OPINI: Bagaimana Menangani Perundungan Anak

OPINI: Bagaimana Menangani Perundungan Anak

Perundungan pada anak di sekolah masih terus muncul. Beberapa kejadian memprihatinkan terjadi di lingkungan sekolah beberapa waktu belakangan ini. Ada siswa yang menjadi korban pengeroyokan teman-temannya. Ada murid sekolah dasar yang mengalami luka di mata karena diduga ditusuk temannya. Ada murid sekolah dasar yang jatuh dari lantai empat gedung sekolahnya yang diduga karena tidak tahan mengalami perundungan. Yang terbaru, video perundungan siswa di Tarakan, Kalimantan Timur, sempat viral di media sosial pada Rabu, 10 Januari 2024.

Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah kekerasan pada anak di sekolah terus menunjukkan peningkatan sejak 2020 hingga 2022. Secara terpisah, survei Programme for International Student Assessment (PISA) oada 2018 menempatkan Indonesia di peringkat kelima di dunia untuk perundungan di sekolah. Adapun hasil survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan, naik sembilan kasus dari periode sebelumnya.

Kekerasan pada anak memiliki dampak yang merugikan bagi anak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan, selain mendapat luka fisik hingga kematian, berpotensi mengalami luka secara emosional, yang mempengaruhi perkembangan pola pikir atau psikologi anak. Anak bisa mengalami trauma, depresi, atau justru menganggap bahwa kekerasan merupakan hal yang biasa. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat kekerasan dianggap normal di masyarakat.

Pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak memiliki keterkaitan dengan lingkungan ekologi anak. Menurut Urie Bronfenbrenner (1917), lingkungan ekologi anak dimulai dari anak sendiri, keluarga inti, keluarga non-inti, teman sebaya, masyarakat umum (budaya), hingga pemerintah. Semua pihak perlu bekerja bersama untuk memastikan tumbuh kembang dan perlindungan anak.

Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan peran penting pemerintah untuk menjamin hingga memberikan dukungan bagi perlindungan anak. Sekolah sebagai bagian dari entitas formal pemerintah punya kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada anak, termasuk mencegah dan memastikan penanganan perundungan secara tepat.

Wahana Visi Indonesia (WVI), yayasan sosial kemanusiaan yang berfokus pada anak, menjabarkan bahwa pintu masuk terjadi kekerasan pada anak terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu minimnya dukungan pemerintah dan orang dewasa lain, kurangnya komunikasi yang positif dalam keluarga, dan belum terlatihnya anak tentang situasi kekerasan. Pemerintah memiliki peran penting untuk menutup pintu masuk kekerasan pada anak. Inisiatif pemerintah diperlukan untuk mendorong lingkungan sekolah yang mendukung perlindungan anak, dari pengembangan sarana-prasarana yang ramah anak, peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang mengedepankan pengasuhan tanpa kekerasan, hingga partisipasi anak, orang tua, masyarakat, dan dunia usaha dalam pengembangan sekolah. 

Pemerintah telah meluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang merupakan rangkaian dari program Merdeka Belajar Episode ke-25. Regulasi ini menjadi titik terang dalam mewujudkan lingkungan yang melindungi anak di sekolah. Sementara sebelumnya sekolah tidak memiliki mekanisme yang bisa menjadi rujukan dalam penanganan kekerasan di sekolah, regulasi ini menjadi dasar hukum untuk melakukan upaya-upaya penanganan kekerasan di sekolah.

Sebelumnya, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan regulasi tentang perwujudan Sekolah Ramah Anak (SRA). Hal ini merupakan upaya menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman bagi anak, memenuhi hak anak, dan melindunginya. Komponen pembentuk SRA antara lain adalah kebijakan, proses belajar, tenaga kependidikan terlatih Konvensi Hak Anak, sarana-prasarana ramah anak, partisipasi anak, serta partisipasi orang tua, masyarakat, dan dunia usaha. Komponen dalam SRA menegaskan bahwa upaya perlindungan anak dimulai dari memastikan adanya upaya pencegahan kekerasan pada anak melalui kebijakan pendukung hingga partisipasi warga sekolah.

Kedua kebijakan tersebut pada dasarnya terhubung. KPAI menyampaikan pentingnya peran sekolah dalam mengupayakan pencegahan maupun penanganan kekerasan di sekolah secara holistik. Sekolah perlu menghindari sikap reaktif dan lebih tegas mengupayakan terciptanya lingkungan belajar yang aman dan mendukung perkembangan emosi siswa.

Jika mengacu pada petunjuk teknis Sekolah Ramah Anak, sekolah seharusnya bisa mengupayakan dialog di antara warga sekolah (anak, orang tua, guru) dan masyarakat (tokoh agama atau tokoh masyarakat) di sekitar sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi langkah pencegahan lanjutan dalam memastikan tidak terulangnya perundungan.

Guru juga harus dibekali dengan kemampuan pengajaran yang ramah anak atau tanpa kekerasan yang didukung dengan komitmen seluruh warga sekolah untuk mewujudkan lingkungan yang terbebas dari segala bentuk kekerasan. Ini bisa diikuti dengan standar dalam proses rekrutmen pegawai di sekolah, termasuk guru, untuk memastikan tidak adanya riwayat calon pegawai sebagai pelaku kekerasan. Kemampuan guru dan warga sekolah dalam mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan pada anak bisa membantu mencegah lebih banyak korban dan sekaligus memastikan pertolongan segera sebelum terlambat.

Kehadiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tadi perlu diikuti dengan peningkatan kapasitas dalam penanganan kasus. Pelapor, misalnya, sering kali malah mendapatkan stigma dan intimidasi. Sekolah perlu membangun mekanisme pelaporan yang ramah anak, seperti hotline khusus pelaporan kasus, dan standar penanganan kasus. Anak juga harus dibekali dengan kapasitas untuk mencegah dan bereaksi secara tepat ketika mengalami kekerasan, termasuk dikuatkan untuk berani melapor.

Pemerintah tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak. Keluarga harus terus didorong untuk memberikan pengasuhan positif pada anak. Bahkan, sebelum masuk ke dunia pernikahan, bimbingan pranikah bisa menjadi pintu masuk untuk memulai komunikasi positif dalam keluarga.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Kebijakan yang sudah dibuat pemerintah perlu didukung dengan konsistensi dalam implementasinya. Ini harus dilakukan segera sebelum kekerasan menjadi wabah yang tidak tertangani.


Sumber: Bagaimana Menangani Perundungan Anak - Opini - koran.tempo.co


Artikel Terkait