Besarnya Arti Sebuah Kehadiran dalam Pekerjaan Kemanusiaan

Besarnya Arti Sebuah Kehadiran dalam Pekerjaan Kemanusiaan

Hadir, dekat, dan tinggal bersama masyarakat hingga bisa membawa transformasi merupakan esensi pengembangan masyarakat yang WVI terapkan. Kehadiran WVI di tengah masyarakat bukan hanya terwujud lewat bantuan atau fasilitas, tapi lewat setiap staf. Sosok staf WVI yang berada di tengah masyarakat berarti ia hadir dalam momen-momen kehidupan di desa, ia mengenal baik potensi yang masyarakat miliki, dan ia mencoba memahami perspektif masyarakat. Dengan demikian, kepercayaan dengan masyarakat terbangun sehingga bisa bersama-sama memulai perjalanan pemberdayaan. 

“Landasan seperti ini sangat penting dan berarti. Kita tidak mungkin bisa bilang kalau masyarakat punya masalah ini dan punya kapasitas ini kalau hanya amati dari jauh. Kita harus berbaur,” tegas Johny Noya, staf WVI yang saat ini berperan sebagai General Manager untuk seluruh kantor operasional yang berada di Sumatera, Lombok, dan Jawa. “Buat saya, kedekatan antara staf lapangan dengan masyarakat itu tidak tergantikan dengan yang lain. Hanya kehadiran atau presence saja yang bisa memberi kedekatan itu,” lanjutnya. 

Tepat pada Februari 2024 ini, genap 20 tahun Johny berkarya di WVI. Selama 20 tahun itu juga Johny terus berpegang pada esensi pengembangan masyarakat di atas. Ia pun masih memiliki semangat yang sama seperti ketika ia memutuskan untuk berkarir di WVI. “Saya mau membuat anak dan masyarakat itu tersenyum, bahagia saja. Itu yang jadi semangat saya sampai sekarang,” tuturnya. 

Johny mengawali karir sebagai seorang Fasilitator Pengembangan di kantor operasional WVI area Pantai Kasuari. Saat ini, Pantai Kasuari merupakan salah satu distrik di Kabupaten Asmat, Papua. Area ini merupakan salah satu yang paling sulit dijangkau. Dan pada saat itu, Johny sebagai staf lapangan harus mendampingi anak dan masyarakat di beberapa desa. “Di sana itu dulu areanya gunung-gunung. Kalau saya mau naik motor ke desa satu itu, saya bisa lihat kalau mau ke desa itu saya harus lewati berapa gunung lagi. Dari kantor kita dulu di Jayapura, saya naik motor ke desa itu 3-4 jam tapi jalan tidak ada aspal, jembatan hanya satu papan saja,” ceritanya. 

Lelah perjalanan hingga ancaman keamanan memang jadi tantangan tersendiri tapi bukan berarti menyurutkan semangat Johny. Karena ketika ia dan masyarakat berhasil membangun taman baca untuk anak-anak di desa, segala jerih payah itu terbayar lunas. Sebagai seorang pekerja kemanusiaan, Johny merasa situasi anak-anak dan masyarakat di desa-desa ini sangat rentan. Tidak ada sekolah. Tidak ada fasilitas kesehatan. Jauh dari pusat kota. Sehingga benar-benar hanya dirinya sebagai seorang staf WVI yang hadir dan menemani masyarakat lalu membawa perubahan. 

“Masyarakat itu butuh teman. Kehadiran itu menunjukkan ketulusan. Kehadiran kita itu bisa menutupi semua kekurangan sumber daya kita,” ujarnya. Johny mengalami sendiri bagaimana kehadirannya pun sudah dapat menghangatkan hati masyarakat dampingan. Kantor operasional di Pantai Kasuari merupakan kantor pertama yang seluruh pendanaan programnya berasal dari para sponsor yang ada di Indonesia. Menjadi kantor pertama yang menerapkan pendanaan lokal tentu tidak mudah, namun Johny menjadi semakin yakin bahwa kehadiran dapat melampaui segala hambatan. 

Melihat bagaimana Johny memiliki semangat untuk pergi bertemu dengan anak dan masyarakat, WVI kemudian mengikutsertakan Johny dalam program Management Trainee (MT). Belum setahun bertugas sebagai staf lapangan, setelah menuntaskan program MT, Johny kembali ke Pantai Kasuari sebagai Community Development Coordinator. Ia melanjutkan karya di Pantai Kasuari hingga tahun 2009, lalu berpindah ke beberapa posisi berbeda untuk pelayanan WVI di Papua. “Ada seorang uskup di Pantai Kasuari sempat bercanda dengan saya, dia bilang, kamu jangan terlalu lama di sini, nanti kamu sakit. Karena di sana kan juga area penyakit seperti malaria, semua jenis hepatitis, dan kaki gajah,” ungkapnya. 

Setelah malang-melintang di Papua, tahun 2016 Johny melanjutkan kerja dan karya untuk kantor operasional WVI di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia menjabat sebagai manager dari kantor tersebut dan bertugas untuk menutup program pengembangan masyarakat di Sikka. Johny pun kembali dihadapkan pada arti kehadiran WVI bagi masyarakat. Ia menuturkan, “Waktu menutup Sikka, Kepala Desa menangis. Mereka bilang, kami akan kehilangan teman untuk ngobrol lagi nanti. Siapa yang bisa kami ajak diskusi, katanya. Karena lagi-lagi, kita yang hadir setiap saat dekat dengan mereka. Hadir sebagai orang WVI yang kuat, memegang teguh nilai. Hadir tanpa membawa kekacauan dan berhasil mentransfer nilai yang kita punya,”. 

Dengan banyaknya pengalaman dan keterampilan, saat ini Johny bertugas menjadi pemimpin bagi para manager-manager kantor operasional WVI. Johny sudah tidak lagi tinggal menetap di desa. Ia dan keluarga menetap di Jakarta. Jauh dari dinamika dan kehangatan hidup bersama masyarakat rural. Perubahan ini juga membuat Johny melakukan beberapa penyesuaian agar semangat yang dipegang tidak hilang dan tetap bisa menjalankan tugas dengan baik. “Saya ini orang yang biasa hidup di desa. Hidup dengan masyarakat. Tapi saya juga diingatkan berulang-ulang untuk mulai berpikir untuk memberi dampak yang lebih besar,” ujarnya, “tapi kalau ada kesempatan sih, masih ingin kembali melayani di desa,”. 

Johny menjadikan kesempatan kunjungan lapangan sebagai waktu untuk mengisi ulang tangki passion sebagai pekerja kemanusiaan. Selain melakukan berbagai pertemuan koordinasi dengan sesama staf, Johny juga akan meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, atau pemerintah setempat agar dapat terus menjejakkan kaki pada esensi pengembangan masyarakat yang WVI emban. 

“Kalau bekerja seperti ini, harus selalu menjaga motivasi. Karena kalau tidak ada motivasi itu bahaya. Cara memelihara motivasi itu dengan membuat atau sadar momentum mana yang menciptakan motivasi itu. Apalagi pekerjaan seperti ini kan menyita energi, apalagi kalau membandingkan dengan orang lain yang mungkin mendapat lebih banyak,” ujar Johny. 

Oleh karena itu, Johny pun selalu mengenang momentum yang menjadi motivasinya. Momen tersebut terjadi ketika ia berada di Pantai Kasuari. Ia bercerita, “Saat itu ada satu anak yang saya rutin ketemu, badannya itu dipenuhi penyakit kulit yang namanya kaskado. Dari kecil kulitnya begitu terus. Sampai dia pernah bilang ke saya, Kaka saya malu, saya bisa sembuh tidak ya,”. Mendengar pertanyaan yang bernada putus asa dari seorang anak ini, Johny pun konsultasi dengan seorang dokter yang bertugas di area tersebut. Dan ternyata, obat penyakit kulit tersebut adalah mandi dua kali sehari dan menjaga kebersihan. 

“Jadi selama dua minggu, saya pantau terus anak ini. Saya minta dia mandi dua kali sehari, habis mandi pakai baju bersih. Dan benar, kulitnya pun sembuh. Setelah seumur hidup dia hanya tahu kulitnya itu sakit, akhirnya dia bisa sembuh dan dia sangat-sangat senang,” kenang Johny. Jelas teringat, bagaimana saat itu, luapan kebahagiaan yang sangat besar disertai dengan haru. Momen penting ini menggambarkan bagaimana cara yang sederhana disertai dengan ketulusan dapat menularkan harapan bagi sesama. Momen ini menjadi salah satu penjaga motivasi Johny hingga kini. 

Terus bergulat dengan perubahan zaman dan generasi, Johny juga ingin agar setiap pemimpin, baik di WVI atau organisasi lain, dapat mengutamakan nilai. “Gen Z itu cerdas dan pasar sedang terus bergerak sesuai dengan generasi ini. Generasi yang sebelumnya yang harus terus menekankan tentang etos kerja dan nilai-nilai, tapi dengan cara kekiniannya mereka. Pemimpin itu bertugas sebagai penjaga nilai. Karena saya masih yakin, kerja-kerja seperti WVI ini masih keren untuk generasi apa saja,” pungkasnya. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait