OPINI: Perlindungan Sosial bagi Anak Korban Kekerasan
Tiga puluh persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan berusia 13-17 tahun mengalami setidaknya satu kekerasan dalam hidupnya, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) 2022. Simfoni PPA merekam ada 8.447 laporan anak yang menjadi korban kekerasan di tahun yang sama. Sementara menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ada 91 persen kenaikan permohonan perlindungan khusus untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Baseline studi Wahana Visi Indonesia (WVI) 2017 menemukan ada 92,2 persen orang tua atau pengasuh menggunakan hukuman fisik dan kekerasan terhadap anak sebagai mekanisme pendisiplinan. Ini artinya baik di luar maupun di dalam rumah, anak sama-sama memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap anak dapat memiliki dampak jangka panjang. Itulah mengapa, penting bagi anak korban kekerasan untuk mendapatkan layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial, agar dapat mengakses pemulihan. Negara berkewajiban memenuhi hak anak korban untuk dipulihkan, diantaranya dengan memberikan jaminan perlindungan sosial. Tantangannya adalah, anak korban kekerasan belum menjadi salah satu indikator penerima perlindungan sosial.
KPPPA dan WVI telah melakukan riset kolaboratif tentang integrasi layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial di DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Salah satu temuannya adalah anak korban kekerasan yang tidak mendapatkan perlindungan sosial rentan putus sekolah, menjadi pekerja anak, kawin anak, dieksploitasi seksual, dan mengalami kehamilan tidak dikehendaki. Layanan perlindungan sosial bagi anak korban kekerasan penting untuk mengurangi kerentanan anak mengalami kekerasan berulang (reviktimisasi).
Integrasi layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial harus dilakukan. Integrasi ini akan memberikan dukungan atau layanan yang utuh bagi anak yang mengalami kekerasan. Integrasi layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial juga akan membantu proses reintegrasi sosial anak yang mengalami kekerasan.
Layanan perlindungan sosial dan perlindungan anak yang saat ini telah dimiliki oleh pemerintah adalah, Sapa 129 di Kemen PPPA, yang memberikan layanan berupa pengaduan, penjangkauan dan pengelolaan kasus. Kementerian Sosial memiliki layanan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup layak, perawatan sosial, dukungan keluarga, terapi fisik, psikis dan spiritual, pelatihan vokasional, bantuan sosial dan dukungan aksesibilitas.
Untuk layanan perlindungan sosial, Kemen PPPA memiliki bantuan khusus Covid-19 untuk anak, sedangkan Kemensos memiliki bantuan makanan pokok bergizi, Kartu Indonesia Sehat, Jaminan Persalinan, Kartu Indonesia Pintar, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Sayangnya layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial ini belum terintegrasi satu sama lain, meskipun telah ada landasan hukum formil yang menyebutkan mandat integrasi layanan perlindungan anak dan perlindungan sosial.
Saat ini belum adanya SOP teknis yang mengatur layanan perlindungan sosial bagi anak korban, meskipun telah ada landasan hukum formil. Selama ini praktik yang terjadi adalah, anak korban yang berasal dari keluarga miskin mendapatkan perlindungan sosial karena kondisi kemiskinan keluarganya, bukan karena statusnya sebagai korban.
Perlu kita ingat bahwa tidak semua korban adalah orang miskin. Jika perlindungan sosial diberikan hanya pada anak yang berasal dari keluarga miskin, maka bagaimana korban yang berasal dari keluarga yang mampu? Sementara keduanya sama-sama korban dan membutuhkan pemulihan.
Setiap anak korban berhak mendapatkan akses atas pelayanan dasar yang inklusif dan berpartisipasi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Akses dasar terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta pangan dan gizi, akan mendorong peningkatan modal manusia (human capital). Dalam upaya memberikan pelayanan dasar ini, bukan hanya pemerintah, namun semua lapisan masyarakat harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di dalamnya.
Dampak dari kekerasan terhadap anak jika tidak dipulihkan, bisa berlangsung lama dan terakumulasi sehingga berakibat pada kemiskinan anak. Untuk mencegah terjadinya kemiskinan multidimensi ini, anak korban harus dipulihkan. Integrasi antara perlindungan anak dan perlindungan sosial mutlak diperlukan.
Ini memang akan menjadi pekerjaan banyak pihak dan membutuhkan keseriusan serta komitmen bersama. Saat ini masing-masing lembaga memiliki indikator tersendiri untuk perlindungan sosial, dimana perlindungan anak tidak masuk di dalamnya. Standarisasi form dan laporan, penguatan kapasitas SDM di setiap lembaga juga perlu dilakukan.
Program Atensi milik Kemensos yang direncanakan menjadi satu pintu untuk seluruh layanan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial hingga saat ini masih belum terlaksana. Sejauh ini baru ada 41 sentra dan sembari berjalan akan terus dipersiapkan seluruh infrastruktur agar dapat terintegrasi antara perlindungan anak dan perlindungan sosial ini.
Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, memegang mandat untuk memberikan perlindungan pada anak. Sementara di tataran pencegahan masih terus berbenah, maka layanan pemulihan harus kita berikan. Perjalanannya akan panjang dan berat, tetapi jika ingin Indonesia ditopang oleh generasi mendatang yang sehat jasmani dan rohani, maka kolaborasi serta komitmen berbagai pihak, mutlak diperlukan.
Angelina Theodora, Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia
Artikel ini telah tayang di https://koran.tempo.co/read/opini/481700/kekerasan-pada-anak-dan-pppa