Sukanya Lebih Besar daripada Dukanya

Sukanya Lebih Besar daripada Dukanya

“Hidup untuk berkarya dan memberi dampak itu lebih penting. Dengan bekerja di lembaga nonprofit, saya bisa terus-menerus meng-upgrade diri saya, dari sisi karakter ter-upgrade, dari sisi wawasan juga,” ujar Sabtarina Dwi Febriyanti (41). 

Perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur ini akrab disapa Rina. Ia tumbuh besar di Ponorogo, lalu melanjutkan studi sarjana strata satu di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Sejak 2022 hingga sekarang, Rina berkarya sebagai General Manager Zonal Papua di Wahana Visi Indonesia (WVI). Namun sebelum berkenalan dengan WVI, Rina sempat bekerja di sebuah perusahaan swasta di Surabaya selama lima tahun. “Pekerjaan pertama saya di bagian legal dan human resources, bidang yang sesuai dengan jurusan yang saya ambil saat kuliah,” tuturnya. 

Setelah lima tahun bekerja, Rina kembali mengingat bagaimana dia sangat menikmati momen ketika melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu kelurahan di perbatasan Surabaya dengan Gresik. “Waktu itu saya dan teman-teman diminta untuk membantu perbaikan jalan di salah satu desa. Bingung juga gimana caranya supaya bisa melakukan pengerasan jalan. Segala usaha kami lakukan dan ketika melihat perubahan terjadi di desa, saya sangat senang,” ceritanya, “Saya jadi pingin melakukan pekerjaan yang berdampak, yang bisa membuat anak-anak senang. Pekerjaan yang memberi kepuasan tersendiri,”.

Rina bersama staff kantor operasional Sentani sedang bersama pendamping anak di desa

Keinginan Rina pun bersambut. Sahabat dekat Rina memberikan informasi lowongan pekerjaan di WVI. Maka pada akhir tahun 2009, Rina melamar program Management Trainee. Selama enam bulan, Rina berkenalan dengan WVI dan bersahabat hingga sekarang, 13 tahun kemudian. Setelah lulus program Management Trainee, Rina memegang posisi sebagai Development Facilitator di kantor operasional Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Ketika ia baru memulai karyanya sebagai pekerja kemanusiaan, duka pun datang. 

“Seumur hidup saya ga pernah kecelakaan, tapi kok ya pas baru mau mulai pekerjaan ini saya malah kecelakaan motor,” katanya. Rina menceritakan, kecelakaan yang ia alami itu terjadi ketika ia harus berkendara dari desa menuju Palu untuk mengunjungi rumah seorang Kepala Sekolah. “Saya mau ngobrol dengan Kepala Sekolah itu, soal tantangan-tantangan yang ada di sekolahnya. Supaya anak-anak juga bisa sekolah lebih baik, tapi kok ya malah kecelakaan,” ceritanya. 

Berkarya di bidang kemanusiaan memang memiliki risiko tersendiri. Isu keamanan diri merupakan hal penting bagi para pekerja kemanusiaan. Tapi, apakah risiko-risiko ini sebanding dengan suka yang dirasakan? “Beberapa waktu lalu, saya dapat informasi kalau anak-anak yang tinggal di desa yang saya dampingi itu sudah ada yang lulus kuliah. Sudah ada yang jadi guru dan hebatnya mau kembali ke desanya,” ujar Rina, kebahagiaan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Bagi masyarakat yang berada dalam kondisi rentan, menempuh pendidikan hingga tamat kuliah adalah sebuah tantangan besar, tapi bukan berarti tidak mungkin tercapai. Anak-anak di desa dampingan tempat Rina dulu berkarya berhasil membuktikan bahwa mereka bisa membawa desanya keluar dari kondisi rentan. Hal ini bermula dari pengalaman anak-anak berkenalan dengan program-program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh sosok-sosok seperti Rina. 

“Sekarang saya bisa bilang kalau kecelakaan saya itu berbuah manis. Dukanya tidak sebanding dengan sukanya. Ketika saya dengar anak-anak ini mau kembali mengajar ke desa itu rasanya senang sekali, bangga. Mereka sudah bisa berpikir bahwa desanya harus berkembang dan kalau bukan mereka yang mulai, siapa lagi,”. 

Profesi sebagai pekerja kemanusiaan lebih terasa seperti berkarya daripada bekerja. Dunia organisasi nonprofit menjadi wadah untuk setiap pekerjanya merasakan bahwa hidup setiap pribadi itu bisa memberi dampak positif bagi orang lain.

 

Penulis : Mariana Kurniawati (Communication Executive)


Artikel Terkait