UU TPKS dan Sederet PR Menuju RI Bebas Kekerasan Seksual pada Anak

UU TPKS dan Sederet PR Menuju RI Bebas Kekerasan Seksual pada Anak

Jakarta, CNN Indonesia -- Rasa haru, bahagia dan lega terpancar di wajah banyak orang yang selama enam tahun telah menanti pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Bahkan wajar jika ketok palu sah RUU ini menjadi UU di tanggal 12 April 2022 disebut kemenangan kita semua.


Namun demikian, regulasi saja tidak cukup untuk dapat melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.

UU TPKS membutuhkan tindak lanjut. Anak-anak di daerah tertinggal memiliki risiko lebih besar, karena selain keterbatasan pengetahuan, mereka juga menghadapi masalah sulitnya mengakses keadilan dan perlindungan.

Memang, di dalam UU TPKS disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau menjadi saksi TPKS bisa melaporkan pada kepolisian, UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) atau lembaga penyedia layanan lain. Namun unit Pelayanan Perempuan dan Anak ini hanya ada di tingkat Polres (Kepolisian Resor tingkat kabupaten/kota), bahkan kadang hanya ada di tingkat provinsi.

Menurut KPPPA, saat ini baru 31 provinsi yang memiliki UPTD PPA, serta 200-an di kabupaten/kota. Padahal jumlah kabupaten/kota di Indonesia ada 514. Jadi untuk tingkat kabupaten/kota baru 39 persennya saja.

Seberapa cepat kita akan mengejar pembentukan UPTD ini dalam waktu dekat? Sebelum UPTD ini terbentuk, bagaimana kesiapan kepolisian maupun penyedia layanan lain? Hal-hal tersebut harus menjadi pemikiran kita bersama untuk dapat menemukan solusinya.

UU TPKS juga memberi pekerjaan rumah besar bagi aparat penegak hukum terkait delik aduan dan laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak. UU ini memberikan jaminan perlindungan cukup menyeluruh bagi anak. Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan, tapi menjadi delik laporan.

Selama ini penegak hukum mendasarkan pemeriksaan berdasar adanya aduan atau tidak. Berkat UU TPKS, jika kontak seksual tersebut dilakukan terhadap anak atau kelompok disabilitas, aparat sudah bisa bergerak tanpa menunggu aduan.

Mari kita bayangkan terjadi kekerasan seksual di daerah tertinggal. Korban atau orang yang menyaksikan terjadinya peristiwa tersebut akan mengalami kesulitan untuk melaporkan.

Akses ke pengaduan belum tentu mudah didapatkan. Ada yang harus menyeberang dengan perahu atau kapal, atau menempuh perjalanan darat yang panjang dan sulit. Sinyal telepon dan internet juga tidak merata di semua tempat.

Dengan kondisi ini, bagaimana solusi yang bisa ditawarkan?

Selain itu, sesuai dengan namanya UPTD PPA dirancang untuk melayani perempuan dan anak. Lalu bagaimana dengan korban laki-laki dan minoritas gender lainnya? Dalam hal ini unit tersebut juga harus luwes di dalam memberikan pelayanan.

Kawal Restitusi dan Kompensasi
Hal-hal lain yang perlu kita catat untuk terus dikawal di antaranya adalah tentang restitusi dan kompensasi. Di dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa pelaku wajib membayar ganti rugi.

Namun bagaimana mekanismenya? Jika pelaku tidak mau membayar, siapkah pengadilan negeri setempat melakukan penyitaan harta pelaku? Lalu terkait kompensasi dari negara, bagaimana prosedurnya? Siapkah trust fund serta mekanisme kompensasi untuk korban?

Kita tentunya belum lupa dengan kasus yang terjadi beberapa saat lalu ketika Herry Wirawan, pelaku perkosaan terhadap 13 santri dijatuhkan vonisnya. Disebutkan bahwa restitusi sebesar Rp 331.527.186 pembayarannya dibebankan pada negara, dalam hal ini KPPPA.

Ini menunjukkan bahwa tidak semua pihak memahami perbedaan restitusi dan kompensasi. Ini menjadi pertanyaan banyak pihak karena seharusnya pengadilan bisa menyita harta Herry. 

Keberadaan UU TPKS ini tentu bisa memaksa hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Restitusi dan kompensasi ini salah satu poin penting yang menjadi nyawa dari UU ini, sebagai penguatan hak korban. Salah satu dampak paling signifikan bagi korban kekerasan seksual adalah sulitnya kembali ke kehidupan sebelumnya. Padahal, dengan uang ganti rugi yang diperolehnya, korban memiliki kesempatan untuk melakukan rehabilitasi.

Meskipun kondisi tidak akan kembali seperti sebelum terjadinya kekerasan seksual, tetapi terapi akan membantu pemulihan korban.

Selain poin-poin di atas, hal lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah pasca-pengesahan UU TPKS adalah adanya jaminan penguatan rumusan perkosaan dalam RKUHP. Hal ini karena perkosaan tidak dimuat sebagai salah satu tindak pidana baru di dalam UU ini, meskipun dimuat sebagai jenis pidana kekerasan seksual lain di pasal 4 ayat 2.

Di dalam perumusan perkosaan di KUHP nanti kita harus memastikan bahwa pasalnya netral gender, memasukkan unsur paksaan yang menjangkau relasi kuasa, juga tidak hanya mencakup penetrasi penis-vagina saja di dalamnya, serta memandang anak sebagai subyek hukum yang tidak cakap, sehingga perlu dilindungi secara aktif.

Perkosaan di dalam pernikahan juga harus masuk di dalam rumusan RKUHP nanti.

Sahnya RUU TPKS menjadi UU benar harus kita rayakan dengan penuh syukur dan bahagia, akan tetapi ini bukan ujung dari perjuangan kita. Mari terus kita kawal bersama hingga Indonesia, termasuk anak-anak kita terbebas dari ancaman kekerasan seksual.

(vws/vws)


Artikel Terkait