PELATIHAN CPMR II DIHARAPKAN DAPAT MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK RENTAN

PELATIHAN CPMR II DIHARAPKAN DAPAT MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK RENTAN

Masalah kekerasan terhadap anak akhir – akhir ini masih menjadi isu hangat di kalangan masyarakat. Anak yang seharusnya dilindungi akan tetapi menjadi mangsa predator anak. Begitu miris.

Maka sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, tentu bukanlah hal mudah untuk dapat mencegah hal ini.

Sebagai salah satu bentuk pencegahan kekerasan terhadap anak adalah berkolaborasi dengan berbagai mitra, membuat peraturan desa (Perdes), penguatan kapasitas LPA dan KP2AD serta menerapkan pola pengasuhan dengan cinta (PDC) yang tentunya ketika kita telah mengidentifikasi kekerasan yang di alami anak, maka mekanisme rujukannya lebih tepat.

Wahana Visi Indonesia (WVI) yang berkolaborasi dengan Yayasan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat (Yakkestra) berhasil menghadirkan peserta dari Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo dalam kegiatan pelatihan Child Protection and Minimum Requirement (CPMR) II.

Peserta yang merupakan pemerhati anak dan pekerja sosial dari Kelompok Perlindungan Perempuan dan Anak Desa (KP2AD), Lembaga Pemangku Adat (LPA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMDP3A), Dinas Kesehatan,  dan anggota Kepolisian Resor Ngada dari Unit pelindungan perempuan dan anak, Indri. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 19 – 23 Juni 2023 yang lalu, bertempat di Aula biara susteran Sang Timur Bejo Bajawa, tentu membawa kepuasan tersendiri bagi peserta.

Kegiatan yang sangat padat mengupas tuntas tentang perlindungan anak, mekanisme pelaporan serta rujukan kasus kekerasan. Peserta mengakui bahwa selama ini jika terjadi kekerasan fisik atau sexual langsung kepihak berwajib.

Ternyata dengan melihat mekanisme pelaporannya harus melibatkan mitra lokal. Dalam hal ini jika anak menjadi korban maka keluarga dan juga pemerintah desa serta KP2AD dapat mendampingi korban untuk proses identifikasi selanjutnya di bawa ke  Polisi atau P2TP2A agar korban juga mendapatkan pelayanan dari psikolog apabila mengalami trauma.

Pada kesempatan yang sama, Emmy Lucy Smith sebagai Child Protection Team Leader dan Nelly Siswati Sembiring sebagai Sponsorship Manager dari Kantor Nasional Wahana Visi Indonesia yang berlokasi di Tangerang Selatan, mengatakan prinsip pelaporan, rujukan dan penanganan kasus hendaknya memperhatikan hal- hal sebagai berikut:

Kepentingan terbaik anak; adalah prinsip yang mengakui setiap anak memiliki keunikan dan layak mendapakan perlindungan.

Tanpa diskriminasi; adalah memberikan perlindungan terhadap anak dengan tidak ada pembedaan.

Tidak melakukan kekerasan/membahayakan bagi anak; upaya untuk meminimalkan kemungkinan efek negatif.

Menjamin kerahasiaan; memastikan informasi hanya dapat diakses oleh pihak yang berwenang memiliki akses.

Informed consent/ persetujuan terinformasi; menyetujui sesuatu tanpa paksaan sambil memahami resiko kemungkinan lain.

Partisipasi anak; keikutsertaan anak untuk menyatakan pandangannya sendiri sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.

Keamanan dan kenyamanan; memastikan keadaan anak tetap aman dan nyaman tanpa gangguan apapun.

Emmy pada saat memaparkan materi, mencoba menggali informasi dari peserta tentang isu kasus kekerasan terhadap anak di kabupaten Ngada dan Nagekeo.

Dalam diskusi, para pesertapun menyampaikan beberapa poin penting, diantaranya yang menjadi penyebab adalah pola asuh yang salah, sumber daya manusia yang rendah, masalah kekerasan dalam rumah tangga beserta penyertanya (belis/mahar yang belum tuntas), masalah ekonomi yang buruk, dan praktek budaya yang salah.

Dengan melihat banyaknya penyebab ini, diapun menjelaskan bahwa solusi terbaik adalah dengan melakukan sosialisasi, penyederhanaan mahar, berkolaborasi dengan pihak terkait dalam hal ini Dinas Sosial, Dinas kesehatan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, P2TP2A, DPMD, Dukcapil, NGO serta mitra lain yang memiliki misi memberi perlindungan terhadap anak. Selain itu rencana aksi perlu dilakukan.

Emmy dan Nelly mengharapakn agar peserta bisa menjadi Fasilitator yang handal yang bisa meyakinkan masyarakat untuk bersama memberikan perlindungan terhadap anak terlebih anak rentan yang belum sepenuhnya mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat.

Menjadi fasilitator anak hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana, ramah anak, menjaga identitas anak, tidak menghakimi atau menyalahkan anak, mendalami kondisi anak, membina keakraban, menjiwai sebagai anak, mengontrol diri, selalu mengucapkan terimakasih, memberikan kenyamanan kepada anak, memberi semangat dan tentunya menguasai materi yang akan di berikan kepada anak.

Selain hal positif, ada juga beberapa hal negatif juga yang nantinya akan dialami fasilitator jika berhdapan langsung dengan masyarakat yakni penolakan dari masyarakat, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan kritikan dari orang yang berpendidikan.

Emmy dan Nellypun berharap agar melalui kegitan CPMR ini peserta dapat mencurahkan ilmu yang didapat untuk diterapkan dimasyarakat dan tetap mengedepankan prinsip ramah anak.


Related Articles