Gunakan Teknologi, Petani Indonesia Beradaptasi dengan Krisis Iklim

Gunakan Teknologi, Petani Indonesia Beradaptasi dengan Krisis Iklim

Petani Indonesia yang masih jauh dari makmur sering menimbulkan keraguan, apakah anak petani bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana? Di tengah lilitan ekonomi keluarga petani yang lemah dan gempuran perubahan iklim berskala global, petani seringkali pesimis akan masa depan anak-anak mereka. Namun, bukan berarti “tidak bisa” menjadi jawaban mutlak dari pertanyaan di atas. Anak dari keluarga petani bisa sejahtera asal petani mulai memanfaatkan teknologi tepat guna dan menerapkan climate smart agriculture

Selama bertahun-tahun, Mama Ima mengalami kesulitan dalam merawat kebun sayur miliknya. Mama Ima adalah seorang petani hortikultura yang tinggal di salah satu desa di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia tinggal di daerah yang cenderung mengalami kemarau panjang sehingga proses penyiraman kebun selalu menjadi tantangan.  

Penyiraman tanaman memakan waktu hingga tujuh jam sehari. Belum lagi kebun juga perlu perawatan lain seperti penyiangan gulma dan pembersihan tanaman. Pengaruh iklim, banyaknya pekerjaan perawatan kebun, serta keterbatasan tenaga dan waktu membuat Mama Ima tidak dapat memberikan perhatian maksimal pada kebunnya. Saat ini, Mama Ima juga mengalami hambatan penglihatan. 

Petani seperti Mama Ima membutuhkan inovasi agar kebunnya dapat menghasilkan panen dengan kuantitas dan kualitas yang menguntungkan, tapi hemat biaya dan tenaga. Salah satu teknologi tepat guna yang cocok untuk masalah pertanian Mama Ima adalah irigasi tetes atau drip irrigation. 

Cara kerja irigasi tetes cukup sederhana. Air yang tertampung dalam wadah dialirkan ke tanaman menggunakan gaya gravitasi melalui lubang-lubang yang ada pada emiter atau penetas dengan debit yang sedikit secara perlahan. Dengan begitu tanah tetap memperoleh air yang cukup dan tidak berlebihan sehingga tanaman bisa tumbuh dengan baik*. Irigasi tetes memiliki banyak manfaat, di antaranya: 

  1. Hemat air dan pupuk 

  1. Mengurangi penguapan 

  1. Menghemat waktu dan tenaga kerja 

  1. Menjaga ketersediaan air 

  1. Meningkatkan produktivitas pertanian 

  1. Mencegah tanaman tergenang air 

“Tahun 2009 saya sudah pernah dapat info tentang irigasi tetes. Saya dan beberapa petani lain pernah diajak melihat kebun irigasi tetes di lahan percobaan Universitas Nusa Cendana. Namun, saat itu, biaya untuk pengadaan irigasi tetes sangat mahal,” cerita Mama Ima. Setelah melihat lahan percobaan tersebut, Mama Ima merasa irigasi tetes dapat menjadi solusi namun terbentur pada kemampuan pengadaan alat. Para petani Indonesia awam dengan permasalahan ini. Teknologi tersedia namun tidak terjangkau karena kondisi ekonomi petani yang lambat meningkat. 

Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan GARAMIN (Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi), melalui proyek INCLUSION yang didanai oleh DFAT (Australian Government of Foreign Affairs and Trade), mengisi hambatan pengadaan alat irigasi tetes bagi Mama Ima serta petani lain di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal ini perlu dilakukan agar petani dapat segera mengalami peningkatan ekonomi yang sejalan dengan peningkatan efektivitas dan efisiensi praktik pertanian. Irigasi tetes pun menjawab tantangan perubahan iklim bagi pertanian di Indonesia. Mama Ima menjadi salah satu petani Indonesia yang telah menerapkan pertanian cerdas iklim karena praktik pertaniannya beradaptasi dengan perubahan iklim global. 

“Saya juga berpartisipasi, jadi tidak semua disediakan. Saya beli pipa PVC dan aksesoris sendiri, serta membuat bak penampung air sementara,” ujar Mama Ima dengan semangat. Ia merasa perlu turut ambil bagian dalam pengembangan kebunnya. Karena bagaimanapun kebun itu adalah kebun milik pribadi dan yang akan menikmati hasilnya adalah Mama Ima dan keluarganya. 

Sejak menggunakan irigasi tetes, Mama Ima telah melalui dua masa panen dari kebunnya yang seluas 1.300 m2. "Ada banyak kemudahan yang saya dan keluarga rasa. Sebelum ada irigasi tetes, penyiraman kebun itu sulit dan butuh air sampai 5.000 liter sehari. Sementara sekarang, air sebanyak itu bisa digunakan selama 3-4 hari. Penggunaan pupuk juga lebih efisien, dari 25 kg jadi hanya 9 kg sekali pupuk,” cerita Mama Ima. 

Efisiensi lainnya adalah jumlah tenaga kerja. Sebelumnya, penyiraman, pemupukan, dan penyiangan memerlukan banyak orang. Kini, semua pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh satu orang saja. Dampak positif lainnya adalah Mama Ima masih punya waktu untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengikuti kegiatan sosial di desa dan Gereja. 

Selain efisiensi, Mama Ima juga melihat dampak positif pada pertumbuhan tanaman. Bibit yang dipindahkan ke lahan tumbuh dengan baik, jumlah populasi tanaman lebih banyak, dan tanaman terlihat selalu segar tanpa layu. Jumlah buah dalam satu rangkai meningkat, terutama pada tanaman tomat yang bisa menghasilkan 6-8 buah per rangkai. 

Keberhasilan menggunakan irigasi tetes membuat Mama Ima berbagi pengalamannya kepada petani lain, memotivasi mereka untuk menggunakan irigasi tetes juga. "Meskipun biaya awal irigasi tetes cukup besar tapi itu adalah investasi yang sangat berharga bagi lahan horti saya. Dari hasil panen pertama tanaman tomat dengan irigasi tetes, saya dapat sekitar 12 juta rupiah. Saya dan suami ada rencana untuk memperluas lahan horti,” ujarnya. Mama Ima berharap, semua petani hortikultura di desanya bisa menggunakan irigasi tetes sehingga kehidupan mereka bisa lebih sejahtera dan anak-anak mereka bisa bersekolah hingga jadi sarjana. 

 

 

*Sumber: https://www.detik.com/jateng/berita/d-7569688/sistem-irigasi-tetes-pengertian-cara-kerja-keunggulan-dan-kelemahannya 

 

 

Penulis: Matheo Dima (Penyedia Jasa Individu untuk proyek INCLUSION) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait