Korban Anak-Anak Takut Pelaku Cepat Bebas

Korban Anak-Anak Takut Pelaku Cepat Bebas

Vonis berat terhadap pelaku kekerasan seksual tidak membuat penderitaan korban usai. Sepanjang sisa umurnya, korban harus menanggung luka. Luka yang mudah menganga lagi tiap kali topik yang sama mengemuka. Korban anak-anak akan terpaksa menjalani fase remaja dan dewasa dalam trauma.

KABUPATEN Bengkayang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia. Di lokasi yang masuk kategori daerah terluar, tertinggal, terdepan alias 3T itu, arus informasi tidak sederas di Pulau Jawa. Kasus-kasus kekerasan seksual juga menjadi tugas berat yang nyaris mustahil dicari jalan keluarnya.

TI berusia 18 tahun sekarang. Awal tahun lalu, dia menjadi korban kekerasan seksual. Pelakunya? Pelatih tari sekaligus pemilik Sanggar Bawak’ng Nyamo di Bengkayang. Ironisnya lagi, lelaki berinisial JP itu masih memiliki pertalian saudara jauh dengan korban. JP yang tercatat sebagai pendatang di Bengkayang menikah dengan kerabat AM, ayah TI.

’’Kadang kalau sendirian, tidak ada yang diajak bicara, saya nangis,’’ ungkap TI kepada Jawa Pos saat dijumpai dalam sesi konseling di kantor Wahana Visi Indonesia (WVI) Bengkayang pada Rabu (9/2). Hari itu dia didam[1]pingi AM. Seorang teman TI sesama korban juga hadir dalam sesi konseling. Dia adalah RA yang tiga tahun lebih muda darinya.

TI dan RA adalah dua di antara sembilan korban kebejatan JP. Ya, predator berusia 36 tahun yang kini mendekam di penjara itu merusak masa depan sebelas perempuan. Sembilan di antaranya anak di bawah umur dan dua yang lain dewasa. Atas perbuatannya itu, JP diganjar hukuman penjara 20 tahun.

’’Mendengar vonis itu, anak-anak sempat down. Mereka takut saat pelaku ini bebas nanti, mereka terancam. Meskipun sekarang secara psikologis sudah mulai normal,’’ terang AM.

TI mengaku tidak puas dengan putusan penjara 20 tahun itu. Dia yakin JP tidak menjalani hukuman selama itu. Sebab, ada kortingan hukuman dan lain-lain. TI yang duduk di bangku SMA khawatir pelaku cepat bebas dan mencarinya untuk balas dendam.

Sebegitu dalam trauma dan ketakutan TI atas peristiwa yang menimpanya pada awal tahun lalu tersebut. Dia masih sangat tertekan bahkan setelah setahun berlalu. Karena itulah, WVI masih terus memberikan konseling dan pendampingan.

Betty Lestari, fasilitator lapangan WVI Kabupaten Bengkayang, mengatakan bahwa pendampingan juga melibatkan rohaniwan. Tujuannya, mendampingi para korban dari sisi kerohanian. Dia mengatakan bahwa saat ini tahap pendampingannya masuk kategori psikologis ringan.Sampai sekarang pun, dia masih menjadi teman curhat para korban. ’’Saya siap sepanjang waktu menjadi teman curhat mereka,’’ ujarnya.

TI menyatakan, olahraga menjadi salah satu cara yang dipilih untuk mengusir trauma. Setiap Minggu, dia bermain futsal bersama komunitas kaum muda di rumah ibadahnya. Dia juga tetap semangat belajar untuk mewujudkan cita-citanya menjadi polwan. ’’Ada orang tua yang harus saya buat bangga,’’ tekadnya.

Magdalena Sima, pendamping anak dari Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Kabupaten Bengkayang, mengatakan bahwa pendampingan tidak hanya diberikan kepada korban. Tapi juga kepada orang tua dan masyarakat sekitarnya. Sebab, para korban yang masih di bawah umur butuh lingkungan yang aman dan nyaman.

Keluarga dan masyarakat perlu diberi pengertian agar menerima korban, tanpa menstigma atau melabeli mereka dengan hal-hal yang negatif. ’’Mereka adalah korban. Ini bukan salah mereka,’’ tegas Magdalena.

Dia menambahkan, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang bergulir di DPR bisa menjadi momentum untuk memaksimalkan perlindungan terhadap anak-anak. Magdalena punya harapan besar pada regulasi yang ditargetkan sah tahun ini tersebut. Sebab, ada poin-poin yang bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Itu penting untuk mencegah kejadian serupa terulang.

Menurut Magdalena, penting pula menetapkan kekerasan seksual sebagai kejahatan khusus. Dengan demikian, pelakunya juga diberi aturan khusus. Misalnya, tidak berhak atas remisi atau kortingan masa pidana. Juga tidak ada aturan boleh bebas setelah menjalani 2/3 masa kurungan. ’’Kalau vonisnya 20 tahun, ya dipenjara 20 tahun,’’ ungkap Magdalena.


Artikel Terkait