Atasi Hambatan, Satukan Potensi untuk Anak dengan Disabilitas di Indonesia

Atasi Hambatan, Satukan Potensi untuk Anak dengan Disabilitas di Indonesia

Komparasi antara penyandang disabilitas dan non disabilitas semestinya tidak terjadi. Setiap manusia adalah bagian dari keberagaman, termasuk penyandang disabilitas. Anak dengan disabilitas bukan objek yang bisa dibandingkan dengan anak lain. Sebagai bagian dari keberagaman manusia, anak dengan disabilitas adalah subjek yang memiliki hak dan kewajiban setara dengan siapa pun. 

Tetapi seringkali, jenis disabilitas dan hambatan yang melekat pada seorang anak atau dewasa menjadi fokus utama. Tampak fisik yang berbeda menjadi pusat perhatian dan kerap menimbulkan rasa kasihan. Hambatan-hambatan lain membuat banyak orang menganggap penyandang disabilitas butuh perhatian ekstra dan tak urung dirasa sebagai beban tambahan. Sudut pandang seperti ini sebenarnya sedang menggambarkan superioritas non disabilitas. Sebaliknya, anak atau penyandang disabilitas berada di posisi inferior. 

Tanpa pengakuan akan kesetaraan, non disabilitas akan sulit sadar dan paham bahwa selain hambatan – yang sebenarnya dimiliki semua manusia – penyandang disabilitas juga memiliki potensi. Artinya, setiap anak dan dewasa dengan disabilitas memiliki hak dan kewajiban untuk mengembangkan potensi tersebut semaksimal mungkin. Tugas non disabilitas bukan menjadi si superior yang menggelontorkan bantuan dan mengasihani, melainkan menggunakan potensi yang ia miliki untuk berkolaborasi dengan potensi penyandang disabilitas sehingga hambatan dapat teratasi. 

Lingkungan yang inklusif dapat terwujud dan berlanjut bila setiap manusia, baik penyandang disabilitas maupun non disabilitas, memiliki perspektif kesetaraan. Penyandang disabilitas pun perlu menumbuhkan keinginan untuk melampaui hambatan dan tidak memiliki gambar diri sebagai sosok yang inferior. 

Sebagai contoh, seorang anak dengan disabilitas semestinya memiliki keinginan untuk dapat mengakses pendidikan. Orang tua dapat mengusahakan agar anaknya dapat hadir di sekolah. Guru dan tenaga pendidik lain memastikan seluruh lingkungan sekolah siap memberikan kegiatan belajar yang setara untuk setiap anak. Kolaborasi potensi antara penyandang disabilitas dan non disabilitas menjadi pencetus adanya lingkungan yang inklusif dan minim diskriminasi. 

 

Kerentanan Anak dengan Disabilitas di Desa Terjauh 

Seorang anak yang tinggal dalam keluarga ekonomi lemah memiliki hambatan yang spesifik. Hambatan dapat bertambah bila anak tersebut adalah perempuan. Hambatan dapat bertambah lagi bagi anak perempuan dengan disabilitas. Lingkungan yang inklusif dirasa sebagai harapan kosong karena lapisan hambatan yang berlapis-lapis. Maka tak aneh bila anak dengan disabilitas seringkali tidak terdeteksi keberadaan dan kondisinya karena tebalnya lapisan hambatan. 

“Untuk kondisi anak disabilitas di desa kami, kami sendiri belum pernah melakukan pendataan tersebut,” aku seorang kepala desa di Kabupaten Manggarai Barat. Isu disabilitas sendiri masih belum tersentuh karena bertumpuknya berbagai masalah lain di desa. Belum lagi, anak dengan disabilitas memang seringkali “tidak terlihat” karena berbagai alasan. Bisa jadi, orang tua menyembunyikan keberadaan anak tersebut karena dirasa sebagai aib. Atau, karena anak tersebut memiliki hambatan mobilitas sehingga hampir seumur hidupnya hanya dihabiskan di dalam rumah, dan masih banyak alasan lainnya. 

Di salah satu desa dampingan Wahana Visi Indonesia yang berada di Kabupaten Manggarai Timur, kerentanan anak dengan disabilitas mulai muncul ke permukaan. Enjel, anak perempuan dengan disabilitas yang berusia 13 tahun, tidak pernah sekolah. Sehari-hari ia tinggal di rumah. Ia sebenarnya ingin belajar, namun tidak nyaman belajar di sekolah karena hambatan mobilitas. Pihak sekolah pun belum memiliki program khusus untuk menjadi lembaga pendidik yang lebih inklusif. 

“Enjel sebenarnya ingin sekolah, tapi dia bilang sama saya, Mama, saya tidak bisa jalan. Bisa saya sekolah di rumah? Akhirnya saya beli buku dan bolpoin untuk ajar-ajar tulis,” cerita Siska, ibu dari Enjel. Sebagai seorang ibu, Siska memperjuangkan harapan Enjel untuk dapat terus belajar meskipun di rumah saja. Dengan kapasitasnya yang juga terbatas, Siska mengajar Enjel menulis dan menggambar. “Sekarang dia sudah bisa, tapi membaca belum bisa,” tuturnya. 

Kedua orang tua Enjel bekerja sebagai petani. “Sehari-hari saya merawat kopi dan kebun, begitu juga istri saya. Kalau istri juga jadi ibu rumah tangga,” tutur Ardi, ayah Enjel. Ardi sempat merantau ke Kabupaten Ende. Ia mencoba mencari pekerjaan yang dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Namun, setelah Enjel lahir, ia tidak lagi merantau dan memutuskan untuk menjadi petani dan merawat keluarganya. “Saya ingin Enjel juga jadi anak yang pintar,” harap Ardi. 

Dalam keluarga kecil ini, Enjel berusaha menggali potensi yang ia miliki. Kedua orang tua Enjel merasa ada harapan untuk anaknya. Enjel tidak diperlakukan sebagai anak yang hanya berdiam diri di rumah tanpa diberi kesempatan untuk berkembang. Ia diasuh dan dididik dalam keluarga yang memperjuangkan pemberdayaan dirinya. “Saya juga bantu Mama cuci piring. Saya suka menulis, menggambar, bernyanyi,” ujar Enjel dengan senyum. 

Enjel dan keluarganya menjadi salah satu contoh bagaimana anak dengan disabilitas diperlakukan setara sejak di rumah. Hanya saja, lingkungan di luar keluarga belum cukup inklusif untuk mendukung pemberdayaan Enjel. Enjel yang mengalami hambatan mobilitas belum menemukan cara yang paling sesuai dan aman untuk membantu mobilisasinya. Bila ingin keluar rumah, ayah Enjel harus menggendongnya dan melewati tangga dari tanah merah yang terjal. Kondisi ini sangat tidak mendukung mobilitas Enjel. 

Akses layanan kesehatan pun tidak mudah. Enjel tinggal jauh dari rumah sakit yang memiliki layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya. Di Kota Ruteng, Manggarai Timur telah tersedia layanan fisioterapi untuk anak dengan disabilitas, namun jarak dan ongkos kendaraan dari rumah ke kota pun tidak murah.  

“Di sini orang biasa saja dengan keadaan Enjel. Kami juga tidak malu. Enjel juga punya teman yang suka main ke rumah, ada dua orang. Jadi kalau dengan masyarakat di sini sudah biasa-biasa,” ujar Ardi. Kedua orang tua Enjel tidak merasa ada bibit diskriminasi bagi anaknya. Namun, di luar rumah, Enjel masih belum memiliki wadah yang cukup inklusif untuknya mengembangkan potensi secara maksimal. 

 

Mengasah Sensitivitas akan Isu Anak dengan Disabilitas 

Menurut estimasi Riskesdas 2018, terdapat hingga dua juta anak penyandang disabilitas di Indonesia. Hampir 30% anak dengan disabilitas di Indonesia tidak memiliki akses ke pendidikan, dan banyak dari mereka yang bersekolah kurang mendapat layanan pendidikan yang sesuai*. Selain sektor pendidikan, anak dengan disabilitas juga mengalami kesulitan akses pada layanan kesehatan, partisipasi, dan terutama perlindungan. 

Pemenuhan hak anak dengan disabilitas merupakan kerja jangka panjang dan melibatkan pemangku pentahelix. Namun, bukan berarti isu ini jadi terasa jauh dari keseharian kita. Menjadi non disabilitas yang lebih sensitif terhadap anak dan dewasa dengan disabilitas bisa dimulai dengan memahami jenis-jenis disabilitas berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

  1. Disabilitas Sensorik, adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera antara lain disabilitas netra, rungu dan atau wicara. 

  1. Disabilitas Fisik, adalah terganggunya fungsi gerak antara lain lumpuh layu atau kaku, paraplegi, cerebral palsy (CP), akibat amputasi, stroke, kusta, dan lain-lain. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh kelainan bawaan. Pada penyandang disabilitas fisik terlihat kelainan bentuk tubuh, anggota gerak atau otot, berkurangnya fungsi tulang, otot, sendi, maupun syaraf-syarafnya. 

  1. Disabilitas Intelektual, adalah suatu disfungsi atau keterbatasan baik secara intelektual maupun perilaku adaptif yang dapat diukur atau dilihat yang menimbulkan berkurangnya kapasitas untuk beraksi dalam cara tertentu. Penyandang disabilitas intelektual adalah penyandang gangguan perkembangan mental yang secara prinsip ditandai oleh deteriorasi fungsi konkrit di setiap tahap perkembangan dan berkontribusi pada seluruh tingkat intelegensi (kecerdasan). Selain mempunyai keterbatasan pada fungsi intelektual, penyandang disabilitas ini juga mempunyai keterbatasan dalam hal kemampuan adaptasi yang menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam hal kemampuan komunikasi, rawat diri, kehidupan di rumah, keterampilan sosial, keterlibatan dalam komunitas, kesehatan dan keamanan, akademik dan kemampuan bekerja. 

  1. Disabilitas Mental, adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku antara lain: (1) Psikososial, misalnya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, gangguan kepribadian, (2) Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, misalnya autis dan hiperaktif. 

Ketika semakin terpapar akan jenis disabilitas, setiap non disabilitas dapat lebih sadar akan keberadaan penyandang disabilitas di sekitarnya. Setelah makin sadar, non disabilitas dapat mulai mengambil sikap yang menyuarakan kesetaraan hak dan kewajiban dengan penyandang disabilitas. Non disabilitas secara sengaja harus membaurkan diri dengan sosok dan kehidupan penyandang disabilitas agar makin paham dan memiliki perspektif yang berpihak pada kesetaraan. Membangun lingkungan inklusif tidak mungkin dilakukan dalam sekejap, tapi justru dimulai dari melakukan kebiasaan sederhana baru tapi berarti untuk pemberdayaan penyandang disabilitas. 

 

Anak dengan Disabilitas Menjadi Fokus WVI 

Anak dengan disabilitas merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan. Wahana Visi Indonesia, sebagai lembaga kemanusiaan yang fokus pada anak, selalu mendeteksi keberadaan anak-anak dengan disabilitas di daerah dampingan. Hal ini tidak mudah karena dibutuhkan sensus atau pendekatan khusus dengan keluarga juga pemerintah desa. Tapi, data kuanitatif dan kualitatif anak dengan disabilitas di desa-desa dampingan WVI dapat tercatat karena adanya program Sponsor Anak. 

Melalui program ini, WVI hadir dan dapat mengetahui kondisi riil dari anak dengan disabilitas di desa. WVI berupaya agar setiap anak, terutama yang paling rentan, dapat terjangkau dan mengalami perubahan. WVI mendampingi anak dengan disabiltias dan keluarganya agar dapat kembali merasakan adanya harapan. Kantor operasional WVI di Manggarai telah menghubungkan anak-anak dengan disabilitas di beberapa desa dampingan dengan tenaga kesehatan fisioterapis. Dalam pertemuan antara orang tua anak dan fisioterapis, transfer ilmu terjadi. Kapasitas orang tua akan disabilitas yang dialami anaknya meningkat, begitu juga mendapat bekal praktik-praktik fisioterapi yang dapat dilakukan di rumah. 

Selain itu, kantor operasional WVI di Lombok sedang mengembangkan pendekatan program yang mengarusutamakan isu-isu anak dengan disabilitas. Inisiatif ini terwujud karena kemitraan yang baik antara WVI sebagai lembaga kemanusiaan, dengan mitra lokal penyedia layanan fisioterapi di Lombok, serta pemerintah desa. Kombinasi potensi yang dimiliki berbagai pihak dapat memicu atau mempercepat perkembangan potensi penyandang disabilitas. 

Wahana Visi Indonesia percaya bahwa setiap anak, dengan segala potensi dan hambatan yang mereka miliki, berhak untuk merasakan adanya harapan. Anda dapat turut ambil peran dalam mewujudkan harapan bagi anak-anak di Indonesia. Bila Anda terlibat, Anda dapat menjadi sosok yang berarti bagi setiap anak, karena bisa jadi, Anda adalah sosok yang menjadi saluran harapan bagi seorang anak yang paling rentan. Dukung seorang anak Indonesia sekarang, klik wahanavisi.org/chosen.  

 

 

*Sumber: https://www.worldbank.org/en/news/feature/2024/02/08/how-indonesia-is-including-students-with-disabilities-in-school-in-rural-indonesia 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait