Proyek RISE

Proyek RISE

Latar Belakang

SBD (Sumba Barat Daya) adalah sebuah kabupaten di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat. Hasil kajian Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi NTT menunjukkan, pada 2017, jumlah kasus gizi buruk di SBD, nomor 5 terbanyak yang mencapai lebih dari 250 kasus. Gizi buruk terjadi karena banyak faktor seperti asupan makanan yang kurang, kondisi geografis yang kering dan masalah kemiskinan.

Melihat kondisi tersebut, Wahana Visi Indonesia (WVI) atas dukungan William & Lily Foundation (WLF) masuk ke SBD melalui program pengembangan ekonomi yang bertujuan meningkatkan pendapatan para petani, yang merupakan pekerjaan mayoritas masyarakat SBD melalui proyek RISE (Rural Integrated Sector Empowerment). Orang tua yang telah meningkat pendapatnya, diharapkan dapat menggunakan untuk mengatasi gizi buruk anak-anaknya.

 

Mitra

WVI mengerjakan proyek RISE bersama dengan banyak pihak seperti: CU Swastisari, perusahan penyedia sarana pertanian PT NUFARM dan Dinas Pertanian SBD melalui BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Utara. 

WVI mengoordinir para petani yang sudah bergabung di dalam kelompok tani, sedangkan PT NUFARM bertindak membantu penyediaan input produksi, sementara CU Swastisari mendukung kemudahan akses modal melalui kredit petani. 

Sistem kredit tani diterapkan agar petani bisa meminjam modal dan membayar jasa pinjaman setiap bulannya. Setelah panen, maka petani diharuskan membayar utang dan jasa pinjamannya. 

Jenis kredit petani di petani ini juga merupakan produk baru bagi CU Swastisari karena menggunakan termin yang memberikan grass period sehingga petani tidak perlu menyicil pokok pinjaman dan membayar jasa pinjaman setiap bulan, namun baru setelah panen, petani membayar utang dan jasa pinjamannya.

 

Pelaksanaan Proyek

Proyek RISE dilakukan dengan melakukan revitalisasi kelompok tani bersama penyuluh pertanian selama kurang lebih 3 bulan, didapatkan 24 kelompok tani dengan 592 petani yang siap didampingi untuk mengatasi 4 permasalahan yang dihadapi petani. Empat permasalahan tersebut antara lain: 1) pengorganisasian petani yang lemah, dimana kelompok tani banyak yang tidak aktif, baik organisasi maupun anggotanya, 2) Rendahnya akses informasi untuk sistem pertanian yang baik, 3) Ketiadaan modal untuk mengembangkan jagung dan 4) Kurangnya akses pemasaran.

Pendampingan kepada petani dilakukan melalui kelompok tani dalam setiap tahapan dimana petugas lapangan dari setiap pihak turun bersama di lapangan, menjawab semua pertanyaan petani dan menyelesaikan masalah yang ditemui. Proses pendampingan juga dilakukan sampai dengan panen, pascapanen hingga pemasaran.

Melalui serangkaian komunikasi dengan calon pembeli dan diskusi dengan petani yang memaparkan potensi produksi, menjadikan beberapa calon pembeli tertarik dengan jagung yang dihasilkan proyek RISE. Hal tersebut terbukti dengan pembeli bersedia membeli jagung di atas harga pasar yaitu mencapai Rp2.800-Rp3.000/kg, sedangkan harga di pasaran umum hanya berkisar Rp2.000-Rp2.500 /kg.

Keberhasilan negosiasi harga ini disebabkan oleh jumlah produksi yang tinggi, petani yang terkoordinir, serta kualitas produksi sesuai dengan standar persyaratan. Dengan begitu, terjadilah penjualan satu pintu. Dengan keberhasilan tersebut maka biaya transportasi dan biaya lain-lain yang ditanggung pembeli dapat ditekan dan ditambahkan ke harga yang diterima oleh petani secara langsung.

 


Artikel Terkait