Ronny Ichwan: Andalan WVI untuk Kebencanaan

Ronny Ichwan: Andalan WVI untuk Kebencanaan

Mengerjakan misi kemanusiaan, hal itulah yang kemudian jadi pegangan dan landasan bagi Ronny Ichwan untuk terus melayani dan memberikan hidupnya bagi orang-orang yang membutuhkan. Ronny mulai bergabung dengan WVI sekitar 25 tahun yang lalu. Diawali sebagai seorang relawan di kelurahan yang menjadi dampingan WVI, Ronny mulai terlibat dalam kerja kemanusiaan. 

“Dulu ada program padat karya, masyarakat gotong royong untuk membersihkan lingkungannya, memperbaiki sarana infrastruktur di kampungnya, dan upahnya diganti dengan beras. Di situlah saya ikut membantu, karena World Vision kan gabungnya dengan kelurahan, saya ikutlah sebagai relawan,” ujar Ronny. Bermula dari sana, WVI yang saat itu masih menggunakan nama World Vision, melihat potensi Ronny. Pada tahun 1999, Ronny bergabung bersama WVI dalam tim Surabaya Emergency Operation Plan sebagai staf lapangan. Enam bulan terhitung dari bergabungnya Ronny dengan WVI, tragedi kemanusiaan yaitu, konflik keagamaan terjadi di Ternate, Maluku Utara. 

"Itu tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Sekitar tahun 2000 itu, pecah tragedi di sana yang  menjadi salah satu tragedi nasional dan internasional. Di sana, World Vision mengembangkan program, ada emergency response. Saya terpilih menjadi staf yang ke sana,” tuturnya. Momen ini menjadi penentu karir Ronny. Ia bertugas sebagai first responder dan seiring berjalannya waktu, Ronny mulai dipercayakan untuk terus melayani dalam berbagai tanggap bencana. 

Perubahan yang cukup signifikan terjadi dalam kehidupan Ronny ketika ditugaskan untuk terjun ke lapangan, turut langsung dalam menyebarkan bantuan kemanusiaan ke daerah konflik yang cukup berbahaya. “Awalnya kaget! Pengalaman saya kerja di organisasi profit paling kerja jam delapan sampai lima. Tetapi dengan ritme WVI saat itu dan konteks emergency, menantang juga,”. Ia masih mengingat bagaimana situasi di Ternate saat itu. “Situasi masih perang. Kalau tengah malam ada suara pukulan tiang listrik, itu suasana mencekam. Melihat pasukan-pasukan yang menyeberang pulau membawa senjata, itu pemandangan sehari-hari,” ceritanya. Bertugas sebagai first responder bukanlah hal yang bisa dilakukan setiap orang. Namun, berkutat dengan situasi berbahaya menjadi sesuatu yang dipilih Ronny saat banyak orang justru menghindarinya. Risiko ini tetap ia ambil karena merasa pekerja kemanusiaan dapat membantu meringankan hidup anak dan orang dewasa yang sedang terancam karena bencana. 

“Belajar sambil bekerja,” itulah yang diterapkan Ronny ketika mengerjakan misi-misi kemanusiaan. Dalam kondisi bencana, pekerjaan seringkali mulai dari subuh hingga selesainya di sore hari. Barulah pada malam hari ketika situasi mulai senggang, ia bisa mengembangkan dirinya dengan pendampingan dari staf di kantor nasional WVI yang berada di Jakarta. “Waktu itu memang benar-benar saya dari staf lapangan, kemudian langsung jadi koordinator program. Dari situlah yang kemudian jadi learning by doing,” tuturnya. 

Tidak hanya konflik, Ronny juga ikut terlibat dalam berbagai tanggap bencana alam. Berawal dari gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004, letusan Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2006 hingga gempa di Padang, Sumatra Barat, ia turut serta bersama tim WVI lainnya. Dari beragam tanggap bencana tersebut, Ronny memiliki pengalaman unik ketika di Aceh. 

Lima tahun Ronny bertugas di Aceh, membantu penyintas membangun kehidupan mereka kembali. Ia juga sempat membuat sebuah kegiatan untuk membantu pemulihan psikologis anak-anak. “Nama kegiatannya Negeri Anak Madani. Kegiatan itu mereka ulang sebuah negeri yang dipimpin oleh anak-anak, diisi oleh anak-anak. Ada berbagai simulasi kecil yang dilakukan sebagai gambaran bila hak-hak anak terpenuhi. Ini jadi gambaran sebuah negeri kecil yang mengutamakan anak-anak,” ujarnya. Melihat anak-anak yang menjadi penyintas gempa bumi dan tsunami Aceh bisa kembali menjalani kehidupan normal merupakan momen yang paling berkesan dan mentransformasi Ronny. 

Antusiasme dan semangat Ronny dalam bekerja sebagai tim tanggap bencana patut diacungi jempol. Di saat tidak banyak orang yang mau terjun langsung dalam situasi seperti ini, Ronny justru memiliki hati dan passion untuk membantu para penyintas.  

Panggilan untuk berkarya di sektor Disaster Risk Management makin terasa kuat ketika Ronny sempat melayani sebagai Area Program (AP) Manager area Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. “Itu sama sekali beda pendekatan, beda situasi, dan segala macamnya. Kalau di emergency response kan cepat, situasi sulit, akses terbatas dan dituntut kecepatan. Ketika saya pindah ke development, yang natur ritme kerjanya bisa diatur, suasananya sangat berbeda dari emergency,” ucap Ronny menjelaskan. Setelah empat tahun menjalani tugas sebagai AP Manager, Ronny menyadari bahwa passion yang sesungguhnya ia miliki adalah bekerja di lingkungan yang dinamis. 

Sudah 25 tahun Ronny mengabdikan dirinya untuk mendampingi anak-anak dan menjalankan misi kemanusiaan. WVI menjadi pilihannya karena sifat kekeluargaan dan pertumbuhan iman yang Ronny rasakan walaupun berbeda keyakinan. “Rasa kekeluargaan itu penting banget. Saling mengisi, take and give itu cukup tinggi di WVI. Mungkin kalau kerja di tempat lain, budayanya tidak seperti di WVI. Dengan saya yang berbeda keyakinan, tapi saya bisa terlibat penuh. Saya bisa kerja dengan sepenuh hati, membangun spiritual iman, itu yang saya senangi ya bekerja di WVI,” ujarnya.  

Menurut beliau, aksi kemanusiaan tidak terbatas dengan ras, suku, budaya, atau agama. Selama yang diperbuat adalah untuk misi kemanusiaan, pekerjaan tersebut tidak ada batasnya. “Ada tawaran di organisasi lain, tapi saya meyakinkan bahwa WVI masih menjadi rumah yang terbaik untuk pengembangan spiritual, kapasitas, maupun karir di kehidupan pribadi ataupun sosial, itu saya temui di sini,” lanjutnya. 

Ronny juga merasakan transformasi besar terjadi dalam dirinya karena WVI mengajarkan pentingnya ketika kita menjadi pribadi yang menjadi panutan. “Dalam pekerjaan ini kan kita juga menjadi role model, tidak hanya saat jam kerja tapi juga dalam kehidupan sehari-hari,”. Nilai ini ia jadikan sebagai pegangan dalam kehidupannya. “24 jam selama kita dinobatkan menjadi staf WVI, kita adalah role model. Nilai-nilai hidup kita jadi sangat penting di manapun, kapanpun. Tidak sekadar saat sosialisasi, pelatihan,” tutupnya. 

Ronny adalah sosok hebat yang memiliki semangat dan hati untuk melihat transformasi terjadi dalam kehidupan anak dan masyarakat yang ia dampingi. Hal tersebut ikut mengubah Ronny menjadi lebih semangat dalam mengusahakan perubahan tersebut. 

 

 

Penulis: Amarissa Kayla (mahasiswa magang tim Marketing Communications

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait