Bukan Hanya Soal Program Pengembangan

Bukan Hanya Soal Program Pengembangan

“Tahun 2004, saya melihat iklan lowongan pekerjaan World Vision Indonesia di sebuah situs pencari kerja. Waktu itu namanya masih World Vision. Namun bukan posisi yang dibuka yang saya perhatikan, tetapi justru gambar anak-anak Papua yang menjadi latar belakang iklan tersebut,” ujar Ignatius Anggoro, atau akrab disapa Mas Anggoro. Foto wajah anak-anak Papua itulah yang memunculkan panggilan untuk melayani anak-anak melalui WVI. Mas Anggoro pun memantapkan hati memulai profesi sebagai pekerja kemanusiaan. 

Sembilan belas tahun berlalu sejak Mas Anggoro melamar bekerja di WVI. Dalam jangka waktu yang cukup panjang ini, Mas Anggoro banyak mengingat sukacita, bahkan merasa tidak ada dukanya. “Sumber sukacitanya itu saya bisa hadir di tengah anak-anak dan masyarakat dampingan, sehingga dapat merasakan dan memahami mimpi dan pergumulan mereka. Saya juga mendapatkan keistimewaan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri anak-anak dan masyarakat dampingan,” cerita laki-laki yang saat ini menjabat sebagai Area Program Manager untuk wilayah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. 

Sebelum menjadi manager di Sambas, Mas Anggoro banyak malang melintang di beberapa kantor operasional lain yang berada di Kalimantan Barat. Namun, Mas Anggoro juga pernah berkarya sampai ke Jayapura, Papua. Selain pengalaman dalam program pengembangan masyarakat, laki-laki kelahiran Solo ini terjun langsung menangani tanggap darurat di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dan saat Gempa-Tsunami-Likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah. 

“Dari semua pengalaman itu, yang paling berkesan untuk saya justru saat WVI melakukan tanggap bencana pandemi COVID-19,” tuturnya. Di tengah lonjakan kasus dan peraturan untuk melakukan tatap muka sangat dibatasi, Mas Anggoro dan tim tetap harus memastikan kondisi kesehatan dan keamanan anak dan masyarakat yang berada di desa dampingan. “Kita justru harus bekerja di lapangan dan berhadapan dengan banyak orang yang. Risiko penularan virus cukup besar meskipun sudah melaksanakan prokes. Namun, terdorong dengan keinginan kuat agar kita bisa memastikan keselamatan anak dan memberikan sukacita bagi mereka agar tidak mengalami depresi karena pandemi, saya dan tim akhirnya memberikan diri memantau ke desa,”. 

Upaya dan risiko yang Mas Anggoro dan tim pertaruhkan ternyata memberi dampak yang baik. Anak dan masyarakat tetap terpantau dan dapat menerima edukasi yang tepat terkait penularan virus COVID-19 serta protokol kesehatan yang wajib dilakukan. Bonusnya, selama pandemi, Mas Anggoro tidak pernah sekalipun terpapar COVID-19. 

Sebagai seorang pemimpin sebuah kantor operasional, Mas Anggoro memiliki bekal terbaik dari pengalaman yang ia dapat selama menjadi koordinator program. Bagi Mas Anggoro, pengalamannya sebagai seorang Community Development Coordinator (CDC) membawa perubahan terbesar dalam hidupnya. “Saya belajar banyak bagaimana hidup dan tinggal bersama masyarakat. Di sana saya juga pertama kali belajar bagaimana membuat program pipanisasi air bersih. Dari mulai melakukan survey ke mata air di tengah hutan, pelaksanaan pembangunan sampai akhirnya diresmikan. Saya bersyukur memiliki mentor yang luar biasa yaitu, Almarhum Bapak Thomas Setyoso, sehingga saya menyadari bahwa masyarakat bukan hanya butuh program, tetapi kepercayaan diri untuk bisa melakukan dan menyelesaikan program agar anak-anak mereka bisa hidup lebih sejahtera,”. 

Setelah berkarya selama ini, Mas Anggoro menyimpulkan bahwa WVI adalah organisasi yang unik. Sebuah lembaga kemanusiaan yang sangat profesional, tapi tetap berpegang pada nilai-nilai kristiani. WVI juga lembaga yang sangat terbuka dan dan memberikan kesempatan yang luas bagi stafnya untuk berkembang. Bahkan anak dan istri para staf pun boleh memberi masukan pada organisasi. “Saya berharap, dengan budaya seperti saat ini, WVI tetap menjadi saluran berkat untuk anak-anak dan masyarakat yang dilayani. WVI tetap konsisten membela hak-hak anak dan memberdayakan masyarakat agar terus berpihak pada anak-anak,” pungkasnya.

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)


Artikel Terkait