Cerita Staff: Hatiku Tertambat di Papua

Cerita Staff: Hatiku Tertambat di Papua

Alam yang indah bukanlah alasan utama mengapa hati Marthen Sambo (33) tertambat di Papua. Kecintaannya pada anak dan keresahannya akan pendidikan yang minim bagi anak adalah hal pertama yang membuat dirinya tak bisa lepas untuk melayani di wilayah Papua.

Marthen, begitu staf Wahana Visi Indonesia (WVI) biasa menyapanya, merupakan satu dari ratusan staf WVI yang beruntung bisa bekerja sesuai dengan panggilan hati. Papua adalah wilayah yang didambakannya untuk bekerja, hingga semesta membantunya untuk kembali ke wilayah ini setelah sempat merasakan pelayanan bersama WVI di Sumba Timur.

Sebagai generasi milenial, Marthen memulai karirnya sebagai guru kontrak di Pegunungan Tengah, Papua. Sejak kuliah, ia memiliki kerinduan untuk mendedikasikan ilmu yang diterimanya di daerah tertinggal, khususnya dalam hal mengajar dan pendidikan. Hingga akhirnya, tepat pada 2012, Education Specialist Zonal Papua, yang memulai karirnya di WVI sebagai Management Trainee ini mendapatkan kesempatan kembali bekerja bagi pendidikan anak-anak di Papua.

“Saya sangat percaya bahwa melalui pendidikan semua anak bisa mendapatkan kesempatan mengembangkan potensi maksimalnya untuk meraih masa depan yang cerah dan terbebas dari segala ketertinggalan,” kata ayah 3 anak ini.

Selama 9 tahun bekerja di Papua, Marthen melihat langsung transformasi terjadi di tanah Papua. Hatinya bergirang saat tahu pelayanan yang dilakukannya bersama WVI berdampak bagi anak-anak dan masyarakat di sana.

“Misalnya, anak-anak putus sekolah di Pegunungan Tengah Papua yang pernah dibina di Asrama Mandiri akhirnya melanjutkan sekolah lagi. Para tutor rumah baca (perpustakaan.red) yang awalnya dilatih selama seminggu tentang literasi dan kurikulum rumah baca, sekarang sudah menjadi fasilitator di kampung lain, bahkan mendapatkan penghargaan untuk rumah baca yang dia dampingi,” jelas Marthen.

Baginya, bekerja bersama WVI memberikan perubahan positif, tak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada dirinya. Budaya organisasi yang dilandasi oleh tindakan kasih dan nilai kekeluargaan yang dijunjung tinggi membuat Marthen betah melayani bersama WVI. Tambahnya, “Bekerja dalam sistem yang agile secara tidak langsung memengaruhi saya untuk tidak menjadi orang yang kaku dan susah berubah. Namun, sebaliknya (saya) mampu beradaptasi dengan cepat untuk bisa mengikuti perkembangan yang begitu cepat.”

Bukti kerja nyata Marthen masih terus dirasakan anak dan masyarakat di Papua. Inisiatifnya dalam mengajukan Program Belajar Radio yang bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia Wamena dan Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya selama masa pandemi Covid-19, membawanya meraih apresiasi sebagai salah satu staf terbaik WVI tahun 2019-2020.  Proyek edukasi ini bahkan telah mendapatkan penghargaan dari Komisi Penyiaran Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada akhir Agustus 2020 lalu.

Minimnya literasi anak Papua yang mencapai angka di bawah 50% menggerakkan hati Marthen untuk bergerak lebih lagi selama masa pandemi. Orang tua yang bingung akan pendidikan anak akibat ketiadaan akses internet dan tutupnya sekolah, membawa Marthen dan tim terus berusaha memberikan yang terbaik bagi pendidikan di Papua.

“Saya berharap tidak ada lagi anak yang tidak bisa membaca dan yang bisa membaca tidak hanya lancar, tetapi mampu memahami bacaan … Orang dewasa, baik itu pengasuh atau orang tua dan juga masyarakat umum bisa mendorong anak-anak tetap memiliki waktu terbaik untuk belajar,” harap Marthen.

Ditulis oleh: Putri ianne Barus, Communications Officer Wahana Visi Indonesia

 

#WorkWithLove


Artikel Terkait