Mewujudkan Akses Air untuk Masyarakat Pedesaan: Bergotong-royong untuk Berkelanjutan

Mewujudkan Akses Air untuk Masyarakat Pedesaan: Bergotong-royong untuk Berkelanjutan

“Saya ingin melihat anak-anak dan masyarakat tidak lagi mandi dan menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari,” tutur Wak Anang*. Laki-laki paruh baya ini merupakan pengurus Komite Air salah satu desa dampingan WVI. Ia melanjutkan, “Saya yakin ini bisa diwujudkan dengan banyak melibatkan warga dalam kegiatan ini. Banyak tantangannya tapi saya yakin yang saya lakukan ini adalah hal yang baik dan untuk kebaikan anak dan masyarakat di sini. Jadi saya terus berjuang untuk ini sampai sekarang,”. 

Setelah seumur hidup anak dan masyarakat desa hanya bisa memanfaatkan air sungai yang jorok, di penghujung tahun 2023, 502 jiwa masyarakat desa di Bengkulu Selatan ini pertama kalinya bisa mengakses air bersih dan air minum layak. Ini semua tercapai berkat partisipasi seluruh masyarakat desa, baik sebagai warga yang gotong-royong membangun jaringan air bersih, Komite Air, maupun pemerintah desa. 

Sebelum terpasang kran di depan rumah yang mengalirkan air bersih, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, tua atau muda, akan berkumpul di sungai setiap sore. Hingga malam, sungai ramai dengan berbagai aktivitas seperti mandi, mencuci, dan buang air. Padahal air sungai itu juga yang masyarakat gunakan untuk masak dan minum. Karena tidak ada sumber air lain di desa, masyarakat tetap memanfaatkannya meskipun tidak layak untuk dikonsumsi. 

“Pada setiap musim kemarau kami selalu kesulitan air. Anak-cucu kami juga sering sakit gatal-gatal, demam, dan tidak sedikit yang diare,” ungkap Ibu Nili, seorang ibu rumah tangga yang mewakili aspirasi perempuan dalam kepengurusan Komite Air. Ia juga menceritakan, “Ketika itu, jadi diajak gabung Komite Air ya saya ikut jadi pengurus karena saya mau hal ini berubah jadi lebih baik. Awalnya memang sering disepelekan oleh masyarakat. Kenapa saya perempuan jadi pengurus padahal ini adalah pekerjaan laki-laki dan berat. Tapi sampai saat ini masih bertahan karena saya yakin ini bakal suskses dan kami bisa dapat akses air yang sudah bersih dan lebih layak untuk diminum,”. 

Melihat bagaimana pengurus Komite Air memiliki semangat untuk mengubah kualitas hidup anak dan masyarakat di desa, WVI melalui proyek WASH BP pun turut berpartisipasi. Dengan tujuan agar anak-cucu di desa hidup bersih dan sehat, tim WASH BP dan masyarakat melakukan serangkaian survey dan merancang model pembangunan jaringan air bersih yang tepat. 

“Kami buat itu pakai proses penyaringan, ada dua unit broncaptering di situ yang dibuat dan dialirkan ke reservoir. Di dalam reservoir itu juga ada penyaringan batu-batu sehingga air yang mengalir ke warga itu benar-benar air bersih dan sudah layak bahkan aman untuk di minum. Tapi ya masak dululah sebelum jadikan air minum itu jadinya lebih aman,” tutur Wak Anang. 

Broncaptering merupakan salah satu Sistem Instalasi Pengolahan Air Sederhana (SiPAS) yang digunakan untuk penyediaan air minum pada unit air baku. Metode ini berfungsi melindungi dan menangkap air dari mata air untuk ditampung dan disalurkan pipa transmisi ke reservoir. Berdasarkan konteks dan kebutuhan air di desa, broncaptering menjadi metode yang sesuai serta disepakati oleh masyarakat. 

Tugas berat Komite Air pun dimulai. Susunan rencana akses air bersih di desa harus terwujud dan memperoleh dukungan seluruh masyarakat karena dikerjakan secara swadaya atau bergotong-royong. “Kami komite ini mengajak semua masyarakat untuk bekerja. Kami juga mengingatkan semua jadwal pekerjaan dan apa yang akan dikerjakan setiap harinya. Setiap hari kami berkoordinasi dengan WVI dan belajar juga sebelum bekerja teknisnya dengan sesama pengurus dan warga untuk air bersih ini. Jadi kalau tidak ada pengurus ya kacau bahkan mungkin tidak jalan, jadi peran komite ini sangat penting dalam kegiatan seperti ini,” ujar Silmantoro, salah satu pengurus. 

Mengkoordinir ratusan warga desa untuk bergotong-royong selama 60 hari bukan sesuatu hal yang mudah. Apalagi selain tenaga, warga desa juga berswadaya perkakas bangunan juga konsumsi. Wak Anang bercerita bagaimana setiap hari Komite Air mengatur siapa-siapa saja yang bekerja. Koordinasi juga melibatkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat di desa. Berbagai tantangan mulai dari lokasi pembangunan yang sulit diakses hingga bagaimana bisa menyeimbangkan peran setiap warga agar tidak muncul rasa curiga atau konflik harus siap dihadapi. 

“Dibagi ada yang tukang angkut material berat seperti batu, semen, pasir ke tempat kami bekerja. Itu melewati jurang pinggir aliran air tingginya kurang lebihlah 20 meteran. Terjal dan ekstrim hingga sampai ke tempat bekerja di sumber air. Semua kami ajak ikut gotong royong. Kami juga bagi tugas dengan teman-teman pengurus. Ada yang tukang ingatin jadwal gotong royong setiap malamnya. Pak Silmantoro bagian pengurus masjid dia yang mengingatkan setiap Jumat dan tokoh agama. Mingki kebagian yang di sekitar rumahnya, dan begitu juga yang lainnya. Setiap hari kami komite ini juga bekerja bergantian,” Wak Anang menceritakan betapa riuh tugasnya sebagai pengurus Komite Air. 

Mengawal proses pembangunan jaringan air bersih dengan total biaya RP 366.373.000 juga menuntut transparansi kerja Komite Air. Bukan hanya mengkoordinir, Komite Air juga mengemban tugas agar tidak ada masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, tidak diikutsertakan, atau merasa bahwa kerja kerasnya tidak sebanding dengan tetangganya. Tantangan-tantangan seperti ini membutuhkan kebijaksanaan dan kekompakkan antarpengurus sehingga bisa teratasi dengan baik. Salah satu langkah yang pengurus lakukan untuk memitigasi hal ini adalah dengan mengikutsertakan keterwakilan perempuan dalam komite. 

“Perempuan ini biasanya lebih teliti, jadi kami ajak untuk posisi bendahara kami. Makanya kami butuh sosok perempuan di Komite Air ini, dan ini juga sebagai keterwakilan komite di masyarakat,” tutur Wak Anang, “Perempuan untuk hal ini kan jarang ada kami lihat, tapi Bu Nili ini semangat dan mau bekerja untuk masyarakat dan untuk anak-anak di desa kami, juga dia aktif. Bu Nili ini sebagai contoh bagi perempuan di desa untuk dapat ikut bergotong royong juga. Karena banyak ibu-ibu ini tidak mau kerja seperti ini apalagi kerjanya berat kan. Jadi karena ada perempuan yang mengawali dan ibu-ibu yang lain tidak ragu untuk ikut terlibat,”. 

Pepatah lama “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian” nyata terjadi di desa ini. Perjuangan yang berat terlalui dan membuahkan hasil yang malah bisa menghapus segala lelah dan kendala yang sempat terjadi. Kini, anak-anak dapat mandi dua kali sehari, mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, mempunyai air minum yang layak dan cukup untuk konsumsi sehari-hari, baju yang mereka pakai selalu bersih, dan yang terutama anak-anak makin terpapar dengan pola hidup bersih dan sehat. 

Pentingnya akses air bersih di desa makin terasa ketika Komite Air membayangkan bagaimana kondisi anak-anak bila air tidak hadir di desa. Mingki, yang juga bergabung sebagai pengurus Komite Air berkata, “Yang jelas pasti banyak penyakit, anak-anak banyak yang tidak sehat bahkan banyak anak stunting di desa. Karena ini hal dasar yang harus dipenuhi, dari buang air sampai makan kita butuh air yang bersih. Nah, kalo tidak ada itu pasti banyak penyakit yang timbul di desa yang disebabkan air kotor,”. Dan warga desa sudah tidak mau lagi terkungkung dalam kehidupan yang sedemikian rupa. 

Setelah desa memiliki akses air bersih, bukan berarti proses ini berhenti di sini. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan poin 6 mengenai akses universal air bersih dan sanitasi, maka akses ini perlu terus terpelihara dan terjamin keberlanjutannya. Tugas Komite Air di desa pun bersambung hingga tahap advokasi di tingkat desa dan kabupaten. 

“Kami telah merencanakan untuk penerbitan Perdes tentang pengola sarana air ini. Awal bulan Januari (2024) ini kami sudah musyawarah dengan BPD, pemerintah desa, dan WVI untuk dapat merumuskan dan menerbitkan Peraturan Desa tentang hal ini, mulai dari cara penarikan retribusi, perawatan bahkan kami harap pihak desa mengeluarkan anggaran untuk membantu operasional dan perawatan sarana air bersih ini agar dapat bertahan hingga anak-cucu nanti. Dan kami harap, kami bisa lebih kompak dalam pemeliharaan karena kami sadar bagian inilah yang terpenting dan hal ini sering diingatkan oleh WVI agar keberlanjutannya bertahan sampai lama,” pungkas Wak Anang. 

 

 

*Wak merupakan sapaan khas daerah Bengkulu Selatan yang mengacu pada sosok laki-laki yang lebih tua. 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive

Kontributor: Sendi Normansyah (Staf proyek WASH BP di Bengkulu Selatan) 


Artikel Terkait