Kisah 3 Anak dari Daerah Pelosok Indonesia, Perjuangkan Hak dan Keadilan

Kisah 3 Anak dari Daerah Pelosok Indonesia, Perjuangkan Hak dan Keadilan

Andini, Marselus, dan Karin selaku perwakilan Anak Dampingan Wahana Visi Indonesia dalam acara peluncuran kampanye Hope, Joy, and Justice for All Children pada Kamis (19/12/2024).

Andini, Marselus, dan Karin selaku perwakilan Anak Dampingan Wahana Visi Indonesia dalam acara peluncuran kampanye Hope, Joy, and Justice for All Children pada Kamis (19/12/2024).(DOK. WVI)

Wahana Visi Indonesia (WVI) meluncurkan kampanye “Hope, Joy, and Justice for All Children” untuk mengajak masyarakat bergabung menjadi sponsor anak dan membantu pemenuhan hak anak-anak Indonesia.

Becky Tumewu, Hope Ambassadors dan Sponsor Anak WVI mengatakan, dengan mensponsori satu orang anak saja, masyarakat telah mengubah banyak kehidupan.

“Satu anak sponsor akan membawa perubahan ke lingkungannya. Satu saja yang kita support, itu akan memberikan pengaruh kepada komunitasnya, kepada desanya, kepada wilayahnya,” tutur Becky, Kamis (19/12/2024).

Dalam perjalanannya, WVI telah membantu hingga 1,2 juta anak di 18 provinsi di Indonesia selama 26 tahun terakhir.

Akses jalan ke sekolah sulit, banyak anak akhirnya putus asa

Acara peluncuran kampanye “Hope, Joy, and Justice for All Children” pada Kamis (19/12/2024) dihadiri perwakilan anak dampingan WVI. Mereka membagikan kisah perjuangan dalam meraih pendidikan, sukacita, dan keadilan.

Anak-anak tersebut berasal dari 81 kabupaten pelosok di Indonesia, di antaranya ada Andini dari Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marselus dari Sintang, Kalimantan Barat, dan Karin dari Asmat, Papua Selatan.

Dalam sesinya, Andini menceritakan perjuangan mengakses pendidikan di tempat tinggalnya, Nagekeo, NTT.

“Setiap hari, saya harus berjalan kaki menempuh perjalanan selama 1 jam dengan jarak kurang lebih 5 km ke sekolah. Apalagi saat pulang sekolah itu, harus mendaki bukit dengan ditemani panas matahari yang sangat menyengat,” ceritanya.

Menurut Andini, keterbatasan ekonomi keluarga menjadi salah satu penyebab utama mengapa anak-anak di daerahnya merasa kehilangan harapan untuk melanjutkan pendidikan.

“Jadi buat apa saya harus sekolah? Anak-anak akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, habis SMA ya menikah atau bekerja,” jelas Andini mengenai pemikiran sebagian besar anak-anak daerahnya.

Meski dihadapkan dengan tantangan yang begitu besar, Andini tidak pernah merasa patah semangat dan optimis dalam menggapai cita-citanya.

“Saya sudah menjadi Anak Sponsor selama 9 tahun dan merasa sangat bersyukur untuk Sponsor saya. Berkat mereka saya bisa punya pendidikan yang baik, dan jadi punya harapan untuk masa depan saya dan keluarga saya,” tambah Andini.

Terakhir, anak berusia 15 tahun itu berharap agar akses jalan menuju sekolah di daerahnya dapat segera diperbaiki.

“Banyak anak-anak yang putus sekolah karena merasa capek untuk mengakses pendidikannya,” tutup Andini.

Sukacita adalah hak setiap anak

Marselus, anak dampingan WVI dari Sintang, Kalimantan Barat juga membagikan perjuangannya dalam mengembalikan keceriaan dan bangkit dari keterpurukan masa lalu.

Ibu saya meninggal saat saya berusia 11 tahun. Saya tumbuh tanpa kepercayaan diri. Saya tidak mendapatkan wadah untuk mengaktualisasikan diri, untuk mengekspresikan emosi, dan sebagainya,” kenang Marselus.

Namun kini, Marselus merasa ia telah berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik dan mampu membagikan kebahagiaan yang tidak ia dapatkan dulu kepada orang-orang di sekitarnya.

“Selus sadar bahwa tidak boleh terpuruk dalam dukacita. Selus harus jadi orang positif. Selus merasa dunia akan terus berputar walaupun dunia Selus sedang hancur sehancur-hancurnya. Jadi Selus harus bangkit dan menjadi lebih baik dari hari kemarin,” ungkapnya.

Melalui program WVI, Selus terbantu dan menemukan tempatnya untuk mengekspresikan diri.

“Sejak jadi anak sponsor di WVI saya terlibat di banyak kegiatan bersama Forum Anak di daerah saya. Saya bersukacita bisa menemukan wadah aktualisasi diri dan bisa punya banyak kenalan dari situ. Pelan-pelan kepercayaan diri saya juga meningkat,” pungkasnya.

Setiap anak punya hak yang memang layak diperjuangkan

Berasal dari tempat yang paling jauh dibanding dua rekannya yakni Asmat, Papua, Karin turut membagikan perjalann yang dihadapi olehnya dan teman-teman di daerahnya.

“Masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak seperti pelecehan, bullying, pernikahan anak, orang tua yang suka main pukul,” cerita Karin.

Menurut Karin, penghambat pendidikan bukanlah ekonomi, melainkan pengaruh seperti kurangnya perhatian.

Karin menceritakan bahwa kondisi anak-anak di tempatnya yang jauh dari orang tua karena harus bersekolah ke kota menjadikan mereka tidak memiliki pendamping. Tak hanya itu, menurut Karin, masih sedikit orang tua yang mau mendengarkan anak-anak, sehingga mereka terpaksa mencari pelarian ke hal-hal yang tak sepantasnya, seperti miras dan lem aibon. 

"Anak-anak di sana sebenarnya bisa dan hebat, hanya saja tidak ada pembina dan pengasuhan," tambah Karin. 

Bagi Karin, untuk sementara waktu anak-anak di daerahnya tidak didorong untuk menempuh pendidikan tinggi, yang penting adalah bagaimana mereka bisa membaca dan menulis.

Cerita ini menunjukkan betapa tertinggalnya anak-anak daerah Karin dari akses pendidikan yang memadai.

Aktif dalam Forum Anak bersama WVI, Karin terus memperjuangkan haknya dan teman-teman sebagai anak Indonesia, dalam berbagai aspek baik pendidikan, hukum, dan ekonomi. 

"Tidak ada yang sia-sia di dunia. Tuhan melahirkan kamu ke dunia pasti karena ada sesuatu yang mau dikasih Tuhan ke kamu. Saya sangat berharap, anak-anak di tempat saya dapat dibina agar mereka sadar kalau mereka punya hak yang memang layak dan harus didapatkan," tutup Karin.

 

Sumber: Kisah 3 Anak dari Daerah Pelosok Indonesia, Perjuangkan Hak dan Keadilan


Artikel Terkait