Sumba Barat Daya Mengubah Hidup Martin

Sumba Barat Daya Mengubah Hidup Martin

“Saat itu, saya merasa kita diizinkan ada di dunia, kita diizinkan dapat berkat dari orang tua, dari pekerjaan, dari lingkungan sekitar, bahkan diizinkan Tuhan untuk bernafas, semua gratis. Jadi menurut saya, kita harusnya menyadari hidup ini bukan punya kita saja. Jadi tujuannya kalau sudah diberi berkat ya dibagikan. Kontribusi, kita berbagi dan bermanfaat untuk orang lain,” ujar Martin, menceritakan alasannya menjadi sponsor anak sejak tahun 2018. 

Selain menjadikan hidup lebih berarti, Martin juga memiliki kedekatan dengan anak-anak. Kecintaan Martin terhadap dunia anak-anak semakin menggebu ketika pandemi terjadi di tahun 2019. Sebelumnya Martin terlibat dalam semua pelayanan yang ada di Gereja tetapi ketika pandemi melanda, Martin menyadari bahwa ia ingin fokus menghidupi panggilannya sebagai guru sekolah minggu di Gereja tempat ia bertumbuh. Melalui sekolah minggu, Martin merasa imannya semakin bertumbuh. Karena sebagai seorang guru sekolah minggu, sebelum kelas dimulai, ia harus mempersiapkan diri semaksimal mungkin, baik dalam hal keterampilan mengajar maupun spiritual. 

Setelah selama enam tahun menjadi sponsor anak, Martin berkesempatan melakukan sponsor visit yang kedua kalinya pada Juni 2023 lalu. Jika sebelumnya di tahun 2019 Martin mengunjungi Kabupaten Sikka, kali ini ia bersama keponakannya berkunjung ke Kabupaten Sumba Barat Daya, daerah asal anak yang ia sponsori. Dengan semangat Martin mempersipakan banyak hal yang akan ia bagikan saat bertemu dengan anak dan masyarakat di salah satu desa dampingan WVI di Sumba Barat Daya. Contohnya, karena mengetahui di desa nanti tidak ada listrik, Martin sudah mempersiapkan pengeras suara kecil yang menggunakan baterai agar bisa melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama anak-anak. Martin ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak di Sumba Barat Daya. 

Perjalanan yang sudah dipersiapkan sedemikian baiknya ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba maskapai penerbangan membatalkan keberangkatan Martin dan tim WVI. “Saya membayangkan wajah anak-anak dan kalau saya batal berangkat, saya pasti menyesal,” ceritanya. Niat baiknya ini pun bersambut baik, dengan usaha ekstra, Martin tetap berhasil berangkat dan tiba di Sumba Barat Daya.  

Selama dua hari Martin berada di desa, ia banyak mendapat pengalaman dan cerita berarti.  Bertemu dengan anak sponsor, anak-anak di desa, dan masyarakat menjadi hal yang paling berkesan. Martin juga menjalani keseharian seperti warga desa. Memasak dengan kayu bakar, melihat masyarakat membawa satu jirigen air bersih seharga Rp 2.000,- sejauh kurang lebih 6 KM, mengunjungi kebun gizi milik masyarakat, bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat yang sudah berangkat berkebun sejak jam 3 pagi untuk pemenuhan gizi anak-anak agar terhindar dari stunting.  

“Yang menyentuh hati saya itu, mereka memperlihatkan semua itu bukan untuk saya mau minta ini-itu, gak loh, mereka tidak mengeluh, tidak berputus asa untuk berjuang dan berdoa untuk hal-hal yang esensial. Mereka menceritakan mereka sudah melakukan ini-ini dan akan melakukan ini-ini, mereka semangat,” tutur Martin.  

Martin juga bertemu dengan anak sponsor yang beliau dukung dan berkegiatan bersama anak-anak di desa. Bernyanyi dan bercerita bersama, mendengar cita-cita anak-anak. “Suatu hari, akan ada presiden dari Indonesia timur ya,” ujarnya menyemangat anak-anak yang antusias mengikuti kegiatan. Martin meyakini, anak-anak di Indonesia timur juga berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik, hanya saja mereka tidak punya akses.  

“Saya bersyukur, saya pulang membawa pelajaran yang akan saya ingat seumur hidup. Kebahagian yang lebih bahagia adalah ketika bahagia ditengah kesusahan. Sekecil apapun terang akan berguna di tengah kegelapan. Bukan saya yang memberkati Sumba Barat Daya, tetapi Sumba Barat Daya yang memberkati saya,” pungkas Martin. 

 

 

Penulis: Priskila Estauli (Supporter Service Executive


Artikel Terkait