20 Tahun Tsunami Aceh: Mengenang Ketangguhan, Melanjutkan Kesiapsiagaan

20 Tahun Tsunami Aceh: Mengenang Ketangguhan, Melanjutkan Kesiapsiagaan

Megathrust Selat Sunda jadi salah satu isu yang mencuat di tahun 2024. Ketika risiko bencana sebesar megathrust menjadi obrolan khalayak, peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh pada tahun 2004 menjadi salah satu topik yang ikut diperbincangkan. Beberapa kanal berita di Indonesia menuliskan bahwa dampak megathrust ini setara dengan apa yang pernah Aceh alami 20 tahun lalu. 

Informasi mengenai megathrust Selat Sunda pun diterima oleh masyarakat Aceh dengan khawatir dan pasrah. Besarnya dampak serta dalamnya rasa kehilangan karena tsunami masih tersimpan dalam benak masyarakat Aceh. Kini, ketika semua sudah pulih, megathrust menjadi sumber kekhawatiran bahwa apa yang dulu terjadi dapat terulang. Namun, pengalaman menjadi saksi hidup tsunami Aceh pun menyadarkan bahwa manusia harus belajar dari sejarah sambil tetap berserah pada Yang Maha Kuasa. 

Indonesia merupakan negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia, berdasarkan World Risk Report tahun 2023. Pemaparan data ini seringkali lebih memicu kepanikan daripada kesiapsiagaan. Padahal kita harus menyadari dan menerima bahwa risiko bencana seperti megathrust tidak akan pernah hilang dan tidak dapat diprediksi. Menghadapi risiko ini dengan panik bukanlah pilihan yang tepat. 

Pengalaman tsunami Aceh, ketika kesiapsiagaan bencana masih jadi barang asing, harus menjadi refleksi bagi masyarakat Indonesia agar makin mengutamakan langkah-langkah tangguh dalam menghadapi kenyataan bahwa kita memang tinggal di daerah rawan bencana. Bencana sebesar tsunami Aceh telah memicu tindak lanjut yang lebih nyata untuk manajemen penanggulangan bencana yang lebih baik serta kesiapsiagaan masyarakat yang lebih tinggi. Kini, 20 tahun setelah peristiwa tersebut berlalu, dengan pembelajaran dan kesadaran bahwa megathrust masih menjadi risiko bencana di Indonesia, seharusnya masyarakat dan pemerintah Indonesia sudah semakin siap, siaga, dan tanggap. 

 

Tsunami Aceh di Mata Penyintas Anak-anak 

Minggu pagi, 26 Desember 2004, gempa berkekuatan lebih dari 9 magnitudo yang berpusat di barat daya Banda Aceh mengguncang kota tersebut serta area sekitarnya. Sekitar 20 menit setelah gempa terjadi, gelombang tsunami setinggi kurang-lebih 30 meter menyapu area pesisir Aceh hingga tengah kota. Sebanyak 227.898 jiwa meninggal karena gempa dan tsunami yang juga melanda Bangladesh, India, Malaysia, Myanmmar, Thailand, Singapura, dan Maladewa ini. Indonesia mengalami dampak terbesar dibanding negara lain. 

“Waktu itu, sempat ada tengok gelombang tsunami. Ida dibawa lari sama Bunda (tante) menyelamatkan diri ke rumah orang lain yang dua tingkat. Kami ngungsi ke situ karena rumah kami hancur tersapu air. Di situ kami tunggu air reda lalu lari ke pengungsian. Habis itu kami dibawa ke gedung sosial setelah itu mulai datang orang-orang asing. Sampai situ saja Ida ingat karena waktu itu masih kecil,” cerita Idawati, penyintas tsunami Aceh. Saat tsunami terjadi, Idawati masih berusia lima tahun. Karena bencana ini, ia kehilangan ayah dan ibunya. Masa kecil tanpa orang tua masih meninggalkan jejak kesedihan baginya. 

Dengan tingkat kerentanan yang tinggi serta dampak bencana yang sangat besar, anak-anak merupakan penyintas prioritas selama penanggulangan bencana. Fokus utama tanggap bencana Wahana Visi Indonesia (saat itu masih menggunakan identitas World Vision Indonesia) setiba di Aceh adalah untuk secepat mungkin mengaktivasi bantuan yang memberi manfaat langsung pada anak-anak. Ruang Sahabat Anak (RSA) adalah kegiatan awal yang WVI implementasikan. Dua belas hari setelah bencana terjadi, tepatnya pada 7 Januari 2004, RSA mulai beroperasi. Anak-anak penyintas tsunami menerima dukungan psikososial melalui berbagai aktivitas menyenangkan yang diadakan di RSA. Sebanyak 3.500 anak, termasuk Idawati, mendapatkan dukungan psikososial serta bantuan lain. 

“Yang Ida ingat, ada dua tenda yang ada banyak permainan. Ida sering main susun balok di situ. Waktu itu Ida juga mendapat beasiswa pendidikan dari SD hingga kuliah dari salah satu sponsor,” tuturnya. Bantuan dan dukungan yang Idawati peroleh menjadi salah satu hal yang ia syukuri meskipun harus tumbuh-besar di pengungsian dan melanjutkan kehidupan dalam masa pemulihan setelah bencana. “Kalau tidak ada dukungan beasiswa itu, Ida mungkin putus sekolah. Di keluarga Ida tidak ada yang bisa sekolah tinggi. Ida yang bisa sekolah tinggi,” ujarnya.  

Saat ini, Idawati sudah berusia 25 tahun dan menjalani keseharian sebagai seorang istri dan ibu. Sebagai seorang anak yang pernah merasakan sulitnya bertumbuh tanpa orang tua, Idawati dan suami mencurahkan banyak kasih sayang dan perhatian pada putra mereka. “Saat ini, dengan keluarga kecil ini, Ida senang. Anak Ida bisa bertumbuh baik, perkembangannya juga baik sekali. Berharap, semoga semua yang terbaik untuk keluarga Ida. Semoga lebih bahagia,” pungkasnya. 

Dalam kondisi bencana, terutama bencana sebesar tsunami Aceh, keselamatan dan kelanjutan hidup setiap anak sangatlah berharga. Dukungan dan bantuan untuk anak harus diberikan dengan cepat dan tepat agar kehidupan anak-anak dapat berjalan senormal mungkin di tengah situasi yang sebenarnya sedang sangat tidak normal. Pemulihan fisik sangat dibutuhkan sedangkan pemulihan psikososial sangat penting. Anak-anak penyintas bencana berhak melanjutkan kehidupan sebagai orang dewasa yang mampu menjalankan fungsinya semaksimal mungkin. Dengan manajemen penanggulangan bencana yang terarah dengan baik, anak-anak dapat memperoleh manfaat yang berdampak hingga mereka dewasa. 

 

Bencana Terbesar di Abad 21 

“Waktu itu, kita tahu kalau Aceh sedang dalam keadaan konflik, jadi pagi hari tanggal 26 Desember itu, sehabis sholat subuh saya ambil waktu istirahat karena malamnya habis ronda. Tiba-tiba, dalam keadaan tidur saya dibangunkan karena guncangan hebat. Saya hampir tidak percaya guncangannya sehebat itu, jam dinding bergerak begitu hebat, pintu-pintu lemari terbuka. Saat itu, kami tidak tahu apa yang terjadi, kami tidak paham,” cerita Junaidi, salah satu penyintas tsunami Aceh. Saat bencana ini terjadi, Junaidi tinggal di salah satu kampung pesisir, 11 km dari Banda Aceh. Jarak antara laut dengan kampungnya sekitar 200 meter saja. 

Di kota Banda Aceh, Khairani, penyintas lainnya, juga merasakan guncangan gempa yang sama. “Jadi waktu gempa itu, takut karena tidak pernah gempa sekeras itu seumur-umur. Kami langsung terbangun dan keluar rumah,” kenang perempuan yang saat ini berprofesi sebagai guru. Saat bencana ini terjadi, Khairani sedang merantau ke Banda Aceh untuk kuliah. Kampung asalnya berada di daerah pesisir di Kabupaten Aceh Besar, kurang-lebih 20 km dari Banda Aceh. “Setelah itu, reda sebentar. Kami masuk ke rumah untuk ambil tas Paman, tas polisi itu. Memang diingatin waktu konflik, kalau terjadi apa-apa, tidak usah bawa yang lain. Ambil tas itu saja satu,” tuturnya. 

Aktivitas hari Minggu pagi yang biasanya mulai lebih lambat malah berakhir genting. Masyarakat berhamburan keluar rumah karena kencangnya guncangan gempa. Bangunan-bangunan di Aceh mengalami kerusakan karena gempa tersebut berlangsung selama 10 menit baru kemudian reda. 

Meskipun terkejut dan takut, setelah gempa reda, Junaidi sempat memantau kondisi rumah serta tetangga. Selang beberapa menit, ia mendengar seorang bapak berteriak dari kejauhan. “Bapak itu bilang, ‘Ayo semuanya kita lari ke gunung! Air laut naik!’. Dari jauh samar-samar terdengar bunyi seperti gemuruh angin ‘Whuuusshhhh’ begitu. Tapi kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kenang Junaidi. 

Bunyi gemuruh itu pun menampakkan wujudnya di hadapan mata Junaidi. Gelombang air laut yang sangat tinggi, mengalahkan tingginya batang pohon mangrove, berjalan mendekati Junaidi. Insting menyelamatkan diri pun segera muncul. Junaidi bersama kedua orang tuanya berlari secepat mungkin menuju ke sebuah bukit. 

Ketika gelombang terus melaju hingga ke tengah kota Banda Aceh, Khairani mendengar orang-orang menjerit “Air naik!”. Ia pun tidak dapat membayangkan seperti apa wujud “air naik” ini hingga gelombang air laut yang sangat tinggi mulai nampak. Segera, Khairani bersama adik sepupunya melarikan diri menggunakan motor. “Saya sempat lihat ke belakang, maksudnya air itu tinggi. Tidak sangka kami selamat dari air karena dekat, dekat sekali,” tuturnya. Ia berhasil selamat dari gelombang tsunami yang mengejar-ngejar motornya dari belakang. 

Gelombang air laut terus berdatangan. Setelah berhasil mendaki bukit dan berada di area yang lebih tinggi, Junaidi melihat gelombang air laut tersebut seperti jatuh dan menghempas rumah-rumah kemudian menyeret puing-puing rumah tersebut. “Gelombang kedua bentuknya sudah tidak seperti gelombang lagi tapi air itu seperti langsung memukul begitu. Langsung saya loncat ke atas batu dan berpegangan erat di situ. Ketika air surut, orang tua saya yang tadinya bersebelahan, mereka sudah tidak ada lagi,” ujar Junaidi. Bila air datang, Junaidi tenggelam. Bila air surut, Junaidi timbul ke permukaan. Hingga akhirnya air perlahan benar-benar surut dan ia melihat ke arah kota Banda Aceh yang telah tertutup air. “Airnya berwarna hitam pekat,” tuturnya. 

Tsunami telah membuat Junaidi kehilangan kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Khairani. Orang tua serta keluarga inti lainnya tidak ada yang selamat. Saat ini, rumah masa kecil Khairani sudah berada di dalam laut. Nyawa, harta benda, serta memorabilia terenggut dalam sekejap. Para penyintas melanjutkan kehidupan dalam ketidakpastian, ketakutan, dan kehilangan. Dua puluh tahun lalu, Aceh luluh lantak. Dalam kondisi segenting dan serentan ini, dukungan kemanusiaan memegang peranan penentu agar para penyintas dapat selamat dan pulih. 

 

Pulih Bersama dan Mensyukuri Kesempatan Kedua 

28 Desember 2004, dua staf WVI tiba di Banda Aceh. Kota Banda Aceh masih lumpuh. Puluhan ribu jiwa yang meninggal masih terbaring di berbagai tempat. Semua orang yang selamat masih berjuang untuk menemukan sanak keluarga yang hilang atau menyelamatkan barang berharga yang masih bisa ditemukan. Sarana komunikasi dan listrik juga tidak berfungsi. Akses jalan ke area lain banyak yang tertutup atau hancur terhempas tsunami. 

Komunikasi yang sangat sulit karena lumpuhnya infrastruktur membuat informasi mengenai kondisi dan kebutuhan masyarakat Aceh terhambat. Indonesia yang saat itu pun belum memiliki kesadaran untuk selalu siaga bencana pun belum bisa bergerak cepat menangani dampak bencana. Junaidi harus bertahan hidup di bukit yang ia daki selama beberapa hari tanpa bantuan. “Ada kelapa, saya minum airnya. Lalu di malam itu pun kami belum bisa mendapatkan makanan. Tapi entah bagaimana, darimana datangnya beras yang bercampur pasir. Kami berbagi, kita dapat jatah barangkali sedikit untuk merasakan. Pada saat itulah makanan berpasir pertama kami cicipi,” ceritanya. 

Staf WVI yang sudah berada di Banda Aceh pun harus berjuang melakukan berbagai koordinasi dalam kondisi yang sulit mendapat bahan pangan dan tempat tinggal. Gempa susulan pun masih terjadi. Tekanan pekerjaan ini sangat besar. Selain harus siap memberi bantuan dan dukungan pada penyintas, staf yang berada di Aceh harus mampu memberi dukungan pada diri sendiri serta staf lain. 

Pada 4 Januari 2005, beras yang dialokasikan World Food Programme akhirnya tersedia di Banda Aceh. Hari itu juga staf WVI menyewa beberapa truk untuk melakukan distribusi ke titik pengungsian. Hari itu, lebih dari 4.000 pengungsi mendapat kepastian pasokan bahan pangan untuk satu bulan. 

Berbagai bantuan dan dukungan mulai banyak berdatangan, termasuk pekerja kemanusiaan dari kota dan negara lain. Semua orang bekerja keras untuk secepat mungkin melakukan upaya penyelamatan dan pemulihan bagi ratusan ribu penyintas tsunami Aceh. Indonesia banyak belajar mengenai manajemen penanggulangan bencana karena peristiwa ini. Indonesia juga menyadari bahwa bencana sebesar ini adalah ancaman abadi. Upaya membangun kesiapsiagaan bencana di Indonesia tidak bisa ditunda lagi. 

Dengan koordinasi lintas lembaga dan negara selama masa tanggap bencana, Aceh mulai berbenah. Masyarakat Aceh pun mulai saling memulihkan satu sama lain. Junaidi mulai mengambil peran sebagai pemimpin desa yang mengkoordinir warganya selama di pengungsian. Sedangkan Khairani mulai aktif berpartisipasi sebagai fasilitator kegiatan Ruang Sahabat Anak.  

Makna kemanusiaan yang sesungguhnya tergambar di Aceh. Setiap orang bahu-membahu saling menolong sesuai kemampuan masing-masing. Tidak pandang desa atau kelompok mana karena selamat dan pulih jadi tujuan bersama yang utama. Sesama penyintas, baik masih memiliki hubungan keluarga atau tidak, saling memotivasi untuk kembali membangun kehidupan. Kesusahan akan terasa lebih ringan bila dilalui bersama-sama. 

Bagi Junaidi, adik-adiknya jadi motivasi utama untuk bangkit dan pulih. “Saya merasakan langsung tenggelam dalam air, kaki ke atas tapi masih pegangan yang kuat di pokok pohon. Tapi tidak luka sedikitpun. Barangkali ada pesan yang Allah titipkan pada saya hari ini, suatu keajaiban yang kita tidak tahu apa. Dan ini yang jadi motivasi, saya harus menggantikan posisi orang tua. Inilah yang membuat semangat dan siap menjalankan tanggung jawab yaitu, ada adik-adik yang harus kita bimbing,” tuturnya. Kesempatan pekerjaan sebagai guru di salah satu SD negeri di Aceh pun Junaidi ambil sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya yang menggantikan posisi orang tua bagi adik-adiknya. Ia masih melanjutkan perannya sebagai guru hingga saat ini. Ia pun sudah membangun keluarga bersama istri dan ketiga anaknya. 

Sedangkan Khairani, menjadikan harapan almarhum ibunya sebagai sumber motivasi untuk menjalankan misi kemanusiaan sesuai kapasitasnya. “Saya bisa bangkit dan pulih karena mengingat impian dan harapan dari Ibu untuk masa depan saya. Dengan pengalaman saya yang pernah mengalami trauma saya bertekad untuk membantu anak-anak dan orang-orang di sekitar saya dengan kemampuan yang saya punya. Dengan berbagi waktu dan bermain bersama mereka, mendengar cerita-cerita mereka yang juga butuh tempat bercerita, menjadi sahabat dan menjadi keluarga bagi mereka yang juga kehilangan. Saya ingin membantu anak-anak yang kehilangan orang tua dan orang-orang yang mereka cintai seperti yang saya alami. Saya ingin bermanfaat bagi orang lain walaupun hanya sebagai seorang teman dan pendengar cerita mereka," ungkapnya. 

Bantuan dan dukungan kemanusiaan dalam masa tanggap bencana jadi makin berdampak positif ketika harapan untuk bangkit dan pulih juga kembali ada di hati masyarakat Aceh. Junaidi menerima bantuan rumah permanen dari WVI. Rumah ini ia gunakan sebagai rumah tempat ia membangun kembali kehidupannya bersama istri dan anaknya, serta adik-adiknya. 

Khairani dapat menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya, ia berhasil menjadi seorang guru seperti impian almarhumah ibunya, bahkan menjadi penggerak ekonomi perempuan di desanya. Motivasinya serta dukungan dari WVI menjadi kekuatan ganda yang dapat membantunya bangkit dari situasi yang begitu menyedihkan dan mencekam. Khairani bersama ibu-ibu lain di kampung halamannya berhasil mendirikan sebuah koperasi simpan-pinjam beberapa tahun setelah tsunami melanda. Koperasi ini hadir sebagai bentuk dukungan WVI dalam masa program pengembangan masyarakat setelah masa tanggap bencana dan rehabilitasi selesai di tahun 2007. 

 

Dua Puluh Tahun Kemudian 

Aceh tidak kembali seperti sebelum gempa dan tsunami melanda dua puluh tahun lalu, namun menjadi Aceh dengan versi yang berbeda. Aceh yang belajar dari dampak bencana, Aceh yang telah berhasil membuktikan bahwa harapan tetap ada di tengah beratnya dampak bencana, Aceh yang siap membangun masa depan generasi berikutnya. 

Gempa bumi dan tsunami 2004 tidak akan terlupakan. Setiap jiwa yang meninggal terus dikenang dan menjadi pengingat untuk terus menjalani kesempatan hidup sebaik-baiknya. Masyarakat Aceh memiliki warisan berharga yang perlu terus dilanjutkan dari generasi ke generasi. Warisan bahwa setiap manusia selalu harus siap-siaga karena bencana adalah risiko yang selalu ada. Namun, risiko ini bisa dikelola dengan kesiapsiagaan mandiri serta berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Saat ini, Indonesia telah menerapkan sistem mitigasi bencana, misalnya dengan adanya peringatan dini bencana gempa dan tsunami. Kemajuan teknologi pun sangat pesat namun hal ini tetap harus diimbangi dengan tingkat pemahaman masyarakat mengenai mitigasi bencana. Oleh karena itu, mitigasi bencana bukan hanya tentang pemanfaatan teknologi tapi juga perubahan paradigma masyarakat. 

Ancaman atau risiko bencana tidak hilang, tidak berkurang, malah bertambah dengan krisis iklim. Sehingga kesiapsiagaan masyarakat seharusnya makin terasah agar dampak bencana bisa diminimalisir seperti, menurunnya jumlah jiwa meninggal dan kerugian ekonomi. Kesiapsiagaan juga tidak hanya berlaku bagi orang dewasa melainkan juga anak-anak. Paparan mengenai kesiapsiagaan yang disampaikan sejak masih anak-anak dapat memberi dampak yang sangat baik. Dengan persiapan matang mengenai pengelolaan trauma dan stres serta manajemen penanggulangan bencana, anak-anak dapat lebih tangguh bilamana bencana terjadi. 

Aceh saat ini, yang telah berhasil bangkit dan pulih, merupakan peninggalan sejarah yang seharusnya menjadi pengingat bahwa Indonesia harus terus mengedepankan ketangguhan anak dan masyarakat. Ketangguhan adalah bagian yang menentukan masa depan Indonesia. 

 

 

Sumber: Buku World Vision di Aceh, Setelah Tsunami Melanda 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait