Sinergi WVI, YAO dan UE Berdayakan 12.440 Perempuan dan Pemuda NTT
Kolaborasi Wahana Visi Indonesia (WVI), Yayasan Alfa Omega (YAO), dan Uni Eropa (UE), dalam proyek Enabling Civil Society for Inclusive Village Economic Development (ENVISION), berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selama empat puluh dua bulan, ENVISION terbukti membawa angin segar bagi 50 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di tiga kabupaten, yaitu Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, dan Kupang. Program ini telah berhasil memberikan dampak kepada lebih dari 61.075 orang, di mana sebanyak 12.440 adalah perempuan dan pemuda dari total 17.922 orang yang menerima manfaat program secara langsung.
Direktur Nasional WVI, Angelina Theodora, menyampaikan BUMDes membutuhkan dukungan berkelanjutan, seperti pelatihan terkait pengembangan usaha dan integrasi ke dalam platform online, dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terkait, untuk mengembangkan bisnis mereka dan berkolaborasi dengan perusahaan bisnis eksternal termasuk lembaga keuangan.
"Kami berharap pemerintah daerah dan OMS (organisasi masyarakat sipil) lokal yang telah dilatih akan terus mendukung forum OMS dan BUMDes ketika ENVISION berakhir," ujarnya dalam acara Penutupan Program ENVISION di Kupang, Kamis (10/8).
Dia memaparkan, ENVISION berhasil membantu 42 BUMDes memiliki setidaknya 20 persen keterwakilan perempuan di tingkat manajemen. Di samping itu, 38 BUMDes memperoleh sertifikat badan hukum untuk mengelola bisnis dan asetnya, serta 30 BUMDes mendapat tambahan dana minimal 5 persen dari dana desa.
Tak hanya itu saja, 67 dari 250 fasilitator desa terpilih menjadi tokoh Gender Equality and Social Inclusion (GESI). Para tokoh ini secara aktif mendorong partisipasi kelompok perempuan dan pemuda dalam pertemuan desa.
"Kami juga percaya bahwa tokoh GESI yang telah dilatih akan terus memberdayakan kelompok perempuan dan pemuda untuk lebih aktif dalam pertemuan forum dan kegiatan desa lainnya," imbuh Angelina.
Meskipun menghadapi tantangan besar dari pandemi Covid-19 dan Siklon Tropis Seroja, melalui kolaborasi erat dengan OMS lokal, seperti Bengkel Appek, Yayasan Sanggar Suara Perempuan, dan Yayasan Injiwatu Sumba. Program ini pun tetap memberikan serangkaian pelatihan kepada forum BUMDes, perempuan dan kelompok pemuda, dan OMS lokal.
Forum yang diresmikan melalui Surat Keputusan Bupati ini menjadi wadah bagi OMS, BUMDes, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk membahas tantangan pembangunan ekonomi daerah dan solusi operasional BUMDes. OMS dan BUMDes juga memanfaatkan forum ini sebagai platform berbagi pengetahuan.
Direktur Perencanaan Teknis Pembangunan Ekonomi dan Investasi Kementerian Desa, Adityawarman Darudono, dengan penuh antusias menceritakan pengalamannya menjelajahi tiga kabupaten tersebut, mengunjungi para pengelola BUMDesa. Walaupun tantangan masih ada, ia tetap mengakui dan mengapresiasi hasil yang dicapai.
"Kerja sama dan kolaborasi adalah kunci sukses yang tak tergantikan dalam upaya mengembangkan ekonomi desa melalui BUMDes. Kementerian Desa sendiri mungkin tak akan mampu menjangkau seluruh BUMDes di 74.961 desa seluruh Indonesia. Dalam hal ini, peran aktif dari pihak luar adalah hal yang sangat berarti," papar dia.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi NTT, Viktorius Manek, menekankan bahwa telah direkomendasikan empat poin utama yang perlu diperhatikan oleh BUMDes dalam upaya mengembangkan usaha di tingkat desa.
Rekomendasi ini mencakup upaya untuk mengoptimalkan potensi desa, mencari individu yang cocok untuk mengelola BUMDes, merumuskan visi dan rencana tindakan yang jelas, serta menemukan mekanisme yang sesuai untuk mengoperasikan bisnis.
"Kami berharap langkah-langkah kunci ini akan membawa BUMDes untuk berperan sebagai off taker dan pelopor pemberdayaan ekonomi masyarakat di desa," tegasnya.
Revitalisasi BUMDes
BUMDes didorong untuk meningkatkan kegiatan ekonomi desa. (Foto: Arsip Wahana Visi Indonesia)
Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Novianty E. Manurung, menilai membangun kemandirian ekonomi telah menjadi paradigma baru dalam pembangunan desa. Langkah ini diperlukan untuk menjawab persoalan klasik yang ada di desa, yakni masih rendahnya kesejahteraan masyarakat.
Maka dari itu, dia menambahkan, perlu penguatan ekonomi lokal yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan mengoptimalkan sumber daya desa. Hal ini dapat diwujudkan melalui BUMDes.
"Saat ini BUMDes mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai solusi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi desa. Selain sebagai lembaga ekonomi, BUMDes juga diharapkan menjadi lembaga sosial yang dapat menyediakan pelayanan sosial kepada masyarakat," ucapnya.
Namun, ia melanjutkan, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan BUMDes masih mengalami banyak tantangan. Di antaranya keterbatasan kapasitas pengelola BUMDes.
Di samping itu juga ada perbedaan dalam memahami aturan terkait BUMDes, rendahnya partisipasi dan dukungan masyarakat, serta jangkauan usaha yang terbatas.
"Belum optimalnya kinerja BUMDes masih banyak dijumpai di banyak daerah di Indonesia. Sehingga revitalisasi BUMDes menjadi kunci untuk mengembalikan fungsi BUMDes dalam membangun ekonomi desa," imbuh Novianty.
Dia pun menjabarkan, poin penting dalam revitalisasi BUMDes yaitu memberikan pemahaman kepada pengelola terkait tata kelola kelembagaan, membantu pemetaan potensi pengembangan unit, keluhan usaha BUMDes, penataan keuangan dan penyusunan laporan keuangan.
Novianty menambahkan, tidak kalah penting peran pendamping atau fasilitator desa dalam membantu memberikan pemahaman kepada pengelola BUMDes dan memastikan kegiatan usaha dapat berjalan.
Dengan komitmen untuk mengutamakan kesetaraan gender, inklusi sosial, dan disabilitas dalam semua program pembangunan, UE memberikan perhatian khusus dalam pemberdayaan ekonomi perempuan dan pemuda di desa.
"Pemberdayaan perekonomian perempuan dan pemuda desa melalui dukungan kepada 50 BUMDes didampingi ENVISION merupakan terobosan yang tentunya akan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat desa NTT," tegas dia.
Direktur Yayasan Alfa Omega, David Fina, mengatakan bahwa program ENVISION masih memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan sumber daya manusia, terutama ketika angka harapan pendidikan hanya mencapai rata-rata tingkat SMP.
"Kata kuncinya adalah konsolidasi dan kolaborasi. Dorongan kolaboratif dan dana yang lebih terfokus untuk mendampingi 3.137 desa di NTT diharapkan akan memberikan kesempatan yang sama seperti yang dinikmati oleh 50 desa dalam program ini," kata dia.
Keberhasilan ENVISION telah membawa perubahan yang nyata dalam ekonomi dan inklusivitas di komunitas desa NTT. Ini bukan hanya cerita proyek, tetapi kisah inspiratif tentang bagaimana kerja sama dan komitmen dapat membawa perubahan positif yang signifikan bagi masyarakat setempat.