Menumbuhkan Harapan: Benih Literasi di Papua

Menumbuhkan Harapan: Benih Literasi di Papua

Sekolah-sekolah di Pegunungan Tengah, Papua sering terpaksa diliburkan karena alasan keamanan. Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat membuat orang tua khawatir jika anaknya harus tetap ke sekolah. Para orang tua murid merasa keamanan anak-anak terancam sehingga lebih baik diam di rumah. Hal ini sangat berpengaruh pada proses pembelajaran. 

“Sedangkan di rumah belum tentu juga anak-anak ini belajar karena orang tua juga mengurus kebun atau sulit mengajar anak-anak,” cerita Ibu Septa. Ia adalah guru kelas enam SD di salah satu sekolah yang ada di Pegunungan Tengah. Selain menjadi guru kelas, Ibu Septa juga menjabat sebagai kepala sekolah. 

Sekolah tempat Ibu Septa berkarya sebenarnya sudah menerapkan metode ajar yang kontekstual. Dengan metode ini, para murid memahami materi ajar dengan lebih maksimal. Namun, sebagus apapun metode ajar di sebuah sekolah akan sulit meningkatkan kemampuan murid bila tidak diselaraskan dengan peran orang tua, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah. 

“SDM (Sumber Daya Manusia) dan pengaruh lingkungan. Dua hal ini yang perlu perhatian besar. Karena sekarang internet juga sudah masuk ke desa, walaupun fasilitas pasti timpang dengan yang di kota. Tapi ini juga perlu didukung dengan SDM yang mau berkembang dan maju,” ujar Ibu Septa. 

Pendidikan anak bukan hanya menjadi tugas guru di sekolah. Seluruh orang dewasa yang berada di sekitar anak harus membangun lingkungan yang 100% mendukung setiap anak dapat belajar dengan baik. Anak-anak dapat belajar di rumah didampingi orang tua, memiliki kelompok anak yang mengasah potensi, atau tersedia ruang ramah anak di desa. Ketika lingkungan yang baik ini terbentuk, anak-anak di desa dapat maju dan siap bersaing. 

Ibu Septa pun merasa pentingnya peran tokoh-tokoh adat untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Pegunungan Tengah. “Seperti kalau ada kedukaan, biasanya butuh waktu satu bulan. Sehingga anak akhirnya tidak sekolah karena ikut orang tuanya berduka. Atau kalau orang tuanya ke kebun, anak juga ikut sehingga sering tidak masuk sekolah,” katanya. 

Pelestarian budaya lokal harus selaras dengan pemenuhan hak anak. Budaya lokal dapat disesuaikan agar tidak menjadi penghambat tapi malah jadi promotor utama dalam isu pendidikan. Sehingga anak-anak pun dapat makin mencintai pendidikan karena budaya mereka pun mengajarkan demikian. 

Sejak 2013, WVI telah bekerja sama dengan sekolah tempat Ibu Septa mengabdi. WVI turut memfasilitasi pelatihan bagi guru agar makin terampil mengajar sesuai dengan kurikulum yang diterapkan. Selain itu, guru-guru pun mengikuti modul pelatihan Wahana Literasi. Hal ini menjadi salah satu cara WVI untuk meningkatkan dan memelihara kualitas para pahlawan tanpa tanda jasa ini. 

“Anak-anak jadi semangat untuk membaca dan menulis karena guru-gurunya juga semangat. Kelas juga semakin literat, dulunya tidak banyak pajangan literasi di kelas kami. Setelah pelatihan Wahana Literasi kami makin berkembang dan intinya dampaknya kepada anak-anak,” ungkap Ibu Septa. 

Ia menyadari bahwa kerja sama guru-guru dengan WVI mendukung semua aspek pengajaran. Bukan hanya menyasar pengetahuan saja tapi guru-guru juga banyak belajar tentang literasi, numerasi, hingga karakter anak. Dengan kemajuan kualitas SDM di sekolahnya, Ibu Septa berharap hal ini terus terpelihara. Ia juga berharap anak-anak di Pegunungan Tengah dapat memiliki lingkungan yang mendukung pendidikan mereka hingga besar kelak. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait