Pecah Telur, Bisnis Masyarakat Sulawesi Tengah!

Pecah Telur, Bisnis Masyarakat Sulawesi Tengah!

“Perlahan tapi pasti, usaha petelur ini mulai berkembang,” ujar Ivon (26) seorang anggota kelompok peternak ayam petelur di Kabupaten Sigi. “Dari hasil penjualan telur ayam ini tentunya dapat menambah hasil pendapatan dari ibu-ibu rumah tangga yang ada di desa,” imbuhnya.

Pandemi Covid-19 bukan hanya membatasi aktivitas sosial manusia, namun juga memperlambat laju perekonomian nasional. Masyarakat ekonomi lemah terkena imbas yang paling berat. Berdasarkan hasil assessment kerentanan yang dilakukan Wahana Visi Indonesia pada 2021, sebanyak 29% responden dari Sulawesi Tengah menyatakan terdampak dari pandemi Covid-19. Masyarakat mengalami penurunan pendapatan dan/atau kehilangan pekerjaan.  Kebanyakan responden menyatakan mengalami penurunan pendapatan antara 25-50%. Akibatnya, mereka harus mengurangi kuantitas dan kualitas makanan sebagai salah satu pilihan coping mechanism.

Geliat ekonomi desa dan penguatan keuangan keluarga masyarakat desa perlu mengalami pemulihan dari situasi ini. Wahana Visi Indonesia bermitra dengan Zurich Foundation pun berkontribusi kembali menggerakkan roda perekonomian masyarakat di dua kabupaten yang berada di Sulawesi Tengah. Program Bersama Teman Baik mendukung kelompok-kelompok masyarakat untuk membangun usaha atau bisnis peternakan ayam petelur. Kelompok-kelompok Asosiasi Simpan Pinjam untuk Kesehahteraan Anak (ASKA) yang sudah terbentuk sebelumnya menjadi sasaran program ini.

“Dengan adanya kelompok ayam petelur, ibu-ibu yang sebelumnya tidak aktif dalam kegiatan menjadi lebih aktif dalam mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat,” ujar Ivon. Program ini berhasil mendampingi 15 kelompok peternak ayam petelur. Masing-masing kelompok terdiri dari 3-5 orang. “Sebelum menerima ayam petelurnya, kami mengikuti pelatihan dari WVI. Kami diajarkan tentang perawatan ayam petelur, manajemen keuangan, serta cara pemberian pakan dan air minum. Satu hal lagi yang diajarkan dan paling penting yaitu untuk mempunyai kebiasaan mencatat. Jadi, kami tahu produksi dan penjualan hasil telur ayam setiap hari,” cerita Ivon.

Kelompok ASKA di desa dampingan WVI belum pernah memiliki pengalaman menjadi peternak ayam petelur. Namun, melihat adanya permintaan pasar akan ketersediaan telur, para anggota kelompok pun bersepakat dan berkomitmen untuk membangun bisnis peternakan ayam petelur di desa. Modal nol pengalaman bukan jadi halangan. Dengan niat untuk bisa kembali menyediakan makanan bergizi di rumah, maka jalan baru ini pun mereka tempuh.

Program Bersama Teman Baik ini mengawali implementasi dengan melakukan sosialisasi tentang model bisnis peternakan ayam petelur. Setelah itu, kelompok-kelompok tersebut mengikuti pelatihan-pelatihan yang bukan hanya mengenai teknis pemeliharaan ayam petelur, melainkan juga mengenai pembukuan, manajemen risiko, pengaturan keuangan badan usaha, keamanan lingkungan peternakan, serta manajemen pakan. Setelah masyarakat memiliki pemahaman yang baik, proses pembangunan kandang ayam pun dimulai. Masing-masing kelompok menyediakan lahan berukuran 6 x 4 meter untuk menjadi area kandang.

Ivon kembali melanjutkan cerita proses ia menjadi peternak ayam petelur yang semakin maju, “Setelah ayam berumur 18 minggu, ayam sudah mulai memproduksi telur. Mula-mula kami melakukan promosi dari mulut ke mulut, kemudian melakukan promosi penjualan di media sosial.

Satu bulan berselang mulai melakukan penjualan ke kios-kios yang ada di desa sehingga pemilik kios sangat terbantu dan merasakan dampak yang baik. Telur yang kami hasilkan harganya terjangkau, telur ayam dijamin masih segar karena baru keluar dari induknya. Telur hasil ternak kami tidak dijual dalam keadaan busuk. Masyarakat juga tidak perlu jauh-jauh ke pasar untuk membeli telur. Bahkan sekarang penjualan telur sudah ke desa-desa tetangga,”.

Ketekunan kelompok masyarakat untuk mempelajari, menerapkan, dan memelihara bisnis ayam petelur ini menjadi kunci kesuksesan yang mereka rasakan sekarang. Mereka rela mengubah kebiasaan untuk bangun lebih pagi demi mengurus ayam-ayam petelur. Kelompok juga berkomitmen bahwa tujuan utama dari bisnis ini bukanlah profit semata, melainkan bagaimana bisa berkembang dan berkelanjutan.

Dalam sehari, tiap kelompok bisa menghasilkan 90 butir telur seharga Rp 150.000,-. Pakan ayam menelan biaya Rp 75.000,- per hari. Hasil penjualan harian ini juga masih dikurangi penghitungan untuk mengembalikan modal serta pengeluaran-pengeluaran lain yang berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan ayam-ayam. Walaupun dari hari ke hari keuntungannya masih terlihat kecil, namun dengan pengaturan keuangan dan pembukuan yang baik, para peternak sudah bisa memetakan bahwa bisnis mereka ini bisa menjadi bisnis jangka panjang yang menguntungkan.

Kelompok peternak ayam petelur ini pun sebenarnya sudah lebih melek finansial karena mereka juga tergabung dalam kelompok ASKA. Sehingga proses koordinasi dalam kelompok juga berjalan lebih lancar. Keuntungan yang saat ini sudah terkumpul pun ada yang disimpan sebagai tabungan ASKA.

WVI pun telah memastikan kelompok-kelompok ini terhubung dengan penyedia pakan ayam agar akses pakan dapat terjamin, serta dengan harga yang bersahabat. Selain itu, WVI pun melakukan pemetaan pemasaran telur dengan melihat peluang-peluang pasar yang berada di sekitar desa. Hal-hal ini dilakukan agar para peternak telur di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong ini dapat menjadi model bisnis kelompok masyarakat desa yang beruntung dan berhasil.

 

Penulis : Mariana Kurniawati (Communication Executive)


Artikel Terkait