak saya. Ketika penerimaan ini datang dari diri saya sendiri dan lingkungan sekitar saya, maka akan tercipta suasana belajar yang nyaman dan positif bagi anak. Tidak saling bully,” cerita Karolus. “Saat tahun ajaran baru, saya akan mendaftarkan anak saya masuk sekolah,” janjinya. 

“Hari pertama setelah sampai di kegiatan ini, Delfino melihat anak lain yang keadaannya mirip dengannya dan mungkin lebih berat. Memang selama ini Delfino jarang sekali keluar rumah karena dia merasa malu dengan keadaanya. Tapi dengan kesempatan bertemu seperti ini, ia bisa menerima dan mensyukuri apa yang ada pada dirinya,” tutur Emirensiana. Delfino dan Emirensiana pun mengalami rekonsiliasi hubungan. “Delfino meminta maaf pada saya karena selama ini sering menyalahkan saya. Saya pun bersyukur kembali dikuatkan bahwa memiliki anak-anak istimewa adalah sebuah berkat luar biasa. Pengelolaan emosi secara khusus itu penting dilakukan orang tua yang mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus,” ungkapnya sembari meneteskan air mata. 

Kegiatan ini difasilitasi langsung oleh psikolog, fisioterapis, dan play therapist dari Cipta Aliansi Edukasi Indonesia. Pastor dan suster paroki turut memberikan sesi rekoleksi dan adorasi untuk memperkuat spiritualitas dan emosional para orang tua. Selain memberikan wawasan pengasuhan dan penguatan pada orang tua, kegiatan ini pun jadi kesempatan bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dan berekspresi. Momen ini menjadi spesial bagi tiap anak karena kesempatan untuk berpartisipasi dan berekspresi sangat jarang mereka dapatkan. 

“Saya sangat senang bisa membuat mainan pom-pom dan marakas sambil bernyanyi sama teman-teman. Apalagi saya diberikan kesempatan untuk bisa bernyanyi di depan,” ungkap Evalkonery (16). Eka, begitu ia akrab disapa, adalah remaja yatim-piatu dengan disabilitas down syndrome. Saat ini ia diasuh oleh kakak perempuannya. Kehidupan Eka merupakan salah satu contoh kondisi anak yang paling rentan. Namun, pihak pemerintah desa tempat Eka dan kakaknya tinggal memberikan dukungan pengembangan ekonomi dan mata pencaharian. Hal ini dilakukan agar anak-anak yang paling rentan ini bisa memperoleh hidup yang berkualitas. Saat ini, Paulina (20), kakak perempuan Eka, bisa memperoleh penghasilan dari usaha tenun. 

“Semenjak kepergian Mama, bukanlah hal yang mudah bagi saya untuk tinggal dan merawat adik saya. Melalui kegiatan ini, saya bersyukur bisa berjumpa dengan keluarga-keluarga lain yang mengalami pergumulan dan kesulitan yang hampir mirip dengan saya. Bahkan kami diberi kesempatan saling berbagi dan diskusi. Kami juga dikuatkan dalam hal mendampingi dan mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan penerimaan dan kesabaran yang ekstra,” cerita perempuan muda yang akrab disapa Olin.

Kegiatan ini pun menjadi contoh yang baik dalam penyediaan akses mobilisasi bagi anak penyandang disabilitas. Karena sebagian peserta menggunakan kursi roda maka dipasanglah beberapa bidang miring agar tiap peserta bisa mengakses area luar ruangan, ruang kegiatan, ruang makan, dan kamar tidur dengan aman dan nyaman.

“Awalnya saya takut dan malu untuk ikut kegiatan ini. Namun akhirnya saya memberanikan diri. Saya sangat tersentuh dengan penguatan-penguatan yang diberikan, meyakinkan saya untuk bisa menerima anak saya apa adanya. Secara khusus, akses mobilitas yang ada sangat mendukung bagi anak saya yang menggunakan kursi roda sehingga memudahkan saya juga,” tutur Felix (32), salah satu orang tua peserta. “Saat sesi fisioterapi, anak saya juga mendapatkan kesempatan diterapi. Saya juga jadi tahu kalau ada beberapa hal teknis yang perlu saya lakukan setiap hari di rumah untuk melatih motorik anak saya. Besar harapan saya agar tumbuh-kembang anak saya bisa lebih baik karena diterapi dan juga secara emosional didukung oleh kami sebagai orang tua,” lanjutnya. 

Setiap anak dan orang tua yang hadir dalam kegiatan ini pulang dengan membawa wawasan, pengalaman, serta relasi yang terbarukan. Bekal ini menjadi harapan agar anak-anak penyandang disabilitas di Manggarai, Nusa Tenggara Timur dapat bertumbuh, berkembang, dan berdaya. Mereka akan menjadi anak-anak hebat yang diasuh oleh orang tua yang tidak kalah hebat. Mereka dapat melampaui segala hambatan dan menggapai cita-cita sama seperti anak lainnya. 

 

 

Penulis: Ariella Bernadus dan Margareta Amat (staf WVI Kantor Operasional area Manggarai) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait