Jika Korban di Bawah Umur, Idealnya Delik Pidana Saja

Jika Korban di Bawah Umur, Idealnya Delik Pidana Saja

KASATRESKRIM Polres Bengkayang AKP Antonius Trias prihatin atas maraknya kasus kekerasan seksual dengan korban anak-anak. Di wilayahnya, sepanjang 2021, ada 24 anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan seksual. Kini tumpuannya adalah RUU TPKS yang oleh Presiden Jokowi pembahasannya disarankan tuntas tahun ini.

Selain kasus di sanggar tari dengan pelaku JP, ada kejahatan seksual lain yang menghancurkan hati Antonius. Yakni, yang menimpa bocah berusia 2 tahun. Pelakunya adalah paman korban.

Dia mengatakan bahwa setiap hari pelaku mengajak korban ke rumahnya. Keluarga pun tidak curiga karena pelaku belum punya anak. Di benak keluarga dan para tetangga, pelaku sengaja momong korban agar segera punya keturunan.

’’Si anak ini bicara saja masih belum lancar,’’ ungkap Antonius. Kendati kecurigaan membesar, pelaku membantah perbuatannya. Repotnya lagi, tidak ada saksi dalam kasus tersebut. Namun, berkat kegigihan polisi dan pihak-pihak terkait, kasus itu akhirnya terungkap. Pelaku pun kemudian tidak bisa membantah lagi.

Peliknya mengungkap kasus kekerasan seksual terhadap anak membuat Antonius menggarisbawahi perlindungan terhadap korban. Juga perlindungan terhadap saksi. Itu adalah upaya untuk mengurangi tekanan psikis pada korban. Kadang, korban malu mengakui kejahatan yang dialami karena olok-olok dan stigma masyarakat. Korban takut dicap tidak perawan, misalnya.

Bentuk perlindungan berikutnya adalah kelonggaran bagi korban di bawah umur untuk tidak hadir dalam sidang. Antonius khawatir korban tertekan jika berjumpa dengan pelaku. ’’Bayangkan saja, seorang anak kecil, korban, dihadirkan ke pengadilan. Kemudian bertatapan mata langsung dengan pelaku,’’ ujar pria asal Surabaya tersebut. Apalagi, sidang seperti itu tidak cukup digelar sekali. Bisa sampai dua atau tiga kali.

Area Program Manager WVI Bengkayang Daniel Andreas Setiawan Tamba juga mengusulkan supaya kekerasan seksual yang korbannya anak-anak tidak dijadikan delik aduan. Idealnya, tetap menjadi delik pidana biasa. Sebab, jika harus menunggu ada laporan dari korban atau keluarganya, pengusutan menjadi sulit.

’’Selama ini banyak korban anak-anak yang takut melapor. Apalagi jika pelakunya orang dekat seperti orang tuanya,’’ ujarnya. Karena itu, berharap ada laporan yang kemudian menjadi landasan delik aduan sangatlah sulit. Apalagi di wilayah 3T seperti Bengkayang. Bisa-bisa kasus itu menguap tanpa sempat disidik.


Artikel Terkait