Penyederhanaan Adat Mengubah Masa Depan Anak

Penyederhanaan Adat Mengubah Masa Depan Anak

Kesulitan secara ekonomi merupakan permasalahan yang cukup pelik karena memberikan dampak besar dan signifikan terhadap kehidupan masyarakat terutama pada anak. Ketika keadaan ekonomi tidak baik, dampaknya bukan hanya saja pada kesehatan dan pendidikan, tetapi juga berdampak pada perlindungan anak.

Jika ditelusuri tidak sedikit kasus-kasus kekerasan yang terjadi dikarenakan keadaan ekonomi. Demikian halnya yang terjadi di Sumba Timur, NTT. Namun, ada suatu hal yang menarik ketika Wahana Visi Indonesia (WVI) mencoba menelusuri kembali lebih dalam alasan mengapa permasalahan ekonomi menjadi masalah yang sepertinya sulit untuk dibenahi di Sumba Timur.

Penerapan sistem adat yang dieksploitasi, sehingga terjadi kebocoran pada ekonomi masyarakat ternyata menjadi salah satu penyebab mengapa permasalahan ekonomi menjadi isu penting di Sumba Timur. Hal ini turut dibenarkan oleh Aprianus (46), salah satu tokoh desa yang juga merupakan masyarakat dampingan WVI.

“Permasalahan pendidikan di desa kami ini turun karena praktik adat, terutama pada praktik adat kematian dan pernikahan. Di Sumba ini kalau meninggal tidak langsung dikubur, bisa sampai bertahun-tahun, dan terjadilah pemborosan. Tiap malam harus korbankan babi atau kerbau, sehingga terjerat utang dan keluarga tidak lagi pikirkan uang untuk kepentingan anak. Adat pernikahan juga sama, untuk masuk-minta juga boros, permintaan yang begitu banyak, sehingga biasanya keluarga mempelai pria harus berutang demi bisa menikahi wanitanya,” ungkap Aprianus.  

Melihat permasalahan yang terjadi ini, WVI Area Program Sumba Timur menjalankan program revitalisasi penyederhanaan adat untuk perlindungan anak. Tanpa mengurangi ataupun mengubah nilai budaya, WVI berupaya untuk mendekatkan diri dengan tokoh-tokoh pimpinan adat dan pemerintah desa hingga kabupaten untuk mendeklarasikan penyederhanaan adat.

Aprianus merupakan salah satu tokoh pemerintah desa yang ikut memperjuangkan deklarasi penyederhanaan adat di desanya. Hingga akhirnya pada 11 November 2014 desa tempat Aprianus tinggal berhasil mendeklarasikan penyederhanaan adat.

“Desa kami sepakat untuk adat kematian maksimal hanya bisa sampai delapan malam dan harus cepat kubur. Lebih dari delapan malam, dikenakan denda satu malam satu juta rupiah untuk dana desa. Sampai dengan saat ini semua masyarakat sudah patuh mengikuti. Begitu juga kalau untuk perkawinan sudah mulai mengurangi permintaannya untuk masuk-minta,” jelasnya.

Aprianus mengaku juga sudah langsung mempraktikkan penyederhanaan adat pada momen kematian sang Ibu, beberapa saat setelah deklarasi penyederhanaan adat dilakukan di 18 November 2014.  

“Rasanya tidak ada beban, tidak ada utang. Sebelum adanya penyederhanaan adat ini, setiap habis acara adat pasti termenung sudah karena banyak utang. Akibatnya anak jadi korban kena marah karena emosi banyak pikiran dan mereka juga tidak bisa sekolah,” paparnya.

Menurut Aprianus, mempertahankan praktik penyederhanaan adat bukanlah hal yang mudah. WVI bersama dengan masyarakat kunci harus terus menyosialisasikan pentingnya praktik penyederhanaan adat ini. Ditambahkannya, dibutuhkan kedisiplinan untuk menjalankan komitmen tersebut. Terutama para tokoh adat yang menjadi lini terdepan membawa pesan bagi masyarakat.

“Berkat WVI juga saya belajar banyak hal selain bisa menghemat, kami juga diajarkan menabung dan pengelolaan ekonomi keluarga. Kami diajarkan untuk punya 3tigacelengan; celengan anak, adat, dan kebutuhan rumah tangga. Tidak boleh saling ganggu celengan yang lain. Berkat ilmu ini anak-anak saya bisa kuliah di luar Sumba, satu di Yogyakarta dan satu di Malang. Saya tetap menabung untuk tiga anak saya yang lain yang masih duduk di bangku SMA, SMP & PAUD agar mereka juga bisa kuliah di luar seperti kakak-kakak mereka,” ujar ayah lima anak ini.

Meskipun WVI akan menyelesaikan pelayanan di Sumba Timur pada September 2022, Aprianus memiliki komitmen untuk terus melanjutkan apa yang selama ini telah WVI berikan kepada dirinya dan masyarakat desa. Aprianus percaya jika hal baik dimulai dari lingkungan terdekatnya, niscaya masyarakat lain juga akan merasakan hal serupa.

 

Ditulis oleh: Gracia Thomas, Volunteer Engagement Executive Wahana Visi Indonesia

 


Artikel Terkait