Setetes Air Mengalirkan Harapan di Basmuti...
Kesulitan warga Desa Basmuti di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dalam mengakses air bersih menjadi akar dari masalah sosial yang ada di sana.
Kekerasan terhadap anak serta pemerkosaan menjadi salah satu dampak yang terlihat.
Upaya meretas keterbatasan pun dilakukan. Perbaikan tidak hanya dilakukan untuk mendapatkan air bersih, tapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
***
TERIK begitu menyengat ketika seorang bocah terlihat menggotong dua jeriken air melewati setapak yang terjal dan menanjak. Peluh menetes deras di dahi.
Ada lima jeriken berisi air yang sudah dia kumpulkan setelah bolak-balik mengisinya dari mata air di bawah. Untuk menempuh sumber air itu pun disertai perjuangan menanjak sekitar 2 kilometer.
Bahu dan badan bocah sekitar 11 tahun itu terlihat bergetar saat berupaya mengangkat jeriken berisi 5 liter itu ke atas gerobak. Satu per satu jeriken itu dia tempatkan ke gerobak dorong beroda satu.
Gerobak itu berwarna jingga menyala, seperti halnya properti dinas pekerjaan umum di instansi daerah. Namun, pemandangan anak mendorong gerobak beroda satu terlihat umum di sini.
Matahari yang tepat di atas kepala membuat perjalanannya kian berat. Di tengah jalan, ia menghentikan langkah untuk menghela napas. Sesekali bocah itu menyeka keringat yang mengucur deras.
Setelah menepuk-nepuk kedua pahanya yang pegal, ia melanjutkan perjalanan karena orangtuanya telah menunggu di rumah.
Perjalanan pulang tentunya bukan perkara mudah. Selain harus menempuh sekitar 2 hingga 3 kilometer, bahaya kerap mengadang.
Pada suatu waktu, seorang temannya pernah dihalangi beberapa anak yang lebih tua dan bertubuh lebih besar. Mereka membegal air yang susah payah telah dibawa.
Tidak hanya bentakan, terkadang mereka mengeroyok serta melakukan kekerasan fisik dalam aksi pembegalan air itu. Dalam keadaan pedih, perih, takut, tentunya tak ada pilihan selain merelakan berliter air yang sudah dibawa dengan susah payah itu berpindah tangan.
Jika nasib sial itu datang, tentunya bocah yang menjadi korban akan takut pulang. Amarah orangtua di rumah sudah terbayang karena kekurangan air dalam sehari akan sangat merepotkan, terutama bagi kebutuhan keluaga.
Ditambah lagi, kehilangan jeriken terasa seperti kehilangan harta paling berharga di rumah. Tidak heran jika jeriken di desa itu kerap dibubuhi nama pemiliknya.
Kondisi ini pun menyebabkan kekerasan domestik meningkat, terutama kekerasan terhadap anak.
***
Kekerasan dan pemerkosaan
Bagi anak-anak di Desa Basmuti, petualangan mereka sehari-hari memang lebih menegangkan dari permainan role playing game (RPG) di perangkat digital.
Desa ini memang kesulitan air sehingga warga harus menempuh perjalanan antara 4 hingga 7 kilometer untuk mendapatkan air bersih. Tugas mengambil air pun kerap dibebankan kepada anak-anak.
Adapun ilustrasi kekerasan dan ancaman terhadap anak didapatkan Kompas.com berdasarkan cerita yang dituturkan Yeri, sopir yang mengantar Kompas.com saat mengunjungi Desa Basmuti pada 25 Mei 2023.
Desa tersebut berada di Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yeri merupakan warga desa tetangga, yang masih berada di TTS.
Basmuti berjarak 2,5 jam perjalanan darat menggunakan mobil dari Soe, kecamatan yang juga merupakan ibu kota TTS. Akses menuju desa terbilang belum sepenuhnya lancar.
Jalan dari Soe menuju Desa Basmuti sebagian sudah dilapisi aspal, tetapi sebagian lagi masih berupa tanah yang dikeraskan.
Selama bertahun-tahun, warga Basmuti kesulitan mengakses air bersih. Wilayah yang tandus membuat sumber air terbatas.
Salah satu sumber yang selama ini dimanfaatkan warga adalah mata air di Dusun Nekmese, satu dari tiga dusun di Basmuti.
Warga harus berjalan kaki sangat jauh untuk mendapatkan air bersih. Mereka melalui jalan setapak yang terjal dan curam sambil memikul jerigen.
Rata-rata, orang dewasa memikul empat jeriken yang masing-masing berkapasitas 5 liter untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Anak-anak juga kerap diminta orangtuanya mengambil air.
Kisah begal air seperti yang dituturkan Yeri adalah satu dari sekian permasalahan akibat kesulitan akses air bersih, yang berdampak terhadap kesejahteraan anak di Basmuti.
Seorang relawan Wahana Visi Indonesia (WVI), organisasi kemanusiaan yang hadir di TTS sejak 2012, mengatakan bahwa anak-anak di Basmuti sering kali harus bolos sekolah demi mengambil air bersih.
"Ketika pergi ambil air pagi, maka (anak-anak) tidak bisa masuk sekolah karena jaraknya terlalu jauh. Belum lagi di mata air itu banyak orang antre ambil air. Jadi mereka pulang dari mata air itu sudah lewat jam sekolah," kata dia kepada Kompas.com, 25 Mei 2023.
Relawan itu menuturkan, anak-anak juga rentan menjadi korban pelecehan seksual dalam perjalanan mereka mengambil air bersih ke mata air.
Menurut relawan tersebut, lokasi mata air yang jauh dari permukiman menciptakan situasi yang tidak aman bagi anak.
Belum lagi, anak-anak harus melewati jalan setapak yang dikelilingi hutan, dan sering tanpa didampingi orangtua.
Pada 2015, pihak WVI menerima laporan kasus pemerkosaan anak perempuan usia sekolah dasar. Peristiwa itu terjadi ketika anak perempuan itu sedang dalam perjalanan mengambil air bersih.
Namun, kasus tersebut mandek di tingkat adat dan tidak dibawa ke ranah pidana. Dia menambahkan, kasus tersebut bukan satu-satunya karena banyak korban memilih bungkam.
Pada 2019, relawan WVI juga pernah mendampingi kasus pemerkosaan anak perempuan di bawah umur yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan desa (TKD).
Pelaku berusia sekitar 25 tahun dan telah menikah, sedangkan korban waktu itu masih berusia 17 tahun.
Peristiwa itu terjadi pada sore hari menjelang malam. Korban datang ke posyandu untuk meminta obat. Di sana, pelaku memerkosa korban berulang kali. Korban telah mencoba melawan, tetapi pelaku terus melakukan pemaksaan.
Akibat peristiwa itu, korban hamil hingga melahirkan. Saat ini korban hidup bersama anaknya yang telah berusia dua tahun.
Menurut relawan tersebut, keluarga pelaku mencoba berbagai upaya agar kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, para relawan meyakinkan keluarga korban agar kasus itu tetap dibawa ke ranah pidana.
"Daripada kita selesaikan secara kekeluargaan, berarti kita berikan peluang bagi yang lain untuk terus berbuat. Jadi, saya bilang lebih baiknya kita tempuh proses hukum," ujar dia.
Relawan itu mengungkapkan, keputusan untuk membawa kasus itu ke ranah pidana ditentang keluarga pelaku. Bahkan, keluarga pelaku pernah menyodorkan uang Rp 6 juta agar laporan dihentikan.
Ia menolak uang itu karena telah berkomitmen untuk menuntaskan kasus tersebut hingga pelaku mendapatkan hukuman.
Selama mendampingi kasus tersebut, ia mendapatkan berbagai tekanan dari keluarga pelaku. Tekanan itu mulai dari komentar sinis, bahkan diancam diusir dari tempat tinggalnya.
Perjuangan untuk mengawal kasus itu juga tidak mudah. Ia harus bolak-balik dari desa ke Kantor Polsek Kuanfatu yang berjarak 7 kilometer. Terkadang ia harus merogoh kocek pribadi untuk naik ojek, tetapi ada kalanya ia berjalan kaki.
Kegigihannya membuahkan hasil. Pada September 2019, pengadilan menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara bagi pelaku.
Menurut relawan tersebut, keberhasilan menuntaskan kasus tersebut di ranah pidana mendorong warga Basmuti lebih terbuka apabila menemukan kasus-kasus kekerasan seksual.
***
Tingginya angka kekerasan anak
Seorang anak di Desa Basmuti, Kabupaten TTS, NTT membawa pulang jerigen air bersih. Foto diambil pada 25 Mei 2023.
Menurut data yang dihimpun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) TTS, kasus kekerasan anak di kabupaten tersebut paling banyak ditemukan di Kecamatan Kuanfatu. Desa Basmuti termasuk dalam kecamatan tersebut.
Dua kecamatan lain yang mencatatkan kasus kekerasan anak tertinggi di TTS adalah Kecamatan Amanuban Selatan dan Kecamatan Kie.
Dalam tiga tahun terakhir, Dinas P3A TTS mencatat tren peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2021, tercatat 103 kasus. Persetubuhan anak menjadi yang terbanyak, yakni 37 kasus.
Kemudian, periode 1 Januari sampai 31 Desember 2022, tercatat 121 kasus. Persetubuhan anak masih yang terbanyak, yakni 33 kasus.
Lalu, periode 1 Januari sampai 22 Mei 2023, tercatat 51 kasus. Persetubuhan anak masih yang terbanyak, yakni 13 kasus.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas P3A TTS Mariana Martah E Tse mengatakan, semakin terbukanya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan anak berkontribusi pada peningkatan jumlah kasus yang tercatat.
Menurut Mariana, hal itu turut membantu Dinas P3A TTS melaksanakan tugasnya, yaitu memberikan pendampingan kepada korban dan memastikan pelaku mendapatkan hukuman setimpal.
Dia mengakui memang masih ada kasus kekerasan anak di TTS yang diselesaikan secara adat. Namun, pihaknya senantiasa mendorong penyelesaian kasus kekerasan anak secara pidana.
"Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, itu (kekerasan anak) tidak bisa kita selesaikan secara adat. Itu sama sekali tidak boleh, ini mengacu pada amanat undang-undang,” kata Mariana kepada Kompas.com, 26 Mei 2023.
Menurut dia, Dinas P3A terus menjalin kerja sama dengan pemuka agama, tokoh adat, dan perangkat desa untuk memastikan agar kasus kekerasan anak dibawa ke jalur pidana.
"Karena anak butuh perlindungan. Itu adalah hak anak," tuturnya.
***
Meretas keterbatasan
Jalan setapak menuju mata air di Desa Basmuti, NTT
Secara global, data United Nations Human Rights Office of The High Commisioner (OHCHR) memperlihatkan bahwa hampir 160 juta anak tinggal di area berisiko kekeringan.
Anak dan perempuan kerap menjadi pihak yang terdampak bencana kekeringan. Dampak utama yang langsung dirasakan adalah malanutrisi dan stunting.
Adapun dampak tidak langsung, tetapi umum terjadi di wilayah yang dilanda kekeringan, antara lain banyaknya anak terputus dari akses pendidikan, anak yang dipaksa bekerja, hingga eksploitasi seksual serta pernikahan yang dipaksakan terhadap anak perempuan di bawah umur.
Menurut lembaga PBB yang bergerak di persoalan anak, UNICEF, kondisi ekstrem terjadi di wilayah Tanduk Afrika, seperti Somalia atau Ethiopia. Sebab, masalah kekeringan kerap disertai konflik bersenjata.
Namun, kunjungan Kompas.com ke Desa Basmuti juga memperlihatkan bahwa masalah kekeringan di Tanah Air dapat berdampak munculnya kekerasan terhadap anak, serta kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kesulitan akses air bersih yang dirasakan warga Basmuti selama bertahun-tahun menjadi permasalahan umum, bahkan akar masalah di hampir semua wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) TTS Johanis Benu mengatakan, masih ada sebagian daerah di TTS yang pada saat musim kemarau tidak memiliki air sama sekali sehingga warga setempat harus membeli air.
Kondisi semacam itu, kata dia, sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat. Akibat kemiskinan, memenuhi kebutuhan gizi pun sulit dilakukan.
"Bagaimana mereka bisa hidup sehat kalau air saja mereka beli? Makan saja sudah susah. Bagaimana mereka tidak miskin? Bagaimana anak mereka bisa tidak stunting? Ini (masalah air) terakumulasi," kata Johanis kepada Kompas.com, 26 Mei 2023.
Dia menuturkan, pemerintah kabupaten telah berupaya mengurai masalah tersebut.
Langkah yang telah ditempuh, misalnya, melakukan pengeboran sumur di daerah-daerah yang mengalami kesulitan air bersih. Namun, hasil yang diperoleh kerap meleset dari perkiraan.
"Di Niki-Niki (Kecamatan Amanuban Tengah) itu dilakukan pemboran, tapi air yang muncul itu air asin. Itu jaraknya dari pantai hampir 40 kilometer. Di dataran tinggi ini, tapi bisa dapat air yang rasanya asin," tuturnya.
Membangun saluran dan penampungan
Perbaikan akses air bersih di Basmuti mulai dirasakan sejak terselesaikannya pembangunan jaringan air bersih yang diinisiasi Wahana Visi Indonesia (WVI).
WVI bekerja sama dengan Pemerintah Desa Basmuti untuk membangun saluran dari mata air ke pusat penampungan, kemudian disalurkan lagi ke keran-keran umum di sejumlah titik.
Area Program Manager WVI Cluster Timora (Timor dan Alor) Berwaddin Ibrani Simbolon mengatakan, pembangunan jaringan air bersih di Basmuti telah dimulai sejak Agustus 2022.
Warga ikut membantu pengerjaan pembangunan jaringan air bersih. Mereka gotong-royong mengangkat dan menyambung pipa-pipa dari mata air ke pusat penampungan.
Pada Februari 2023, air dari mata air sudah bisa dialirkan ke pusat penampungan yang berjarak 2,5 kilometer, dan memiliki kapasitas 8.700 liter.
Pompa air bertenaga listrik dari panel surya digunakan untuk mengalirkan air dari mata air menuju pusat penampungan.
Pembangunan dilanjutkan dengan penyambungan pipa-pipa untuk mengalirkan air bersih dari pusat penampungan ke delapan keran umum di Desa Basmuti.
"Hasil pengetesan terakhir, (air) dari mata air ini sudah bisa dikonsumsi langsung karena tidak mengandung (bakteri) E.coli (Escherichia coli) dan sudah bersih," kata Waddin, sapaan akrabnya, kepada Kompas.com, 25 Mei 2023.
Menurut Waddin, jumlah keran umum akan ditambah, dari delapan titik menjadi 16 titik, agar jaringan air bersih semakin mudah dijangkau oleh warga Basmuti.
"Masih ada beberapa dusun dan RT yang air ini belum bisa sampai di sana. Itu yang sedang kita usahakan, termasuk penambahan keran umum itu juga sedang kita usahakan, dan ada beberapa pipa yang kita ingin (sambung) untuk memastikan air bisa terdistribusi semakin jauh," ujar dia.
Warga menunjukkan sumber air bersih di Desa Basmuti, Kabupaten TTS, NTT.
Sementara itu, Kepala Desa Basmuti Wempi Biliu berharap, pembangunan jaringan air dan keran-keran umum dapat memberikan kemudahan bagi warga untuk mengakses air bersih.
Ia menuturkan, kemudahan akses air bersih sangat diperlukan oleh Desa Basmuti yang dihuni 936 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 3.400 orang.
Menurut Wempi, akses air bersih yang kini lebih mudah mendorong warga Basmuti untuk lebih memperhatikan perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk untuk urusan sanitasi.
Sebelum jaringan air bersih dibangun, warga terbiasa memotong saluran pembuangan atau "leher angsa" yang ada di kloset mereka. Tujuannya agar kotoran langsung jatuh ke tangki septik tanpa perlu diguyur air.
Namun, hal itu menyebabkan gas dari kotoran yang menumpuk di tangki septik menguar dari lubang kloset dan menghasilkan bau tidak sedap.
Wempi mengatakan, dengan adanya jaringan air bersih, warga dibantu pemerintah desa mulai mengganti kloset mereka dengan kloset yang lebih sehat.
Pemerintah desa telah menyalurkan 26 kloset sehat dari target awal 50. Kloset sehat ini rencananya dibagikan secara bertahap ke semua rumah tangga di Basmuti.
Kendati saat ini akses air bersih sudah jauh lebih baik, kata Wempi, masih ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan.
Misalnya, keterbatasan kapasitas penampungan air yang hanya bisa menampung 8.700 liter. Hal ini menghambat penyaluran air ke lebih banyak warga.
Wempi mengungkapkan, pemerintah desa telah menganggarkan penambahan tandon air berkapasitas 30.000 liter pada tahun ini untuk mengatasi permasalahan tersebut.
"Tujuannya ke depan, 30.000 (liter air) ini bisa kita distribusikan ke dusun-dusun yang belum terjangkau. Kita juga akan lanjutkan perluasan jaringan (air bersih)" kata Wempi.
Pemerintah desa juga telah membentuk Komite Air yang terdiri dari tujuh orang untuk mengelola dan memastikan jaringan air bersih dirawat dengan baik.
Komite Air juga bertugas mengumpulkan iuran sebesar Rp 3.000 per satu meter kubik (1.000 liter) air yang diambil warga lewat keran umum.
Nantinya, uang hasil iuran digunakan untuk biaya pemeliharaan jaringan air bersih.
Anak-anak di Desa Basmuti, NTT mengambil air bersih dari keran umum.
Wempi mengatakan, prioritas pemerintah desa saat ini adalah memperluas jaringan air bersih sehingga dapat menjangkau lebih banyak warga.
“Yang pasti, ke depan itu perluasan jaringan (air bersih). Ketika mereka (warga) sudah terlayani semua, baru kita pikirkan untuk sambungan (air bersih) ke rumah,” kata Wempi.
Matahari telah terbenam ketika Kompas.com mengunjungi salah satu keran umum di dekat gereja di Desa Basmuti pada 25 Mei 2023 petang.
Di sana, rombongan anak-anak tengah antre mengambil air bersih sambil menenteng jeriken.
Sudah sejak Maret 2023, anak-anak di Basmuti tak perlu lagi berjalan terlalu jauh untuk mengambil air bersih. Mereka cukup mendatangi keran-keran umum yang tersebar di desa.
Situasi juga menjadi jauh lebih aman bagi anak-anak karena keran-keran itu berada di dekat tempat umum, seperti gereja.
Ketika Kompas.com meminta tanggapan tentang akses air bersih yang kini lebih dekat, mereka menjawab serempak, "Senang!"
***