Apakah Kebijakan Publik di Indonesia Sudah Ramah Anak?
Belakangan ini kasus pelecehan anak, perkawinan anak, dan kasus tidak ramah anak lainnya semakin memprihatinkan. Isu ini membuat Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Lia Anggiasih, seorang Public Policy Analyst Wahana Visi Indonesia (WVI) merasa ada banyak kebijakan-kebijakan negara yang perlu dievaluasi kembali untuk menjamin hak anak-anak Indonesia.
Menurut Retno Listyarti, kebijakan atau program terkait anak tidak terlepas dari anggaran yang diberikan oleh pemerintah. Dana yang dianggarkan untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA) berjumlah sebesar Rp200 milyar untuk seluruh wilayah Indonesia. Retno mengatakan 64 persen dari anggaran tersebut habis untuk gaji. Sementara itu, anggaran untuk anak dan perempuan di pemerintah daerah cenderung lebih kecil, sehingga tidak dapat memenuhi sarana prasarana yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama, Lia Anggiasih menambahkan, kebijakan anak di Indonesia sudah banyak. Namun, implementasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan tersebut masih kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya harmonisasi atau keselarasan antara kebijakan-kebijakan yang ada.
Ia menjabarkan perbedaan diantara batasan usia anak di dalam berbagai kebijakan-kebijakan yang berlaku di Tanah Air, yakni batas usia perkawinan (19 tahun), batas usia anak berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak (0-18 tahun), pemilik tanda identitas di Dukcapil (17 tahun), dan usia partisipan pemilu, yang di mana jika usianya masih anak-anak tapi sudah menikah, akan dianggap sebagai orang dewasa.
“Kita tidak punya harmonisasi. Dari batas umur di kebijakan-kebijakan saja tidak sama. Selama ini kebijakannya dibuat hanya berdasarkan kepentingan atau kebutuhannya seperti apa,” jelas Lia kepada Radio Trijaya FM dalam program Suara Perempuan, Kamis (22/6/23).
Retno menjelaskan empat lapisan upaya perlindungan anak. Pertama, anak harus mampu melindungi dirinya dari pengaruh-pengaruh buruk terlebih dahulu. Kedua, keluarga memiliki peran besar dalam melindungi anak-anaknya dengan pendampingan, arahan, dan edukasi. Ketiga, jika anak justru menghadapi masalah dari dalam keluarganya, sekolah dan masyarakat sekitar perlu berkolaborasi untuk melindungi anak. Dan terakhir adalah negara melalui kebijakan atau regulasi dalam perlindungan anak.
“Permendikbud 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan itu meminta sekolah-sekolah ini membentuk satgas anti kekerasan, membuka kanal pengaduan, dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga psikolog,” ujar Retno.
Kolaborasi dalam pemberdayaan anak perlu dilakukan melalui pendekatan pengembangan masyarakat. Advokasi-advokasi perlindungan anak patut diterapkan untuk mencapai perubahan yang berkesinambungan tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender.
Institusi pendidikan juga berperan sebagai rumah kedua anak untuk mendapat perlindungan. Agar hal tersebut dapat direalisasikan, kebijakan-kebijakan negara harus diimplementasikan dengan benar dan efektif.