Memahami Spiritualitas Generasi Milenial di ‘Church Leader Gathering’

Memahami Spiritualitas Generasi Milenial di ‘Church Leader Gathering’

World Vision International bekerja sama dengan Barna Research, melakukan riset “Connected Generation” pada 2019 yang melibatkan 15.369 responden generasi milenial (18-35 tahun) di 25 negara. Hasil penelitian tersebut dipaparkan dalam forum Church Leader Gathering yang diadakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI), pada 10 Februari 2020 di Jakarta. Acara dengan tema “Bringing Shalom Across Generations" ini dihadiri oleh banyak penggiat gereja, penggiat pendidikan serta pemerhati kaum milenial yang mewakili 120 lembaga.

Sebelum memulai penelitiannya, Barna Research telah mendefinisikan bahwa para responden generasi milenial merupakan generasi yang lahir pada 1984 hingga 1998. Generasi ini dicirikan sebagai generasi yang terhubung karena informasi dan teknologi, media sosial dan interaksi yang dibangun melalui dunia maya. Generasi milenial ternyata mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas ataupun kerohanian.

Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Barna Research dan World Vision Internasional yang mencatat bahwa 47 persen dari total responden di 25 negara masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas. Sementara itu, sebanyak 75% anak-anak muda di Indonesia percaya hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas.  

Pada acara tersebut, hasil penelitian dipaparkan langsung oleh perwakilan Bilangan Research Center (BRC) Bambang Budianto, Ph.D. Salah satu fakta data hasil riset BRC mengungkapkan bahwa 80,7% responden generasi milenial (usia 15-25 tahun, 4.000 responden, 42 kota), menyatakan bahwa efek pemuridan orang lain banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan rohani pribadi.

Para hamba Tuhan dan teman-teman sebaya mereka dianggap sangat berperan dalam pertumbuhan rohani kaum muda. Bambang melanjutkan, generasi milenial kini mulai meninggalkan gereja, dimana 52% responden mengutarakan alasan tidak lagi berinteraksi dengan gereja adalah karena tidak adanya program gereja yang menarik. Mereka menganggap program gereja tidak berguna, serta tidak relevan. Sementara itu, 20% milenial merasa tidak dilibatkan dalam pelayanan kegerejaan, 14,3% karena permasalahan leadership disconnect, serta 5,6% merasa adanya kepura-puraan dalam gereja.

Temuan-temuan lainnya juga mengungkapkan fakta bahwa generasi muda memiliki perhatian yang besar pada isu global seperti: korupsi, perubahan iklim, polusi, rasisme dan kemiskinan. Namun, hanya sedikit yang merasa gereja membantu mereka mengerti lebih baik tentang keadilan sosial, kemiskinan dan orang-orang yang termarjinalkan.

Gereja memiliki peluang besar untuk mendukung kesiapan generasi muda menghadapi tantangan zaman. Namun, berdasarkan survei Barna Research terungkap hanya 20%-33% generasi muda di Indonesia yang merasa gereja menolong mereka memahami kemiskinan dan keadilan sosial.

Daniel Copeland Direktur Riset Barna Research yang juga hadir pada acara tersebut mengungkapkan bahwa hanya 5% generasi muda Indonesia yang merasa terinspirasi untuk menjadi pemimpin karena keteladanan seseorang di gereja dan hanya 9% yang merasa mendapatkan pelatihan kepemimpinan dari gerejanya. Padahal gereja membutuhkan generasi muda sebagai pemimpin-pemimpin di masa depan.

“82% orang responden young adults, menyatakan masyarakat menghadapi krisis kepemimpinan saat ini,” jelas Daniel.

Beberapa narasumber seperti Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Manuputty, Ps. Sydney Mohede (JPCC), dan Pastor Carolus Putranto (Keuskupan Agung Jakarta) serta KWI yang diwakili Romo Carolus Putranto turut hadir dalam acara tersebut. Mereka menjelaskan bahwa gereja perlu terus belajar dari kaum muda.

Romo Carolus Putranto menjelaskan, kemudaan bukanlah masalah usia, tetapi masalah komitmen hidup yang mengajak gereja untuk terus membangun panggilan kemudaannya untuk tidak pernah berhenti belajar tentang hal-hal yang baru, sehingga semakin berdampak dan dapat melibatkan kaum milenials dalam melayani Tuhan dan sesama.

Sekretaris PGI, Pendeta Jacky Manuputy memberikan tanggapan bahwa kaum muda adalah kaum yang potensial dan harus terus diberdayakan sebagai bagian dari human capital gereja untuk merespons isu-isu sosial. Sementara itu, Sydney Mohede menjelaskan akan pentingnya pola kepemimpinan yang memberdayakan dan mempercayai kaum muda untuk terlibat sesuai talenta melalui coaching dan mentoring.

Pada kesempatan serupa, Direktur Nasional WVI Doseba T. Sinay menjelaskan bahwa WVI memandang gereja sebagai mitra tak tergantikan yang sudah bekerja sama dengan WVI dalam program-program seperti: Saluran Harapan Perlindungan Anak untuk para Pendeta, Pengasuhan Dengan Cinta, Revitalisasi Budaya dan program pelibatan anak muda dalam volunterisme di area pelayanan WVI.  

“Generasi muda dan permasalahannya selalu menarik dan menjadi perhatian kita semua. Kami terus berjalan bersama gereja untuk memakai peluang ini guna memfasilitasi dan memberi ruang bagi generasi muda agar terlibat lebih nyata dalam gereja dan masyarakat,” jelas Doseba.

Kerjasama dengan WVI ke depannya adalah salah satu peluang kemitraan yang bisa dibangun bersama gereja dalam menumbuhkan keinginan kaum milenials untuk kembali berkegiatan bersama gereja. WVI percaya bahwa gereja sudah bekerja dan melayani dengan baik dan terus mendorong kemitraan untuk menangani isu-isu yang lebih besar dengan tahapan-tahapan yang terencana dan terukur.

Ditulis oleh: Anil Dawan, Faith and Development Manager Wahana Visi Indonesia


Artikel Terkait