Pola Asuh Menentukan Tingkat Kebahagiaan Anak dan Orang Tua

Pola Asuh Menentukan Tingkat Kebahagiaan Anak dan Orang Tua

“Saya punya dendam pada Papa yang terbawa sampai dewasa. Saat ikut pelatihan PDC saya sadar pentingnya pemulihan agar tidak jadi pelaku bagi anak saya atau anak lain. Saat itu juga, saya putuskan belajar mengampuni Papa,” aku Pdt. Sepri, peserta PDC dari salah satu pos GMIT di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).  

Pernahkah Anda bertanya pada anak-anak: Apa yang ia pahami tentang hidup yang bahagia? Apakah saat ini hidupnya bahagia?  

Orang tua bertanggung jawab membina dan memelihara tumbuh-kembang anak serta menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih. Sayangnya, belum ada sekolah bagi orang tua yang dapat menjadikan mereka tangguh mengemban tugas pengasuhan. Situasi darurat kekerasan terhadap anak dan perempuan saat ini membuktikan betapa kompleks dan beratnya tugas mengasuh anak.  

WVI secara sinergis berjuang bersama mitra mewujudkan perlindungan anak melalui program yang langsung menyasar pada anak, masyarakat, keluarga, dan orang tua, seperti Pengasuhan dengan Cinta (PDC) yang terdiri dari prinsip dan keterampilan pengasuhan positif. 

Modul PDC adalah adaptasi Faith-Based Core Project Model (FB-CPM) World Vision Internarional ‘Celebrating Families’ yang merespon pertanyaan anak laki-laki dari Mali ketika ditanya tentang hidup yang sejahtera, “Bisakah Anda mengajari orang tua kami untuk menyimpan kami kembali di dalam hati mereka?”. Pertanyaan itu diungkapkan dalam kegiatan Latihan Mendengarkan Bersama Anak-anak.  

Satu setengah tahun kemudian, dalam kegiatan yang sama seorang ibu bertanya, “Bisakah Anda mengajari kami cara mendidik dan merawat anak kami dengan baik?”. Dua pertanyaan ini memberikan pesan kuat betapa anak ingin dicintai dan orang tua ingin menunjukkan kasih sayang kepada anaknya namun ada kesulitan memahami cinta, anugerah, kebaikan, pengampunan, dan ucapan syukur. 

PDC memberi wawasan baru tentang pentingnya pulih dari pengalaman traumatis masa kecil agar dapat menghargai kesempatan belajar di masa sekarang dan merajut harapan untuk keluarga. Pemulihan akan menjauhkan orang tua dan pengasuh dari kekerasan dalam pengasuhan. Setelah melihat perubahan dalam keluarganya, Pdt. Sepri menyadari besarnya tantangan budaya di Pulau Timor. Ia berkomitmen mengembangkan kapasitas diri dan jemaat untuk memulai gerakan yang berpihak pada kepentingan anak dan perempuan.

Menurut data Sistem Informasi Online (SIMPONI) tahun 2022, kekerasan pada anak yang mayoritas terjadi di Kabupaten TTS adalah persetubuhan anak oleh orang terdekat, diikuti dengan kasus pencabulan anak, KDRT, penganiayaan, pengeroyokan anak, pencobaan pemerkosaan, dan ingkar janji menikah. Pemerintah melalui DP3A telah berupaya menangani setiap kasus yang masuk hingga inkrah pengadilan, penyediaan rumah, dan dukungan biaya transportasi selama proses hukum. Namun semua upaya itu belum maksimal karena terkendala keterbatasan pengetahuan, keterampilan dalam pengasuhan, dan pengaruh budaya patriarkhi yang kuat. 

Bagi masyarakat budaya seperti di Pulau Timor, peran “tiga tungku” (tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah) sangat strategis. Bersama “tiga tungku”, WVI melalui Channel of Hope Child Protection and Gender meningkatkan kapasitas untuk menangani ragam pandangan teologis dan budaya yang melatarbelakangi praktik berbahaya terhadap anak dan perempuan. Selanjutnya dengan PDC, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengasuhan positif dalam keluarga. 

Para tokoh memobilisasi masyarakat untuk menekan angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di wilayahnya. Bersama orang tua yang telah dilatih PDC, membentuk Parent Support Group. PSG juga berkembang ke arah penguatan ekonomi keluarga melalui berbagai program pemberdayaan dan Saving for Transformations (S4T). Para perempuan mendapatkan kesempatan belajar lebih banyak melalui inisiasi Sekolah Perempuan (Skol Bife) didukung DP3A.  

Selain kelompok tersebut, WVI juga mendukung pelayanan anak melalui inisiasi Modul Membangun Kepemimpinan Anak Remaja Inklusif (MKARI) untuk menguatkan kelompok anak dan mendorong partisipasi anak di Gereja. Dampak yang dialami telah ditularkan ke klasis, lintas Kabupaten, juga Provinsi.  

Gereja Ramah Anak (GRA) memberi peluang pertumbuhan Gereja sebagai tempat pelayanan yang holistik untuk menjamin terpenuhinya hak anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, kerentanan, dan diskriminasi, baik di lingkungan Gereja, lembaga pelayanan milik Gereja maupun keluarga.  

Lima tahapan pengembangan GRA: 

  1. Komitmen: Gereja memetakan potensi, demografi, dan risiko kerentanan. Perlu melibatkan pemerintah untuk memahami IDOLA 2030. 

  1. Perencanaan: Gereja melakukan sosialisasi, penguatan kelembagaan, dan pembentukan Tim GRA. 

  1. Pembentukan: Gereja melakukan lokakarya dengan pemangku kepentingan dan menetapkan strategi partisipasi kelompok anak. 

  1. Pengembangan: Gereja dan pemerintah berbagi peran dan sumber daya. Perlu dilakukan evaluasi, dokumentasi praktik baik, dan pelaporan. 

  1. Replikasi: Gereja sudah memenuhi semua tahapan secara berkelanjutan melalui berbagai kegiatan penguatan dan pendampingan dari majelis jemaat/Sinode/Aras Gereja yang bekerjasama dengan pemerintah dan siap memberikan contoh praktik baik ke Gereja lain di daerahnya yang akan menginisiasi GRA. Gereja dalam tahap ini bisa menjadi mentor bagi Gereja lain yang ingin menerapkan GRA.

 

 

Penulis: Nathalia M. Nunuhitu (Faith and Development Manager)

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)


Artikel Terkait