Kesiapan Minim, Warga Jakarta Masih Rentan terhadap Ancaman Gempa

Kesiapan Minim, Warga Jakarta Masih Rentan terhadap Ancaman Gempa

Nursiamah, seorang pedagang gorengan di Pluit, Jakarta Utara, hidup dengan kekhawatiran yang terus mengintai.

Setelah menonton podcast Obrolan Newsroom berjudul Jakarta dalam Bayang-bayang Gempa, Apa Mitigasinya? di kanal Youtube Kompas.com, ia merasa makin sadar akan kerentanan lingkungannya terhadap bencana, terutama gempa bumi.

Namun, kesadaran itu tak diimbangi dengan kesiapan masyarakat sekitar. Sebab, menurutnya, masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya kurang memberikan respons jika ada pelatihan untuk kesiapan menghadapi bencana.

“Kalau gempa besar terjadi, saya takut sekali. Rumah-rumah di sini hanya berbahan batako dan besinya kurang kuat. Ketika gempa Cianjur kemarin, kami sudah merasakan getaran. Apalagi jika gempa besar terjadi di sini. Semua rumah bisa ambruk,” katanya kepada Kompas.com, Kamis (29/11/2024).

Sebagai pelaku usaha kecil, ia juga khawatir tentang kelangsungan usahanya. Apalagi, modal yang Nursiamah miliki terbatas.

“Harus ada tabungan (tersendiri) untuk mengantisipasi bencana. Namun, usaha warung seperti ini belum tentu modal selalu ada. (Setidaknya) dengan tabungan kami ada bekal jika terjadi bencana. Sudah siap,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua RW sekaligus Ketua Kampung Siaga Bencana (KSB) di sebuah kelurahan di Jakarta Timur, Haryono, menyuarakan keprihatinan yang sama.

Menurut Haryono, berdasarkan survei yang pernah dilakukan, hampir semua rumah di wilayahnya tidak tahan gempa.

“Inspeksi lapangan sebelum keluarnya izin bangunan harus dilakukan. Kalau tidak, takutnya dampak akan berat jika ada gempa besar,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah lebih proaktif dengan membangun rumah contoh tahan gempa dan meningkatkan pengawasan bangunan.

Kesadaran tidak berbanding lurus dengan kesiapan

Survei yang dilakukan oleh USAID KUAT dan Wahana Visi Indonesia (WVI) memberikan gambaran rini tentang kesiapan masyarakat menghadapi bencana di kawasan Jakarta, termasuk di Cililitan dan Pluit.

Sebagian besar responden, yakni 68 persen di Cililitan dan 72 persen di Pluit, mengakui kerentanan lokasi tempat tinggal mereka terhadap bencana.

Masyarakat di dua kawasan tersebut juga menunjukkan pandangan yang cukup positif tentang integritas struktural rumah di berbagai skenario. Sebanyak 76 persen responden menegaskan bahwa struktur rumah mereka tahan gempa.

Kemudian, 74 persen responden melaporkan bahwa rumah mereka tidak mudah terbakar yang mencerminkan langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi bahaya kebakaran. Selain itu, 86 persen responden membuktikan ketangguhan rumah mereka terhadap angin kencang yang menunjukkan praktik konstruksi yang kuat di komunitas ini.

Demikian pula dengan 86 persen responden yang yakin dengan keamanan sistem kelistrikan di tempat tinggal mereka.

Perlu dicatat bahwa tidak semua responden melaporkan kepatuhan 100 persen terhadap langkah-langkah integritas struktural. Pasalnya, berdasarkan survei USAID KUAT dan WVI masih banyak rumah semi-permanen di daerah tersebut.

Minimnya infrastruktur pendukung

Meskipun berdasarkan survei tersebut kesadaran akan kerentanan lingkungan cukup tinggi, tantangan tetap ada. Langkah konkret untuk mitigasi masih sangat terbatas. Hal ini tercermin pada hasil survei Mitigasi Risiko Bencana oleh jaringan warung sembako yang dilakukan WVI bekerja sama dengan SAHARA.

Survei tersebut menghasilkan beberapa temuan, terutama terkait kesiapan warga menghadapi bencana dan infrastruktur pendukung.

Menurut survei, 246 warga mengakui bahwa rukun warga (RW) tempat tinggalnya tidak memiliki sistem peringatan dini terhadap bencana. Kemudian, sebanyak 68 persen mengatakan bahwa lingkungan RW-nya belum memiliki atau tidak mengetahui jalur evakuasi, titik kumpul, atau lokasi pengungsian.

Kondisi tersebut dapat lebih buruk karena sebanyak 343 dari 508 responden belum pernah mengikuti simulasi bencana yang dapat menjadi indikator rendahnya kesiapan masyarakat. Bahkan, hanya 42 persen responden yang mengetahui nomor kontak darurat.

Tingginya kepadatan penduduk dan dominasi bangunan semi-permanen pada sejumlah kawasan, seperti Tambora, Gambir, dan Pluit, meningkatkan risiko kerusakan akibat gempa.

Kondisi itu menambah urgensi untuk memperbaiki infrastruktur kebencanaan secara khusus di daerah urban yang padat penduduk.

Pemilik UMKM juga rentan dampak bencana

Tak hanya berdampak pada kehidupan masyarakat, risiko bencana juga berpotensi berdampak pada kelangsungan usaha toko kelontong kecil (warung) milik warga.

Berdasarkan survei yang sama, sebanyak 40 persen warung pernah terdampak bencana dalam lima tahun terakhir dengan gempa sebagai salah satu ancaman bencana utama.

Meskipun menyadari risiko tinggi terhadap bencana, hampir semua responden 507 orang (99,8 persen) tidak memiliki asuransi bencana. Padahal, sebanyak 439 orang (86 persen) memiliki pengetahuan tentang asuransi bencana.

Selanjutnya, hanya 47 persen pemilik warung yang memiliki persiapan menghadapi bencana.

Dukungan mitigasi juga penting bagi pelaku usaha kecil, seperti pemilik warung sembako karena kerap menjadi titik distribusi logistik saat tanggap darurat. Namun, keterbatasan pengetahuan dan sumber daya membuat mereka rentan.

Meningkatkan kesadaran dan kesiapan

Gempa bumi adalah ancaman nyata bagi masyarakat yang tinggal di kawasan urban, seperti Jakarta dan sekitarnya.

Sebab, Jakarta dan kota-kota sekitarnya dikelilingi megathrust dan sejumlah sesar aktif yang berpotensi menjadi sumber gempa yang akan berdampak di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain itu, ketidakteraturan sistem permukiman dan infrastruktur yang kurang andal semakin meningkatkan risiko kebencanaan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko bencana yang juga perlu diimbangi dengan langkah konkret guna meningkatkan kesiapan mereka.

Cerita warga yang tinggal di kawasan urban, seperti Nursiamah dan Haryono mencerminkan bahwa untuk menciptakan lingkungan yang lebih tangguh dalam mengantisipasi dan menghadapi gempa, kolaborasi berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha sangat diperlukan.

Direktur USAID KUAT Bill Marsden menekankan pentingnya kesiapan masyarakat dalam mengantisipasi gempa hingga level masyarakat terkecil. Sebab, jika terjadi gempa di Jakarta dan sekitarnya, dampaknya akan cukup luas.

Marsden mengatakan, penduduk daerah padat yang bangunannya tidak sesuai aturan serta para pemilik UMKM adalah beberapa contoh kelompok yang memiliki kerentanan lebih tinggi apabila gempa terjadi.

“Masyarakat bisa mulai meningkatkan upaya mitigasi gempa dari hal terkecil, seperti memiliki asuransi bencana bagi para pemilik UMKM atau melakukan perkuatan bangunan yang bisa dilakukan di rumah,” kata Marsden kepada Kompas.com, Selasa (3/12/2024).

Marsden menambahkan bahwa mulai munculnya kesadaran atas risiko gempa di Jakarta dan sekitarnya perlu dibarengi dengan upaya bersama dalam meningkatkan kesiapan semua pihak.

“Mitigasi gempa yang baik perlu melibatkan banyak elemen, seperti adanya kebijakan yang menaungi, penegakan peraturan, perkuatan bangunan, peningkatan kesadaran masyarakat, hingga dukungan pihak swasta termasuk asuransi,” ujar Marsden.

 

Sumber: Kesiapan Minim, Warga Jakarta Masih Rentan terhadap Ancaman Gempa


 


Related Articles