Jembatan Kerukunan: Kisah Mediator Merangkai Relasi yang Harmonis

Jembatan Kerukunan: Kisah Mediator Merangkai Relasi yang Harmonis

Ruangan sebuah hotel di Sentani, Jayapura pada tanggal 14-17 November 2023 dipenuhi suara nyaring orang-orang yang sedang berdebat dan tanya-jawab. Bukan sedang bertengkar, mereka sedang antusias mengikuti pelatihan dan simulasi mediasi bagi tokoh masyarakat dari Jayawijaya dan Jayapura, baik tokoh agama, adat, pemuda dan perempuan, maupun pemerintah distrik (setingkat kecamatan). Selama pelatihan, mereka belajar memahami konflik sosial, perspektif, kepribadian, dan kecakapan mediator, proses dan kode etik mediasi, hingga teknik negosiasi dan reframing. Pelatihan ini diadakan oleh WVI program NOKEN (Transformasi Komunitas untuk Kerukunan) Papua bekerja sama dengan Pusat Bantuan Mediasi (PBM) GKI di Tanah Papua, sebagai suatu langkah untuk mewujudkan pengembangan lingkungan yang aman untuk anak.  

Seorang laki-laki paruh baya bernama Thadeus (44), seorang kepala distrik di Jayawijaya turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Selain menjadi area dampingan program NOKEN, distrik tempat Thadeus tinggal merupakan salah satu wilayah dengan beberapa riwayat konflik antarkelompok yang mengakibatkan aktivitas warga terhambat, warga mengungsi, perusakan bangunan, hingga menimbulkan korban. “Ada konflik yang masih belum terselesaikan antara distrik tempat saya dengan beberapa distrik terdekat. Bapa rasa pelatihan ini sangat baik dan buat saya semangat. Awalnya saya ragu ikut pelatihan ini tapi ternyata materinya sangat bermanfaat,” tuturnya usai pelatihan.  

Saat ditanya manfaat apa yang dirasakan, beliau terlebih dahulu menceritakan kondisi di wilayahnya. Selama ini masyarakat di distrik tersebut memang sempat menyelesaikan konflik secara musyawarah. Tapi biasanya diskusi berfokus pada menentukan siapa yang benar atau salah, agar hukuman dijatuhkan pada pihak yang bersalah. Bentuk dan besar hukumannya pun bisa berbeda-beda, tergantung tuntutan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dianggap menyelesaikan konflik, namun sebenarnya mendatangkan potensi konflik berikutnya. 

“Meski sudah ada kesepakatan hukuman, tetap ada baku jaga (saling waspada atau curiga) saat warga dari dua kelompok yang berkonflik ini berpapasan. Mungkin karena ada yang rasa tidak sanggup atau tidak terima dengan denda yang ditetapkan. Akhirnya saat tiba-tiba pecah kasus lagi, mereka kembali tegang. Hubungan kembali renggang. Konflik ulang-ulang. Padahal waktu itu proses dialog belum tuntas. Belum ada perdamaian yang sesungguhnya,”. 

Dari pelatihan tersebut, Thadeus memperoleh secercah inspirasi. “Lebih baik kita membuat masyarakat berdamai dengan mengajak semua pihak untuk fokus mencari solusi. Misalnya, bayar denda, kita harus perhatikan latar belakang dan kemampuan ekonomi masing-masing pihak. Tidak bisa sembarang menuntut, harus baku dengar (saling mendengarkan). Dan yang terpenting, harus meyakinkan masing-masing pihak supaya hatinya terbuka untuk berdamai,” ujarnya. 

Beliau optimis bisa terjadi perubahan positif di wilayahnya bila ada komunikasi yang terjalin antara tokoh masyarakat. Thadeus berencana menguatkan kapasitas serta relasi para tokoh masyarakat agar dapat membangun kerukunan. 

Pada tanggal 1 Agustus 2024, bersama pemerintah distrik lainnya, komite kerukunan dan Gereja-gereja mitra NOKEN, Thadeus mengemukakan suaranya kepada Asisten I Bupati Jayawijaya, Tinggal Wusono (54), tentang perjalanan beliau dan rekan-rekan dalam menangani konflik di distriknya. 

“Kegiatan-kegiatan NOKEN memberi banyak masukan tentang bagaimana menangani konflik dan memberi pemahaman pada masyarakat. Setelah sosialisasi yang kami lakukan bersama Gereja dan beberapa lembaga, konflik di distrik kami yang dulunya berbahaya dan berpotensi meluas kini semakin minim,” ucapnya.  

Mewakili aparat pemerintahan di tingkat kabupaten, Tinggal Wusono menanggapi, “Fungsi pemerintahan umum yaitu, fungsi mediasi sosial dan fungsi itu ada pada Kepala Distrik. Harapan kami, tiga Kepala Distrik yang didampingi NOKEN ini menjadi juru sosialisasi ke distrik yang lain, karena telah berpengalaman bekerja sama dengan Gereja dan WVI dalam merancang suatu metode untuk meminimalisir konflik sosial di masyarakat. Teman-teman distrik bisa memberikan informasi secara mandiri, sehingga apabila nantinya ini sesuatu yang baik, mungkin bisa kita diskusikan lebih lanjut pada tingkatan kepala distrik yang lain,”. 

Manfaat positif yang sama juga dirasakan oleh peserta lain yang berada di Sentani, Papua yaitu, Bapa John (59). Ia menyatakan, “Setelah pelatihan saya sudah menyelesaikan 10 masalah dan baru-baru ini berhasil mencegah pembunuhan karena konflik antarkeluarga. Kalau dulu saya biasa mediasi seadanya saja, hanya mengundang pihak yang berkonflik untuk bicara. Pelatihan mediator membekali saya dengan metode dan langkah-langkah mediasi yang baik misalnya, saya harus bertemu dengan masing-masing pihak dulu untuk mengetahui persepsi dan ekspektasi mereka, sehingga mereka lebih siap saat bertemu dan bicara dengan pihak lain untuk menyelesaikan masalah,”.  

Demikian halnya dengan Irsad (28), pemuda anggota komite kerukunan dari Sentani yang juga menjabat wakil kepala sekolah bidang kesiswaan di sebuah sekolah menengah. “Pelatihan mediator sangat membantu saya dalam menangani konflik antarsiswa. Biasanya saya hanya panggil mereka (siswa-siswa yang berkonflik) untuk memberi nasihat, tapi konflik mereka seringnya terulang kembali. Setelah diajarkan keterampilan mediator, saya mencoba mengubah pendekatan yaitu, berdialog, mengajak mereka refleksi tentang persepsi mereka masing-masing dan dampak dari tawuran. Pernah mereka hampir membawa masalah ke luar sekolah untuk saling keroyok, tapi alhamdulillah tidak terjadi dan konflik bisa mereda setelah saya ajak mereka berdialog. Bahkan kini mereka berteman dan duduk sebelahan,”. 

Usai bercerita manfaat yang ia peroleh dari pelatihan, Thadeus menyatakan sebuah pesan berharga, “Kita harus jadi jembatan. Tidak hanya buat diri bahagia tapi juga orang lain bahagia. Namun kita juga perlu rendah hati. Damai bisa tercipta bukan cuma karena mediator. Damai adalah buah dari kebersamaan dan kerja sama semua pihak,”. 

 

 

 

Penulis: Andina Larasati (MEL Coordinator program NOKEN) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait