Rawat Bumi Lestari Bencana Dimitigasi

Rawat Bumi Lestari Bencana Dimitigasi

Wahana Visi Indonesia menyelanggarakan Webinar Church Leader Gathering dan Pemerhati Generasi pada tanggal 20 Maret 2023. Tema yang diusung adalah Climate Change atau Perubahan Iklim dan bagaimana kita dapat terlibat dalam upaya pencegahan dan penanganan.

Acara ini sejatinya adalah kelanjutan dari temuan Survei Barna Riset yang sudah dilaunching yang menyatakan bahwa ada 34% remaja yang peduli terhadap isu perubahan iklim. 34% remaja tersebut dari total 1000 remaja Indonesia yang disurvei dan 25.000 remaja yang disurvei di 25 negara.

Dalam sambutan pembukaannya Jakobus Runtuwene yang akrab disapa Bung Jack selaku HEA Director WVI menyapa peserta dan mengajak supaya peserta webinar mengetahui, memahami dan mengambil langkah-langkah praktis merawat bumi supaya bencana dapat dimitigasi, “Kami berharap melalui webinar malam ini, kita semua mendapatkan wawasan praktis dan teologis, tentang Climate Change dan juga termotivasi untuk mulai melakukan sesuatu langkah praktis dari diri kita masing-masing dan melakukannya bersama juga di keluarga, komunitas, gereja dan dimanapun Tuhan menempatkan kita melayani”.

Berikutnya acara diisi dengan pemaparan tiga narasumber webinar dipandu Sang MC kondang oleh Pedalaman Halawa yang akrab disapa Bung Daman, serta menjawab pertanyaan dari peserta yang berjumlah 47 orang dengan sangat antusias.

Perubahan Iklim

Sementara itu narasumber pertama yaitu Franz Sinaga selaku National Team Leader for WASH Busines Plan WVI menyatakan bahwa Perubahan iklim merupakan topik yang luas dan kompleks. Mengawali pemaparannya Lae Frans mengajak peserta untuk menjawab survei sederhana melalui 2 (dua) pertanyaan awal, tentang pertanyaan “apakah percaya bahwa perubahan iklim nyata”?

Pertanyaan kedua “seberapa yakin bahwa peserta meyakini bahwa perubahan iklim bisa membuat manusia menderita?”. Rata-rata peserta menjawab percaya bahwa perubahan iklim nyata dan yakin bahwa dampak perubahan iklim bisa membuat manusia dan bumi menderita.

Salah satu bukti bahwa perubahan iklim nyata adalah bahwa musim kemarau menjadi semakin panjang, atau intensitas musim hujan yang sangat deras menyebabkan terjadi banjir karena pemanasan global. Lapisan atmosfer yang terdiri dari rumah kaca, yang melapisi bumi untuk melindungi mahkluk hidup di bumi. Pemanasan global terjadi juga menyebabkan naiknya suhu bumi karena sinar matahari dan menjebak sinar matahari ke bumi sehingga dirasakan bumi menjadi semakin panas. Berbagai sumber dari gas emisi rumah kaca persektor, dari sampah, dari pembangkit listrik, dari perubahan, gas metana, pembuangan sampah berbagai jenis seperti sampah makanan dan sebagainya. Semakin banyak kita tidak menghemat listrik, sisa makanan, maka akan mempercepat produksi gas metana yang menyebabkan gas rumah kaca.

Penyebab lainnya adalah barang-barang konsumsi yang digunakan manusia, sarana transportasi kendaraan yang digunakan manusia serta terjadinya peralihan penggunaan lahan dari tata kelola lahan hutan menjadi perkebunan, deforestisasi menjadi lahan sawit juga terjadi dimana-mana. Ketika suhu naik, maka permukaan air laut juga ikut naik, dan terjadilah perubahan iklim.

Frans Sinaga juga menegaskan bahwa “Yang ironis justru bahwa orang miskin paling kecil memberikan dampak pada perubahan iklim, tapi paling terkena dampak besar karena perubahan iklim ini” Program-program WVI dilakukan dengan banyak cara, antara lain dengan membina masyarakat untuk mengelola bank sampah, khususnya di DKI Jakarta.

Masalah sampah adalah masalah yang riil yang ada ditengah masyarakat. Jika sampah tidak dikelola maka pencemaran lingkungan terjadi, dan lingkungan yang kotor terjadi. Penyebaran penyakit karena serbuan lalat menghinggapi sampah yang menumpuk.

Persoalan sampah juga menjadi problema pemerintah pusat, hingga ke daerah karena timbunan sampah mencapai 35 juta ton pertahun. Sampah sebaiknya dilakukan pemilahan sejak dirumah tangga dalam 5 kategori (botol kaca, kemasan plastik, dan sebagainya). Bank sampah melakukan upaya melalui jemput sampah unorganik yang bisa ditukar dengan saldo bank sampah. Sampah yang dikumpulkan bisa menghasilkan dan manfaatnya pegelolaan sampah menyebabkan lingkungan menjadi bersih. Seperti kisah Galvin (seorang Pemuda 18 Th) yang melakukan bentuk kepeduliaan pengelolaan sampah. Tujuannya untuk membantu masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim.

Sambil merefleksikan Firman Tuhan dari Yeremia 29:7, Frans Sinaga menutup pemaparannya dengan menyatakan “Setiap orang percaya dipanggil untuk mengusahakan kesejahteraan kota dimana mereka tinggal karena kesejahteraan kota adalah kesejahteraan mereka juga”.

Stop Sampah Plastik

Bye Bye Plastic Bag (BBPB) adalah Lembaga yang melakukan kampanye untuk supaya dunia bebas dari kantong plastik dimana anak muda dilibatkan dalam bertindak. Yang dilakukan oleh Bye Bye plastik Bag adalah memberdayakan setiap orang terutama kaum muda dalam bidang Pendidikan, kampanya dan pertemuan politik untuk mengurangi kantong plastik. Sebagai narasumber kedua dalam sesi ini dipaparkan adalah Olivia Tjahyadi selaku co-founder dari BBPB.

Olivia mengakui bahwa “memang merubah minset masyarakat sangatlah penuh tantangan, misalnya mengapa kita harus menggunakan kantong plastik? Bisakah kita menggunakan kantong kain saat membeli barang? Kaum muda bisa menjadi penggerak, karena lebih mudah mengubah mindset kaum muda yang sangat gemar perubahan”.

Mengapa kaum muda harus bertindak dan beraksi? Karena pemuda adalah masa depan kita, kita harus bertindak untuk menjaga masa depan kita. Menciptakan dunia yan bebas kantong plastik, mengeliminasi kantong plastik yang punya efek jangka panjang.

Olivia juga menambahkan “Memang semua harus dimulai dari diri sendiri, melalui satu aksi sederhana yang dapat dilakukan dimulai dari komunitas yang terkecil (keluarga, sekolah). Semua dilakukan sebagai berkat dari Tuhan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Gerakan-gerakan, di sekolah, rumah ibadah suatu kegiatan peduli lingkungan”.

Olivia sebagai remaja masa kini menjadi bukti bahwa survei Barna yang menyatakan 34% remaja peduli terhadap isu climate change dan mau dilibatkan.

Tinjauan Theologis

Pendeta Evangeline Pua merupakan Ecology and Social Justice Mission Partner and Pastor of Presbytery of San Fransisco (PCUSA) sebagai narsum ketiga menjelaskan bahwa sejatinya Manusia hanya memiliki hak guna atas bumi saja, karena Tuhan Allah adalah Sang Pemilik yang empunya bumi dengan segala isinya. Dalam Kitab Kejadian dan Kitab Yesaya 66:2 dijelaskan bahwa bumi adalah lokus atau lokasi kediaman Allah berada, dalam kasih dan pemeliharanNya.

Sebagai analogi, Pendeta Evang menggambarkan demikian “Kalau kita meninggalkan rumah dalam kondisi bersih, lalu balik kerumah dengan kondisi kotor, bagaimana perasaan kita? Demikian juga kita sebagai manusia harus menjaga kebersihan bumi sebagai tempat kediaman Allah”. Rusaknya bumi disebabkan oleh mekanisme alam dipercepat oleh tata kelola yang salah dari manusia dalam mengelola bumi.

Seraya menjelaskan bagaimana berempati melakukan tata kelola bumi yang bertanggung jawab, Pendeta Evang menyajikan 3 (tiga) video yang diambil dari 3 (tiga) lokasi yang dikunjunginya “Apa bau dan aroma Bantar Gebang saat ini? Apakah aroma korban gempa Cianjur? Di Bantar Gebang, jalanan seperti spon yang merupakan timbunan sampah. Daerah Bantar Gebang benar-benar kumuh, dimana jika ada air akan tumbuh bakteri namun disitu juga masyarakat hidup. Mari kita memiliki pandangan ekosentris, bagaimana dalam teks Firman Tuhan juga menangkap suasana dan aroma dalam konteks tersebut sehingga perasaan empatik muncul”.

Dalam paparannya Pendeta Evang menggugah peserta bagaimana menemukan Allah dalam lingkungannya? Serta pentingnya melakukan penguatan iman dan kelembagaan melalui mendalami setiap keputusan pribadi dan gerejawi secara adil dan jika perlu ambilah cuti ditempat dimana Anda menemukan Allah. Dan membuat deklarasi iman terkait ekotheologi. Di beberapa Sekolah Theologia pernah dilaksanakan mata kuliah lingkungan hidup.

Demikian juga bahan-bahan Kotbah, Bahan PA diarahkan pada pembahasan khusus tentang membangun kesadaran warga jemaat terhadap lingkungan dan penatalayanan atas bumi dengan lebih bertanggung jawab. Semua pemaparan ecotheologis tersebut dikemas dengan apik oleh Pdt Evang dengan judul pemaparannya “Bernaung Bersama dalam Bumi: Menjadi Manusia Resilien dalam Kasih dan Keadilan Iklim”.


Related Articles