Perempuan dan Laki-laki Bisa Bekerja Sama

Perempuan dan Laki-laki Bisa Bekerja Sama

Di berbagai wilayah di Indonesia, proses sebuah perubahan kadang berbenturan dengan berbagai kepentingan. Misalnya saja di Nusa Tenggara Timur. Budaya patriarki yang lekat sejak dulu kadang membuat perempuan masih belum memiliki kedudukana setara terutama dalam hal pengambilan keputusan.

Yohanis Hamu, salah satu warga dan juga calon Kepala Desa di Desa Mbatakapidu, Sumba Timur membenarkan hal ini. “Adat adalah tantangan yang paling besar untuk melakukan perubahan,” ujar pria 39 tahun ini.

Isu ketimpangan gender adalah hal yang tidak asing bagi Yohanis karena bisa ditemukan di kehidupan masyarakat desanya sehari-hari. Sejak mengikuti pelatihan yang diadakan oleh proyek ENVISION (Enabling Civil Society for Inclusive Village Economic Development) yang didanai oleh Uni Eropa melalui pendekatan Gender Equality Social Inclusive (GESI), Yohanis mendapat pemahaman baru soal gender, bahwa laki-laki dan perempuan setara dan bisa saling bekerja sama. Ia mendapat pemahaman bahwa perempuan bisa menjadi pengambil keputusan di acara adat.

“Kami belum pernah melakukannya dan kami juga tidak tahu bagaimana memulainya. Namun setelah mendengar pelatihan ini, saya sadar bawah sebeanrnya kita mampu melakukannya dan ini hanya berhubungan dengan kebiasaan. Karena selain kodrat, kami laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama demi kebaikan bersama,” katanya.

Hasil pelajaran ini, menurut Yohanis, akan ia terapkan saat ia resmi dilantik menjadi Kepala Desa nanti. Ia juga akan lebih memperhatikan partisipasi perempuan, pemuda, dan kaum rentan lainnya untuk terlibat aktif dalam pertemuan desa.

Ditulis oleh Lintang Krisantium, staf Proyek ENVISION,  Wahana Visi Indonesia

 

Materi publikasi ini diproduksi dengan bantuan hibah dari Uni Eropa. Pendapat/pandangan yang dinyatakan dalam materi publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Wahana Visi Indonesia dan bukan mencerminkan pendapat/ pandangan Uni Eropa.


Artikel Terkait