KOMPAS: Solis Hanny Felle, Penggerak Literasi bagi Anak-anak Kampung di Papua

KOMPAS: Solis Hanny Felle, Penggerak Literasi bagi Anak-anak Kampung di Papua

Oleh FABIO MARIA LOPES COSTA

10 Februari 2021

Solis Hanny Felle, sang perintis Rumah Baca Yoboi di Kabupaten Jayapura, Papua.

Solis Hanny Felle bukan hanya seorang ibu rumah tangga di Kampung Yoboi, Distrik Sentani Kota, Kabupaten Jayapura. Selama 10 tahun terakhir, Hany secara sukarela berkontribusi membuka kelas literasi bagi anak-anak di kampung halamannya dan berkembang ke daerah lain.

Kompas mengunjungi tempat tinggal Hanny pada Rabu (3/2/2021) sekitar pukul 12.00 WIT. Cuaca di Sentani siang itu tampak mendung karena hujan yang melanda daerah tersebut beberapa hari terakhir. Perjalanan ke Yoboi dari dermaga Yahim dengan menggunakan perahu motor yang melintasi Danau Sentani membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

Saat tiba di kediamannya, Hanny terlihat tengah sibuk mengajar anak-anak di teras rumahnya dengan materi berhitung dan mengeja huruf. Ia menggunakan alat peraga agar anak-anak lebih mudah memahami materi pelajaran. Di tempat berukuran 8 meter x 6 meter itulah, Hanny mendirikan Rumah Baca Yoboi sejak tahun 2018.

Terlihat ada 21 anak dari kelas I hingga kelas III sekolah dasar yang tekun mengikuti materi yang disampaikan Hanny siang itu. Biasanya kegiatan belajar literasi di Rumah Baca Yoboi berlangsung hari Rabu dan Jumat, masing-masing  selama 90 menit.

Anak-anak itu tampak begitu menikmati kegiatan belajar literasi yang menggunakan modul khusus di tempat Hanny. Sudah 11 bulan lebih mereka tak merasakan kegiatan belajar di sekolah karena pandemi Covid-19. Selama itu mereka hanya ke sekolah mengambil tugas pekerjaan rumah yang diberikan guru.

Selain di Yoboi, Hanny juga membuka rumah baca di daerah Kehiran yang juga berada di Distrik Sentani Kota. Pelaksanaan kegiatan literasi di Kehiran hanya sebulan sekali karena keterbatasan Hanny terkait biaya transportasi.

Total ada sebanyak 205 anak binaan Hanny di Rumah Baca Yoboi dan Kehiran saat ini. Khusus di Yoboi, kelas literasi dilaksanakan secara bergiliran karena daya tampung rumah Hanny hanya 35 orang.

Anak-anak di Yoboi ini mengalami kendala tidak bisa mengikuti kegiatan belajar secara daring selama pandemi Covid-19. Dari pendataan Pemerintah Provinsi Papua pada Mei 2020 lalu, 54 persen dari 608.000 pelajar di provinsi itu tak dapat menerapkan belajar di rumah melalui media daring ataupun elektronik. Kondisi ini akibat minimnya prasarana jaringan internet, televisi, ataupun radio serta tidak memiliki telepon seluler.

”Saya sangat bersyukur anak-anak sangat antusias mengikuti kegiatan. Mereka tidak memiliki telepon seluler atau biaya untuk membeli paket data internet sehingga terkendala mengikuti kegiatan belajar secara daring. Mayoritas penduduk di sini bekerja sebagai nelayan tradisional,” tutur Hanny.

Sebelum mengikuti kegiatan belajar, anak-anak diwajibkan mencuci tangan dan mendapatkan semprotan cairan disinfektan untuk mencegah penularan Covid-19. Fasilitas untuk mencuci tangan berada di samping rumah Hanny. Tujuannya, agar pelaksanaan kegiatan belajar di Rumah Baca Yoboi memenuhi protokol kesehatan meskipun belum ada kasus Covid-19 di kampung itu.

Selain baca, tulis, dan berhitung, Hanny juga membekali anak-anak dengan belajar budaya daerah setempat. Ia juga mengajarkan cara membuat kerajinan tangan, seperti kalung, menggunakan buah sagu dan ukiran kayu dengan motif khas Sentani.

Di rumah baca itu juga tersedia koleksi sekitar 9.000 buku dengan berbagai tema. Mayoritas buku itu khusus bagi anak-anak agar menumbuhkan minat baca di kalangan mereka. Hanny mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Jayapura, Bank Indonesia, dan sejumlah lembaga lain.

”Tempat ini tidak hanya untuk anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung. Namun, tempat ini juga menjadi perpustakaan yang dibuka setiap hari untuk menambah ilmu pengetahuan anak-anak Yoboi,” ungkap ibu dua anak ini.

Sekolah Minggu

Hanny bukanlah seorang guru atau pernah mengenyam pendidikan ilmu keguruan di perguruan tinggi. Perempuan tamatan SMA Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Fransiskus Asisi di Sentani ini jatuh cinta pada dunia mengajar setelah melihat aktivitas ayahnya, Aser Felle.

Aser seorang petugas GKI Betel di Kampung Yobeh. Setiap akhir pekan, Aser selalu mengajar anak-anak dalam kegiatan sekolah Minggu. Ia melihat sang ayah dengan sukarela mengajar anak-anak yang belum dapat membaca.

”Ayah selalu mengajar kami anak-anaknya untuk menjalani hidup yang mandiri dan berbagi kepada sesama. Selama 30 tahun, ayah mengabdikan hidupnya sebagai petugas gereja dan telah berpulang pada tahun 1994,” kata Hanny.

Setelah menikah, Hanny pun pindah dari Yobeh ke kampung halaman suaminya, Albert Tokoro, di Yoboi pada tahun 1994. Setahun kemudian, Hanny mengikuti jejak sang ayah menjadi guru sekolah Minggu di Yoboi.

Kesempatan Hanny untuk menjadi seorang pengajar pun tiba pada tahun 2011. Saat itu, lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) yang fokus pada pemenuhan akses pendidikan di Papua menggandeng Hanny sebagai pengajar dalam Kelompok Belajar Anak (KBA) di Yoboi.

Masyarakat setempat yang mengusulkan nama Hanny ke WVI. Hal ini dilatarbelakangi peran Hanny yang begitu aktif mengajar anak-anak secara sukarela di kampung itu dalam kegiatan sekolah Minggu.

Hanny mengaku memiliki misi besar dalam hidupnya dengan menjadi seorang pengajar. Ia ingin memberantas buta aksara yang masih begitu tinggi di tanah Papua. Dari data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, Papua berada pada peringkat pertama angka buta aksara, yakni mencapai 21,20 persen.

Hingga tahun 2017, ia terlibat dalam KBA di sebuah ruang pertemuan masyarakat yang berdekatan dengan dermaga Yoboi. Kegiatan ini diikuti oleh 150 anak. Setelah KBA tersebut berakhir, barulah Hanny merintis kegiatan literasi di Rumah Baca Yoboi, yang kini telah mencapai tiga angkatan pelajar.

Berkat kelas literasi di Rumah Baca Yoboi, anak didik Hanny sudah bisa membaca, berhitung, dan menulis sejak usia dini. Banyak anak didik Hanny di KBA dulu yang kini telah duduk di bangku kuliah.

”Hati saya sangat sedih melihat anak-anak kami yang kurang gizi dan mengalami banyak kendala dalam mengakses pendidikan. Saya ingin anak-anak ini memiliki masa depan yang lebih baik dari orangtuanya. Caranya, dengan mencerdaskan anak-anak melalui kegiatan literasi,” tutur Hanny sambil meneteskan air mata.

Inspirasi masyarakat

Perjuangan Hanny untuk memberantas buta aksara di Yoboi berhasil mengundang simpati banyak pihak di Kabupaten Jayapura. Masyarakat ingin Hanny turut merintis gerakan Rumah Baca Yoboi di kampung mereka.

Hanny pun berkeliling ke banyak kampung di lima distrik untuk menyosialisasikan pentingnya kegiatan literasi bagi masyarakat setempat. Hasilnya, 20 rumah baca kini telah hadir di Kabupaten Jayapura. Sebanyak 1.700 anak mengikuti kegiatan belajar literasi di 20 rumah baca tersebut.

Hanny melatih perwakilan masyarakat yang menjadi tenaga pengajar di setiap rumah baca tersebut dan memberikan bantuan buku serta alat tulis yang dibeli dengan uang pribadinya. Ia berharap semangat belajar anak-anak di Yoboi bisa menular kepada anak-anak kampung lain di Kabupaten Jayapura.

Tentu dalam menjalani peran sebagai pengajar literasi anak-anak ini, Hanny tidak lepas dari banyak tantangan. Salah satu pengalaman terberat yang dirasakan Hanny adalah ketika bencana banjir bandang melanda Sentani pada 16 Maret 2019.

Hanny menjadi salah satu korban dalam musibah yang menewaskan 105 orang itu. Banjir juga menimbulkan kerusakan pada 7 jembatan, jalan sepanjang 21 kilometer, 21 sekolah, 115 rumah toko, dan 5 tempat ibadah. Selain itu, 291 rumah rusak berat, 209 rumah rusak sedang, dan 1.288 rumah rusak ringan.

Ia  bersama semua warga Yoboi terpaksa mengungsi ke rumah kerabat di daerah Yahim yang tidak terdampak banjir. Hanny hanya berhasil menyelamatkan 200 buku dari total 300 buku koleksinya saat itu. Meskipun masih dalam kondisi trauma berat, ia kembali mengajar literasi bagi anak-anak Yoboi yang mengungsi ke daerah Kehiran sebulan kemudian.

Dedikasi Hanny selama satu dekade ini mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah dan berbagai institusi lain. Hanny berhasil meraih penghargaan sebagai pemenang pertama Perpustakaan Kampung Terbaik Provinsi Papua dan Kapolda Papua Award sebagai penggiat literasi pada tahun 2020.”Saya bermimpi bisa memiliki sebuah gedung permanen yang sangat luas untuk mengajar literasi bagi anak-anak di kampung. Mudah-mudahan saya bisa menwujudkan impian ini dengan usaha sendiri dan juga bantuan dari berbagai pihak yang peduli dengan masa depan anak-anak Papua,” ujarnya.

 

Solis Hanny Felle

Lahir: 7 April 1972 di Kampung Yobeh, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua

Pendidikan terakhir: SMA Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik Fransiskus Asisi

Ayah: Aser Felle

Ibu: Dorci Sokoy

Suami: Albert Tokoro

Anak: Deby Jabi Tokoro dan Marsel Tokoro

Penghargaan:

Juara umum Perpustakaan Kampung Terbaik Papua 2020

Kapolda Papua Award 2020 sebagai penggiat literasi

 

Artikel ini dimuat dalam Harian Kompas, Rabu (10 Februari 2021) Halaman 16 Rubrik Sosok

Link artikel: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/02/10/sosok-solis-hanny-felle-penggerak-literasi-bagi-anak-anak-kampung-di-papua/


Artikel Terkait