Opini: Dalih Dispensasi Perkawinan Anak
Menjelang Hari Anak Perempuan Sedunia pada 11 Oktober nanti, saya ingin mengajak Anda menengok angka pernikahan dini yang masih tinggi. UNICEF mencatat, hingga akhir 2022, terdapat hamper 15 juta kasus pernikahan anak di Indonesia, yang menduduki peringkat kedua di ASEAN atau peringkat 8 dunia.
Terlepas dari keberhasilan advokasi kenaikan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun, baik untuk lelaki maupun perempuan, dalam Undang-Undang Perkawinan 2019, masih ada dispensasi. Anakanak, terutama Perempuan, masih dapat menikah sebelum berusia 19 tahun.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan, selama 2020-2022, terdapat 225 pengabulan dispensasi perkawinan usia anak, yang 34 persen diantaranya karena kehamilan. Koalisi 18+, koalisi Masyarakat sipil untuk mencegah perkawinan anak dan Wahana Visi Indonesia (WVI) yang turut aktif didalamnya, menelisik alasan permohonan dispensasi di Pengadilan Negeri Sukabumi dan Giri Menang. Dari 60 kasus, sebanyak 59 memberi alasan pernikahan karena sudah pacaran atau tunangan.
Di wilayah-wilayah tertinggal, tempat program WVI berjalan, kami menemukan mayoritas anak yang dinikahkan sudah tidak bersekolah atau rentan putus sekolah. Pada keluarga miskin, sekolah sering dianggap tidak menjamin masa depan. Karena kurangnya Pendidikan, akses terhadap pekerjaan yang lebih baik juga berkurang. Banyak yang kemudian bahwa menikah adalah satu-satunya jalan keluar.
Pada anak perempuan, orang tua sering menganggap sekolah merupakan persiapan untuk berumah tangga saja. Meski demikian, pada salah satu temuan penelitian di Kabupaten Sigi dan Palu, anak merasa bahwa seandainya mereka bisa sekolah, akan mendapat pekerjaan yang bagus sehingga tidak perlu menikah di usia muda.
Perkawinan anak lebih banyak merugikan anak perempuan. Dalam kasus ketika keduanya sama-sama berusia anak, anak perempuan biasanya akan putus sekolah, sedangkan anak laki-laki yang sudah menikah masih bersekolah.
Di seluruh wilayah layanan WVI, kami menemukan, jika ada kasus kawin anak, mayoritas anak perempuan menikah dengan lelaki yang lebih tua. Faktor lain penyebab perkawinan anak adalah relasi kuasa, Ketika orang tua menganggap anak sudah akil balig, melakukan perjodohan, dan alasan ekonomi.
Banyak fakta menunjukkan bahwa perkawinan anak tidak menyelesaikan masalah. Anak-anak belum siap menghadapi kompleksitas dunia perkawinan, apalagi jika harus menjadi orang tua di usia sangat muda. Selain itu, jika terjadi kehamilan, anaknya berpotensi lahir prematur, berat badan bayi rendah, dan pendarahan saat persalinan yang dapat meningkatkan risiko stunting serta kematian ibu dan anak.
Undang-Undang Perkawinan 2019 sejatinya sudah sangat membatasi peluang perkawinan anak. Dalam bagian penjelasannya disebutkan bahwa dispensasi diizinkan sepanjang ada “alasan sangat mendesak, yaitu sebuah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan”. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan DIspensasi Kawin secara jelas menggariskan bahwa hakim harus mempertimbangkan “kepentingan terbaik untuk anak”, termasuk sekolah, situasi psikologis, kesehatan, ekonomi, dan syarat ketat lain untuk memutuskan penetapan dispense.
Walaupun pembatasan tersebut ada, celah juga tetap ada. Misalnya, hakim mempertimbangkan hak anak dalam kandungan (atas pengasuhan ayah dan ibu) jika si pemohon si pemohon sudah hamil. Demikian juga pertimbangan atas “sudah pacaran, bertunangan, dan berhubungan seks”, Ketika sang Perempuan merasa perkawinan akan memberi jaminan perlindungan atas dirinya. Walaupun data menunjukan bahwa perkawinan tak serta merta menjamin hak anak Perempuan tersebut.
Kita harus sedini mungkin mencegah perkawinan anak. Dengan kata lain, kita harus menutup celah yang ada. Kita harus berani berkata bahwa anak jangan berhubungan seks, anak jangan hami, anak jangan dijodohkan, anak jangan bertunangan, dan hal-hal serupa. Dalam proses ini tentu orang tua, guru, dan orang dewasa lain perlu memikul tanggung jawab lebih besar. Seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Perlindungan Anak, orang dewasa serta negara bertanggung jawab untuk melindungi anak.
Upaya menghentikan perkawinan anak dengan menaikkan batas usia perkawinan dalam undang-undang sama sekali belum cukup. Belum selesai kita melakukan sosialisasi mengenai pentingnya Pendidikan Kesehatan reproduksi bagi anak dan buruknya dampak perkawinan anak, kampanye-kampanye tentang nikah muda justru lebih gencar memapar anak-anak kita.
Kampanye tentang indah dan mudahnya perkawinan usia muda di media sosial mengiming-imingi anak untuk sesegera mungkin menikah serta memiliki anak. Nyatanya, jauh lebih banyak anak yang menyesali perkawinan mereka dan bercerai di usia yang relatif muda.
Norma sosial, tradisional, adat, dan agama sering bercampur dengan pandangan patriarki yang secara khusus menempatkan perempuan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap urusan domestik serta membuat banyak Perempuan merasa tidak penting lagi bersekolah tinggi jika nantinya juga mengurus dapur. Dengan bungkus memuliakan Perempuan, banyak propaganda yang terus menerus menggoda anak-anak Perempuan untuk berhenti bercita-cita.
Hari Anak Perempuan seharusnya kita rayakan dan peringati setiap hari, dengan terus-menerus memastikan anak-anak perempuan kita terlindungi serta terhindar dari perkawinan anak. Memberikan dispensasi perkawinan adalah kontradiksi terbesar dari Upaya melindungi anak-anak kita. Walaupun ada dalam konstruksi hukum perdata dan agama, kadang perkawinan anak ini dipandang sebagai Upaya hukum untuk menjadi si anak Perempuan (dan anak dalam kandungan jika sudah hamil). Namun dasar ini bukan berarti menjadi pembenar untuk melakukan perkawinan anak. Seperti yang diamanatkan undang-undang, dispensasi merupakan ultimum remedium atau Upaya terakhir bila tidak ada pilihan lain. Saya tidak yakin dispensasi perkawinan anak memang menjadi satu-satunya pilihan terakhir. Indonesia sudah sangat maju sehingga pilihan terbaik harus diberikan buat anak, bukan pilihan terakhir dengan perkawinan.
Anak-anak yang sudah memasuki dunia perkawinan sering tidak lagi dianggap sebagai anak dan kehilangan hak-hak mereka. Pendidikan, lingkungan yang aman, kesempatan bermain, didengarkan pendapatnya, dan pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai orang tua yang premature. Apakah ini yang kita inginkan dari anak-anak kita?
Ditulis oleh: Junito Drias, Advocacy & External Engagement Manager Wahana Visi Indonesia
https://koran.tempo.co/read/opini/484896/pernikahan-anak-dalam-uu-perkawinan