Tekanan Persoalan Keluarga Pengaruhi Kehidupan Anak

Tekanan Persoalan Keluarga Pengaruhi Kehidupan Anak

JAKARTA, KOMPAS – Pandemi Covid-19 berdampak kepada setiap keluarga dengan tingkat tekanan persoalan yang berbeda-beda. Keragaman cara dalam menyikapi situasi ini memengaruhi kehidupan anak.

Demikian benang merah paparan dan diskusi laporan “Studi Penilaian Cepat Dampak Covid-19 Terhadap Anak:Upaya Inisiasi Tahap Pemulihan Dini” yang dikerjakan oleh Yayasan sosial kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI), Kamis (2/7/2020) di Jakarta.

Studi yang digelar 12 – 18 Mei 2020 itu menyasar kepada 900 orang dewasa yang telah berumah tangga dan 943 anak di 251 desa/kelurahan dari 35 kabupaten/kota di sembilan provinsi. Contoh provinsi yang diteliti Sumatera Utara, Bengkulu, dan DKI Jakarta. Rancangan studi adalah nonprobabilitas dengan purposive sampling mengombinasikan convenience dan quota sampling di sebaran lokasi studi. Wawancara responden dilakukan melalui telepon.

Dari sisi dampak pandemi Covid-19 terhadap kualitas kesejahteraan keluarga, Manajer Kualitas Program dan Akuntabilitas WVI Cahyo Prihadi mengatakan, 9 dari 10 responden menyatakan sumber pendapatan mereka terdampak. Sebanyak 47,5 persen responden mengaku memiliki stok makanan kurang dari dua minggu, 13,8 persen stok makanan cukup dua minggu, 3,5 persen responden punya stok makanan cukup tiga minggu. Sebanyak 14,8 persen mengaku memiliki persediaan satu bulan dan 20,4 persen responden punya stok lebih dari satu bulan.

“Sekitar 79 persen responden orang dewasa telah berumah tangga mengaku memiliki tabungan, tetapi jumlahnya hanya mampu bertahan kurang dari satu bulan,” ujar dia.

Strategi rumah tangga mengatasi perubahan pendapatan akibat Covid-19 beragam. Jawaban terbanyak yang disebutkan oleh responden rumah tangga adalah menerapkan strategi mengurangi jumlah dan kualitas makan, lalu memakai tabungan atau deposito, dan pinjam uang dari orang terdekat.

Cahya mengatakan, riset menemukan sekitar 3,6 persen responden orang dewasa berumah tangga merelakan anak bekerja, dan 0,2 persen mengirimkan anak ke kerabat. Keputusan itu bertujuan sebagai bagian merestorasi kesejahteraan rumah tangga.

Kalaupun ada bantuan sosial, hanya 32,6 persen responden rumah tangga mengatakan sudah terima dan bantuannya tepat sesaran. Lainnya, 18,9 persen responden rumah tangga menerima bantuan tetapi tidak tepat sasaran dan 48,5 persen belum menerima.

Dari sisi gizi dan kesehatan anak, sebanyak 53 persen responden rumah tangga tidak mampu menyediakan makanan bergizi. Sebanyak 74 persen responden anak mengaku masih bisa makan tiga kali sehari, tetapi ada pula 19,4 persen responden makan dua kali, dan 1,5 persen responden makan satu kali sehari.

Sebanyak 64 persen responden rumah tangga menyatakan praktik pengasuhan positif tanpa kekerasan. Namun, 65 persen responden anak mengaku menerima kekerasan verbal dan 11,3 persen responden mendapat kekerasan fisik.

Dari sisi pendidikan, 68 persen responden anak belajar jarak jauh dengan metode daring dan luring. Berbagai kendala yang mereka sampaikan yaitu tidak bisa mengatur waktu belajar, sulit memahami pelajaran, tidak terkoneksi internet, banyak tugas, dan tidak paham instruksi guru.

Cahya menyampaikan, anak akhirnya mengalami tekanan psikososial. Riset menemukan 47 persen responden bosan di sekolah, 34 persen takut terkena Covid-19, 25 persen khawatir ketinggalan pelajaran. Lalu, 20 persen responden  rindu teman-temannya, 15 persen merasa tidak aman, dan 10 persen khawatir penghasilan orangtuanya berkurang dan kurang makan.

“Kami mendorong pemulihan sumber pendapatan melalui injeksi modal dan perluas jaringan pengaman sosial. Koordinasi bantuan sosial lebih terintergrasi lintas kementerian dan lembaga. Pemerintah bisa menjamin keberlangsungan layanan perlindungan anak terpadu,” ujar dia menyampaikan contoh rekomendasi.

Alami stres 

Anggota Forum Anak Jakarta Timur Khusnul mengungkapkan, anak-anak seperti dirinya ikut stres memikirkan bagaimana mereka dan keluarga harus bertahan hidup selama pandemi Covid-19. Kebanyakan orang tua berpikir dua kali untuk pengeluaran, termasuk memenuhi kebutuhan kuota internet belajar jarak jauh.

“Anak malas belajar karena pembelajaran yang guru berikan tidak sesuai arahan  pemerintah, yakni tugas berlebih. Konten pembelajaran tidak sesuai konteks,” ujar dia.

Duta Anak Nusa Tenggara Timur tahun 2019 Ishak menceritakan, sebelum pandemi Covid-19, anak disabilitas dan anak pekerja migran Indonesia sudah rentan mengalami pengabaian hak. Ketika pandemi tiba, mereka semakin rentan.

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan, pihaknya memasukkan prioritas kesehatan aman Covid-19 pada rencana pembangunan tahun 2021. Di dalam rencana itu menyangkut pula reformasi layanan kesehatan. Saat ini, pemerintah terus berupaya menambah jumlah tes Covid-19 sehingga semakin cepat mendeteksi dan penanganan kasus.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lenny N Rosalin menekankan pentingnya pengasuhan anak selama pandemi Covid-19. Tingkat tekanan persoalan yang berbeda-beda berarti beban stres orang tua pun tidak sama. Agar stres terkelola, kementerian terus mengoptimalkan Sejiwa, layanan konseling untuk sehat jiwa. Kabupaten/kota yang sudah menyandang ramah anak semestinya juga bisa ditagih komitmen kebijakan keberpihakan terhadap hak anak.

 

Oleh: Mediana (Harian KOMPAS)

Link artikel: https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2020/07/03/tekanan-persoalan-keluarga-pengaruhi-kehidupan-anak/


Artikel Terkait