Suka-Duka Realita Anak Indonesia

Suka-Duka Realita Anak Indonesia

Kurang-lebih sepuluh tahun lalu, saya, Tira Malino, pernah bertanya pada seorang teman, "Aku pengen jadi peneliti,". Teman saya kemudian menjawab, "Ga cocok, kamu cocok di kerjaan sekarang, bermain bersama anak anak,". "Peneliti studi tentang dunia anak," jawab saya. Teman saya pun bertanya, "Kayak apa tu? Jadi bukan peneliti yang di lab gitu?". Dengan cepat saya menjawab, “Bukaaannn,”.  

Tahun 2022 lalu, genap 10 tahun saya mengabdikan diri dalam dunia child wellbeing. Tepat 5 tahun lalu akhirnya aku mengambil Master of Art untuk spesifikasi studi anak dan remaja. Bukan jurusan yang umum tapi menyenangkan. Jadi peneliti pemenuhan hak dan perlindungan anak itu bertugas untuk mengamati dan menganalisa fenomena sosial dan kebijakan.  

Profesi ini membawa saya dalam perjalanan emosi yang campur aduk. Sedih campur senang, terharu campur ketawa. Ada suka, ada duka. Duka kalau mendengar banyak anak harus nikah padahal impian mereka tidaklah sejauh bintang. Duka kalau anak-anak memilih bekerja selama masa pembelajaran jarak jauh. Duka melihat mereka yang mengalami kekerasan seksual tapi tidak ada support system di sekitar mereka yang bisa membantu. Duka karena mau sekolah saja harus jalan kaki dua jam setiap hari. Saya merasa sedih kalau anak tidak bisa memperoleh akte kelahiran. Sedih kalau masih banyak anak stunting.  

Tapi, saya senang kalau ada anak perempuan punya mimpi yang besar. Suka bilamana anak desa mendapat akses yang sama dalam pendidikan seperti anak kota. Suka bila mereka bisa menjadi pelopor dan pelapor perlindungan anak untuk teman sebayanya. Senang kalau anak-anak bisa bersuara di ruang publik untuk penghapusan kekerasan terhadap anak, dan senang kalau ada support system yang mendukung anak-anak agar tidak menikah dini. Semua kisah itu saya temui saat pengalaman bertemu secara langsung dengan anak Indonesia dari Nias hingga Nusa Tenggara Timur. Selain juga ketika saya mengamati dan menganalisa kehidupan anak-anak dari anak Aceh hingga Papua, yang tertuang dalam penelitian-penelitian yang saya ikuti. 

Pengalaman saya sebagai peneliti lepas yang erat hubungannya dengan anak-anak menjadi salah satu alasan mengapa saya berkomitmen untuk menjadi sponsor anak melalui Wahana Visi Indonesia. Saat ini, anak sponsor saya masih balita. Saya berharap ia mendapatkan haknya sebagai anak dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan mental, fisik, seksual, dan penelantaran. Bagi saya, setiap anak terlahir berharga apapun latar belakang dan kondisi sosial ekonominya. 

 

Penulis : Tira Maya Malino (Peneliti lepas) 

Penyunting : Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait