Rumah, Gender, hingga Persekutuan: Seminar Sehari yang Mentransformasi Perempuan sebagai Agen Kerukunan
Peristiwa konflik kekerasan selalu menimbulkan korban. Perempuan dan anak-anak yang merasa tidak aman, tidak bisa belajar, dan beraktivitas seperti biasa. Meski demikian, perempuan sendiri merupakan agen yang berdaya mencegah konflik kekerasan. Program NOKEN (TraNsformasi kOmunitas untuk KErukunaN) Papua sebagai wujud kerja sama Wahana Visi Indonesia (WVI) dengan mitra-mitra gereja berupaya meningkatkan kapasitas perempuan sebagai agen pemberdaya masyarakat untuk membangun kerukunan. Pada tanggal 1 April 2023 di Sentani, Kabupaten Jayapura, peningkatan kapasitas perempuan untuk pertama kalinya melibatkan para fasilitator lokal. Pelatihan dipimpin oleh para tokoh agama dan perempuan-perempuan Papua. Materi yang mereka sampaikan meninggalkan kesan dan dampak berarti bagi perempuan lain yang menjadi peserta.
Langit Sabtu pagi hingga siang, tanggal 1 April 2023, diselimuti awan kelabu. Sebaliknya, sebuah gereja di Sentani dipenuhi senyum cerah dan tawa lepas perempuan dari berbagai jemaat di danau hingga dataran tinggi. Mereka asyik berinteraksi dengan teman-teman baru dan fasilitator. Hujan tidak mencegah ruangan terisi penuh. Di tengah tumpukan peran dan tanggung jawab, para perempuan sukarela mengisi akhir pekan mereka mengikuti seminar sehari untuk membangun kerukunan. Materi yang cukup berat dibuat ringan oleh para fasilitator lokal yang menyampaikan dengan luwes dalam bahasa sehari-hari.
Bapa Elimelek, Mama Alva, dan Mama Serlitha merupakan bagian dari tim fasilitator lokal yang telah dilatih dalam Training of Trainer (ToT) Modul Membangun Kerukunan, yang juga berinisiatif mengadakan kegiatan ini. Saat ditanyai pengalaman mempersiapkan hingga memfasilitasi kegiatan, para fasilitator menjawab dengan mata berbinar-binar.
Bapa Eli memuji teman-teman fasilitator lain yang memberi materi dengan spontan dan luwes, tidak terpaku namun tetap sejalan dengan modul. Beliau menilai tim fasilitator bekerja dengan hati sehingga kompak.
“Mereka mengerti saya sebagai orang tua jadi saya juga tidak malu tanya dan belajar dari mereka. Mereka juga belajar dari saya. Saling memotivasi. Teman yang kekurangan atau satu tidak hadir, satu langsung isi. Teman-teman begitu kompak.” tutur Bapa Eli.
Menurut Mama Alva, hal ini karena mereka sama-sama merasakan pentingnya materi Modul Membangun Kerukunan sejak mereka sendiri menjadi peserta pelatihan. Mereka pun memiliki kerinduan yang sama untuk membagikan materi tersebut pada orang lain.
Para fasilitator kian bersemangat melihat respons peserta yang melebihi ekspektasi. “Banyak yang ingin bertanya, angkat tangan, dan semangat tampil dalam presentasi atau bermain peran. Betul-betul ibu-ibu semua bergerak disiplin dan dari pagi sampai sore mereka tidak merasa lelah. Malah mereka minta kalau ada kegiatan lagi mereka mau ikut,” cerita Bapa Eli dengan berapi-api.
Meski beragam latar belakang dan posisi, para perempuan nyaman berbicara terbuka setelah mengetahui bahwa mereka berbagi keresahan yang sama. Dari cerita mereka, ternyata banyak yang merasa bahwa materi yang disampaikan sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari. Para peserta ini sering menjumpai konflik di keluarga, sekolah anak, hingga persekutuan wanita di gereja. Para peserta juga lebih mengenal konsep kesetaraan gender:
“Saya melihat perempuan-perempuan ini banyak memiliki kepahitan sehingga pada saat sesi bagaimana bisa menyelesaikan konflik, mereka lebih banyak terbuka karena merasa senasib sepenanggungan. Apalagi kalau masalah gender kemarin kita angkat, masih kuat patriarki di Sentani. Pergi ibadah saja kadang dilarang, kurang ada hak suara di rumah,”.
Tak kalah penting, perempuan kian menyadari peran penting mereka sebagai agen kerukunan dalam mengelola konflik. Di akhir kegiatan, para fasilitator bertanya pada peserta, “Apakah Anda mau menjadi pendamai, fasilitator atau agen kerukunan?”. Mereka terkesan dengan pertanyaan tersebut karena membuat para perempuan betul-betul dianggap sebagai sosok yang mampu menjadi agen kerukunan. “Justru yang saya lihat ibu-ibu itu sangat peduli dengan kerukunan,” pungkas Bapa Eli sambil tersenyum.
Perempuan menyadari bahwa konflik di manapun berada dapat dikelola secara positif dengan mengurangi persepsi buruk dan meningkatkan belas kasih dalam berinteraksi dengan orang atau kelompok lain. Mama Alva menceritakan bahwa dalam persekutuan perempuan di jemaat, pembagian tanggung jawab sering bermasalah karena masing-masing mengutamakan ego pribadi. “Kami menganggap bahwa pelatihan tentang transformasi komunitas untuk kerukunan ini, bagaimana kami mengelola konflik, bagaimana kami melihat dari berbagai sudut pandang, saya rasa ini sangat penting sekali dan Puji Tuhan saat kita membawa materi ini teman-teman semua wawasannya mulai terbuka. Mereka merasa bahwa ternyata betul konflik-konflik yang terjadi ini hanya karena kita lebih mengutamakan menurut versinya kita atau sudut pandang kita begitu,”.
Tak berhenti sampai situ, usai pelatihan pun para fasilitator melihat dampak pada peserta yang kebetulan mereka jumpai. “Pada saat kita biasa kumpul, perempuan itu paling identik dengan ngerumpi. Sekarang sudah stop karena sudah belajar tentang sudut pandang akhirnya ada hal-hal yang kita bisa angkat kembali begitu dari materi yang pernah kita sampaikan,”.
Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Mama Elsa, peserta pelatihan itu sendiri. “Sekarang kalau ibu-ibu ada kumpul bawa gosip, saya diam saja. Karena kalau saya ikut-ikutan sama saja dengan memperbesar masalah. Hal yang kitong anggap benar saja belum tentu sesuai fakta atau benar di mata orang lain. Sekarang saya lebih senang bicara kabar-kabar baik,” ujarnya.
Beliau bahkan merasa seminar sehari ini menjadi titik balik dalam kehidupannya. Tidak hanya di persekutuan, tapi juga di keluarganya. Kebetulan saat pelatihan, ia tengah berada dalam konflik dengan keluarga terdekatnya karena masalah ekonomi. Sepulang dari pelatihan, ia mencoba memandang masalah dari sudut pandang berbeda dan menerapkan teknik komunikasi belas kasih (berbicara asertif – tegas namun lembut dan menghargai lawan bicara). Ia menerapkan materinya juga dalam pengasuhan anak. “Semenjak itu, hubungan kami sekeluarga menjadi lebih dekat. Sekalipun ada masalah sudah jarang marah-marah ataupun kekerasan,” tuturnya.
Mama Serlitha menilai bahwa pelatihan ini penting tidak hanya untuk komunitas perempuan. Beliau mengulang isi materi modul tentang identitas, “Ketika kita melihat identitas diri sebagai ciptaan yang serupa dan segambar dengan pencipta kita, maka itu akan berdampak pada orang lain dan lingkungan di mana kita berada. Dan sa pikir itu dimulai dari diri kita sendiri, satu hal positif yang sangat baik. Dan kerinduan kami melalui pelatihan ini, melalui program NOKEN ini semua mendapat pemahaman yang sama lewat kegiatan-kegiatan pelatihan seperti ini, sa pikir mungkin akan menjawab tiap permasalahan ataupun konflik-konflik yang ada di dalam jemaat. Bukan untuk perempuan saja. Ini sangat baik, karena kalau kita belajar dari segala macam aset dan nilai budaya, itu semua ada di dalam jemaat,” ujarnya.
Penulis: Andina Larasati (Koordinator Program NOKEN)