Penanganan Stunting dan Perkawinan Anak Perlu Perhatian Serius

Penanganan Stunting dan Perkawinan Anak Perlu Perhatian Serius

Angka stunting dan perkawinan anak di Indonesia masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian mendesak. Perkawinan anak berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka stunting, karena risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) meningkat. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memutus rantai permasalahan ini demi masa depan generasi muda Indonesia.

Hasil penelitian teranyar Wahana Visi Indonesia (WVI) menggambarkan dua persoalan yang saling berkelindan tersebut. Menariknya, penelitian dilakukan dengan metode Child-Led Research atau dilaksanakan langsung para peneliti usia anak. Anak yang merupakan subjek penelitian jadi berpartisipasi sebagai peneliti.

Penelitian ini dilakukan oleh 60 anak perempuan dan 33 anak laki-laki dari 11 provinsi dan 28 kabupaten/kota. Rentang usia mereka 12-17 tahun yang tergabung dalam Tim Peneliti Anak Nasional. Penelitian ini turut melibatkan tujuh orang muda perempuan dan dua orang muda laki-laki usia 18 tahun.

Tim Peneliti Anak melaksanakan tugasnya didampingi orang dewasa yang merupakan staf WVI. Jumlah responden 6.969 dengan hasil data yang bisa digunakan sebanyak 6.875. Asal daerah responden dari 34 provinsi di seluruh Indonesia dengan rata-rata usia 15 tahun.

Hasil Tim Peneliti Anak mendapati, 44 persen anak pernah merasa lapar di malam hari karena tidak ada makan malam. Ada 16 persen anak tidak punya cukup uang jajan atau tidak bisa membawa bekal ke sekolah. Selain itu, 18 persen anak pernah merasa lapar tapi tidak makan karena kehabisan makanan di rumah.

Dalam aspek frekuensi makan dan kecukupan makanan harian saja masih ada 1 dari 3 anak terpaksa melewatkan sarapan karena tidak ada makanan. Ada 1 dari 5 anak tidak dapat makan sampai kenyang karena tidak ada makanan atau uang jajan. Ditambah, terdapat 1 dari 5 anak tidak mengkonsumsi protein setiap hari.

Anggota peneliti anak asal NTT, Anne, mengaku sedih dengan hasil penelitian yang tim dapatkan. Anne berharap pemerintah memastikan edukasi yang merata dan terpadu kepada orang tua dan anak-anak terkait gaya hidup sehat.

“Seperti gizi seimbang, serta edukasi perkawinan anak dan hubungannya dengan stunting. Sangat diharapkan pemerintah dapat memastikan ada kurikulum sekolah yang memuat isu penyebab dan dampak stunting bagi anak-anak,” kata Anne dalam agenda pemaparan hasil penelitian sekaligus peluncuran kampanye ENOUGH yang digelar WVI di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Peluncuran kampanye ENOUGH Peluncuran kampanye ENOUGH dari Wahana Visi Indonesia bersama tim peneliti anak. (FOTO/dok. WVI)

Dalam acara ini hadir pula perwakilan dari Kementerian Kesehatan, KemenPPPA, Badan Pangan Nasional (Bapanas), pemerhati anak, LSM, dan mitra WVI. Kampanye ENOUGH diinisiasi Wahana Visi Indonesia (WVI) bersama kemitraan World Vision.

Kampanye ini hadir mengatasi isu malnutrisi anak-anak di Indonesia. Kampanye ENOUGH memang disertai penelitian yang dilakukan anak-anak dampingan WVI (Child-led Research) sejak Desember 2023 hingga Juni 2024. Hasil penelitian diberi tajuk ‘Situasi Remaja Terkait Gizi, Kesehatan, dan Perkawinan Anak’.

Direktur Nasional WVI, Angelina Theodora, menyatakan hasil penelitian mendapati belum semua responden sudah mengonsumsi ragam makanan sumber gizi. Seperti mengonsumsi makanan pokok, protein nabati, protein hewani, sayur-sayuran, buah-buahan serta minum air yang cukup setiap hari.

“Misalnya, sekitar satu dari lima responden tidak makan makanan sumber protein setiap hari. Padahal protein berperan dalam pertumbuhan anak,” kata Angelina.

Di sisi lain, kata dia, hampir seluruh remaja mengonsumsi jajanan yang kurang sehat setiap hari. Jajanan ini berkadar gula tinggi, berkadar garam tinggi dan berpenguat rasa. Selain itu, juga mengandung minyak berlebihan, instan atau siap saji, serta snack pabrikan.

“Hal ini dikarenakan kantin atau pedagang makanan di sekolah yang menurut sebagian besar responden banyak menjual jajanan kurang sehat tersebut,” ujar Angelina.

Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, proporsi remaja usia 13-15 tahun berstatus gizi pendek dan sangat pendek berimbang antara laki-laki dan perempuan yaitu, sebanyak 24,2 persen dan 24,1 persen. Sedangkan remaja laki-laki dan perempuan yang berstatus gizi kurang (thinness) dan gizi buruk (severely thinness) berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur berturut-turut adalah 9,8 persen dan 5,4 persen.

Di sisi lain, Angelina berujar, stunting berhubungan dengan perkawinan anak. Perkawinan anak terjadi di bawah usia 18 tahun dengan sesama anak atau orang dewasa. Anak yang mengalami kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis pada ibu dan anak.

“Perempuan yang pernah kawin di usia anak melahirkan bayi BBLR yang persentasenya sedikit lebih besar yakni 14,95 persen dibanding dengan bayi yang lahir dari perempuan yang tidak pernah mengalami kawin anak sebesar 13,57 persen,” terang Angelina.

Menurut UNICEF, bayi dengan BBLR lebih berisiko meninggal, sakit, mengalami stunting, mengalami hambatan kognitif, dan di kemudian hari terkena penyakit diabetes, hipertensi, serta kardiovaskular. Saat ini, capaian prevalensi stunting Indonesia masih 21,5 persen dari target di tahun ini yang diharapkan pemerintah bisa 14 persen.

Kondisi Perkawinan Anak

Hasil tim peneliti anak WVI juga mendapati hampir semua responden anak menyatakan perkawinan usia anak di daerahnya terjadi akibat pengaruh konten media sosial yang sarat pesan pergaulan bebas. Hal ini menjadi penyebab tidak langsung perkawinan anak.

Penyebab langsung perkawinan anak, didapati hasil akibat anak sudah melakukan hubungan seksual (80 persen), karena anak sudah hamil (79 persen), dan karena kemauan anak sendiri (68 persen).

“Separuh lebih responden menganggap perkawinan anak sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual. Namun, dua dari tiga remaja belum tahu hubungan perkawinan anak dengan stunting,” ucap Angelina.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena belum meratanya edukasi pencegahan perkawinan anak dan kaitannya dengan stunting. Padahal, hampir semua responden menyatakan bahwa perkawinan anak di daerahnya terjadi karena anak terpengaruh media sosial untuk melakukan pergaulan bebas.

“Lebih dari 80 persen menyatakan bahwa anak terjebak pergaulan bebas lalu menikah karena tidak pernah mendapat edukasi kesehatan reproduksi. Kurangnya perhatian orang tua atau masalah dalam keluarga pun sering menjadi penyebab perkawinan anak,” tambah dia.

Berdasarkan data BPS dalam satu dekade terakhir, angka perkawinan anak terus terjadi. Setiap tahun terjadi perkawinan anak di Indonesia sebanyak 10,5 persen. Provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi pada 2023 adalah Nusa Tenggara Barat sebesar 17,32 persen, Sumatera Selatan 11,41 persen, dan Kalimantan Barat 11,29 persen.

Menanggapi hasil penelitian ini, pemerhati anak, Sumarjati Arjoso, menyatakan literasi gizi dan kesehatan reproduksi untuk anak masih rendah di desa-desa. Melihat hasil penelitian yang menampilkan masih banyak anak tak punya uang saku ke sekolah, ini menjadi sangat miris.

“Sementara korupsi terjadi begitu besar, memang kita harus bergerak. Anak-Anak harus protes tuh karena korupsi itu menyita uang untuk rakyat,” kata Sumarjati.

Dia menilai, pemerintah perlu melakukan intervensi terkait makanan yang bergizi bagi anak. Masalahnya, jajanan tidak sehat mudah ditemui anak di lingkungan dan bahkan marak diiklankan di televisi.

“Sedihnya di desa-desa kadang anak menangis minta apa yang diiklankan. Ada mie instan, kue, minuman yang katanya buah padahal gulanya tinggi. Pemerintah perlu sekali mengatur iklan itu,” ujar Sumarjati.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan KemenPPPA, Amurwani Dwi Lestariningsih, menegaskan bahwa Anak memiliki hak kesehatan dan hak mendapatkan gizi yang cukup. Perkawinan anak dinilai sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan struktural.

“Ini masih anak sudah punya anak, dia mikir dirinya sendiri nggak bisa, malah suruh mikirin anak. Nanti anaknya punya anak lagi, ini struktur kemiskinan,” kata Amurwani.

Dia menyatakan bahwa KemenPPPA sendiri menggalakkan satuan pendidikan ramah anak. Hal itu dilakukan dengan membuat kantin sehat, kawasan sekolah bebas rokok, dan fungsi UKS yang berintegrasi dengan puskesmas.

“Jangan membayangkan generasi emas 2045 bila kita tidak menyiapkan anak dari sekarang berkualitas. Kesejahteraan anak itu bukan cuma pangan cukup tapi harus bergizi,” tutur Amurwani.

Sementara itu, Weni Kusumaningrum, Ketua Tim Kerja Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Gizi dan KIA, Kemenkes, menyataan pemerintah sangat mengapresiasi langkah WVI meluncurkan kampanye ENOUGH. Termasuk hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari peneliti anak-anak.

“Hal ini mendukung upaya pemerintah dalam mengentaskan kasus stunting dan malnutrisi di Indonesia. Kami mengimbau masyarakat luas untuk mendukung Kampanye ENOUGH,” ujar Weni.

Tim peneliti anak WVI berharap institusi mulai dari keluarga, sekolah, dan pemerintah dapat membangun sinergi yang kokoh. Setiap pihak secara serius dan kontinu menggarap inisiatif dan program untuk membangun sebuah negara yang ramah anak.

“Orang tua dapat menjadi agen utama mencegah perkawinan usia anak. Sekolah dapat meningkatkan perannya sebagai edukator dalam hal perlindungan dan kesehatan anak,” kata Anne dari tim peneliti anak.

Pemerintah desa turut diminta membangun program-program yang berpihak pada anak. Termasuk dinas-dinas terkait dari pemda untuk pendampingan. Pemerintah pusat seharusnya dapat membuat regulasi serta anggaran yang mendukung hak-hak anak.

“Harus ada peraturan desa atau daerah melarang perkawinan usia anak atau melarang orang tua menikahkan anak. Serta pengetatan persyaratan dispensasi nikah,” tambah dia.

Sumber: Penanganan Stunting dan Perkawinan Anak Perlu Perhatian Serius (tirto.id)


Artikel Terkait