Papua ke Amerika karena Semangat Sekolah walau Susah

Papua ke Amerika karena Semangat Sekolah walau Susah

Dua puluh tahun lalu, Nanda masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar di Jayapura, Papua. Ia tinggal dalam sebuah rumah yang listriknya lebih sering padam karena banyak tunggakan yang belum terbayar. Nanda kecil harus belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan mengandalkan cahaya lilin. Ia juga tidak bisa sering-sering meminta uang jajan dari orang tua karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil. Kedua orang tuanya sehari-hari bekerja sebagai penjual sirih-pinang. Penghasilan sebagai pedagang kaki lima kerap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, apalagi untuk jajan. 

“Karena aku sudah mengalami hidup susah, aku lihat orang tuaku cari uang susah, kadang mau kasih anak-anaknya makan susah, jadi aku tidak boleh seperti itu. Kalau aku tidak mau berubah, aku akan jadi seperti orang tuaku, sementara aku sebenarnya punya kesempatan untuk berubah,” ungkap Nanda yang saat ini sudah berusia 29 tahun, menjadi sosok perempuan mandiri dan berdaya. 

Sekolah menjadi satu kesempatan untuk Nanda mengalami perubahan. Di tengah berbagai keterbatasan ekonomi, orang tua Nanda pun berusaha semaksimal mungkin agar ia dapat terus sekolah. "Orang tua juga tidak mau kita sama seperti mereka. Mamaku sering bilang, kalau tidak sekolah, tidak akan jadi apa-apa. Jadi harus berjuang, harus sekolah,” tuturnya. 

Selain biaya pendidikan, Nanda yang sejak usia SD hingga SMA menjadi wakil anak Wahana Visi Indonesia juga mendapat dukungan berupa peralatan sekolah. Pada awal 2000an, WVI melakukan program pengembangan masyarakat di area Jayapura, Papua. Salah satu fokus pelayanan WVI saat itu adalah untuk mendukung pendidikan anak-anak di Papua. Tujuan utamanya adalah agar makin banyak anak Papua yang menuntaskan pendidikan. Salah satu aktivitas yang WVI lakukan adalah dengan turut mendukung peralatan sekolah bagi anak-anak rentan di Papua. 

“Bantuan alat sekolah seperti buku, seragam, dari WVI itu sangat berarti. Itu penting buatku yang saat itu memang butuh tapi tidak bisa dapat. Aku ingat sempat dikasih tas sekolah dan tas itu betul-betul kupakai,” ungkap Nanda yang saat ini bekerja sebagai salah satu staf PT Freeport Indonesia. Mengikuti kegiatan-kegiatan WVI pun jadi sumber sukacita tersendiri bagi Nanda. Ia dapat sejenak melepas susahnya kehidupan karena harus membantu orang tua mencari uang, dan kembali menjadi sosok anak-anak yang senang bermain. “Di masa itu, diundang ikut kegiatan WVI benar-benar senang karena senang bisa mewarnai, menggambar, menulis surat ke sponsor, kumpul dengan teman-teman,” kenangnya. 

Selain dukungan dari orang tua dan para sponsor WVI, dalam hati seorang Nanda kecil telah tertanam motivasi yang kuat untuk suatu saat dapat menjadi berkat. Di dalam kamar yang gelap karena tidak ada listrik, seorang diri, Nanda kecil sempat menggambar sebuah rumah. Ia simpan kertas dengan gambar rumah tersebut di dalam Alkitab lalu berdoa, “Tuhan, aku mau sekolah yang benar lalu kerja, lalu mau beli rumah untuk orang tuaku,”. Doa inilah yang membuat Nanda kuat diterpa berbagai tantangan. Terbukti, Nanda berhasil menuntaskan pendidikan SD, SMP, SMA, hingga lulus sebagai Sarjana Akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan jalur beasiswa. Ia bahkan sempat mengikuti program beasiswa selama 10 bulan dari tempatnya bekerja untuk mengambil sertifikasi emergency security di kota Lexington, Texas, Amerika Serikat. 

“Aku percaya, doa dan mimpiku dari kecil itu sesuatu yang baik, bukan cuma keinginan daging. Dan sekarang setelah aku kerja, aku bisa beli rumah untuk orang tuaku,” ujarnya. Masa kecil yang bersisipan dengan kerentanan, Nanda hadapi dengan pendidikan. Masa muda yang bersisipan dengan tantangan pekerjaan, juga ia hadapi dengan ketangguhan. Apa yang berhasil Nanda raih saat ini bukan serta-merta didapat. Setelah lulus kuliah, Nanda sempat sulit mencari pekerjaan di Jakarta. Ia pun memutuskan kembali ke Papua agar tidak lebih lama lagi membebani orang tua. 

“Sempat down karena sudah lulus kuliah tapi kembali ke Papua kerja jadi staf di salah satu mall di Jayapura. Tapi tidak lama-lama down kkarena selama pekerjaannya baik, tidak ada salahnya juga. Yang penting bisa ada penghasilan dulu sambil cari kesempatan lain,” tuturnya. Ketika PT Freeport Indonesia membuka lowongan pekerjaan, Nanda mencoba dan berhasil menjadi staf. Saat ini, Nanda sudah bekerja di perusahaan tersebut selama enam tahun. 

“Momen-momen hidup yang aku alami, susah-susahnya hidup itu, aku lihat sebagai cara yang Tuhan pakai untuk aku mengalami perubahan. Sekarang, aku diberkati untuk menjadi berkat,” kata anak kedua dari empat bersaudara ini. Dengan pengalaman hidup yang menjadi deskripsi ungkapan “from zero to hero” ini, Nanda berharap bahwa setiap anak, terutama anak-anak di Papua, jangan menyerah, apapun kesusahan yang sedang dihadapi. Setiap anak punya kesempatan yang sedang menunggu untuk diperjuangkan dan dipertahankan. “Siapapun yang lagi susah saat ini, tidak apa-apa. Yang penting terus berusaha, baru nanti senang. Jangan biarkan keadaan mengubah atau menghentikan mimpi kita tapi sebaliknya, kita yang harus mengubah keadaan,” pungkasnya. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait