Bersama Hapus Perkawinan Anak
Meski saat ini masyarakat berada di tengah kemajuan teknologi dan kebudayaan global, tradisi pernikahan anak masih dipertahankan di sejumlah desa dan kampung adat di Indonesia. Salah satunya di Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Fakta ini kerap menjadi tantangan dalam memerangi dampak negatif perkawinan anak, dan turut menjadi fokus Wahana Visi Indonesia (WVI) sebagai organisasi kemanusiaan fokus anak.
Melalui proyek Lenting yang didukung oleh World Vision Korea, WVI melakukan pendampingan dan pelatihan terkait dengan sistem rujukan perlindungan anak kepada masyarakat di Kabupaten Lombok Timur. Hak ini dilakukan untuk mengurangi bahkan menghapus angka perkawinan anak di kabupaten tersebut.
Nur Aini (32), seorang ibu rumah tangga, adalah salah satu yang mendapatkan manfaat dari program tersebut. Setelah mengikuti pelatihan, Nur mendapatkan pengalaman baru dalama mengenal anak.
“Saya coba untuk ikut pendampingan dan pelatihan, yang ternyata banyak hal yang saya baru tahu dan positif sekali karena saya juga punya anak di rumah. Sekarang saya mulai tahu banyak hal,” cerita Nur.
Nur mengaku tidak tahu banyak terkait pernikahan anak di desanya.
“Apabila ada kasus yang terjadi di desa, hanya ditangani oleh kepala dusun dan apabila ada pernikahan di bawah umur, langsung dikawini tidak ada penanganan dari desa. Dan untuk kekerasan (anak) saat ini masih kurang terdengar, mungkin ada tetapi masih tertutup karena mereka (orang tua) masih menanggap hal itu aib,” ungkapnya.
Menurut Nur, setelah menerima pendampingan WVI selama 6 bulan, masyarakat Lombok Timur semakin aktif melakukan berbagai kegiatan terkait kepentingan anak, seperti sosialisasi hak anak kepada anak, melakukan mitigasi perubahan iklim dan melakukan kampanye anak yang berkolaborasi langsung dengan mitra pemerintahan. Demi hasil yang maksimal, dibentuklah Pokja (Kelompok Kerja) untuk menangani isu pernikahan anak di Lombok Timur.
“Setelah pendampingan, kasus anak semakin berkurang, tertangani dengan baik oleh desa, kami ikut terlibat dan saling berkoordinasi dengan pihak-pihak yang turut terlibat juga apabila ada kasus di desa. Kemarin ada kasus anak yang menikah di bawah umur, sekarang tidak dikawini dulu, malah dilakukan pertemuan dengan sekolah, orang tua dan pihak desa untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak langsung mengambil keputusan untuk membiarkan mereka menikah dan sekarang sudah selesai. Bersyukur sekali,” jelas wanita yang juga menjadi kader di desanya.
Tidak hanya sampai ke masyarakat aja ilmu dari pelatihan yang diberikan, tetapi Nuraini yang memiliki anak mulai untuk menerapkan perubahan di dalam keluarga.
“Saya coba untuk mengubah pola asuh saya kepada anak, biasanya kalau anak saya salah, langsung saya marah, Ketika ada masalah dengan suami sampai adu mulut di depan anak sampai down. Kadang marah ke anak tanpa sebab. Sekarang kalau ada masalah menghindar dulu jangan sampai dilihat anak. Kalau marah dengan anak, emosinya agak ditahan. Itu yang kami ambil ilmunya dari pendampingan bersama WVI,” pungkasnya.
Hingga kini, masyarakat masih terus melakukan kampanye atau sosialisasi terhadap perlindungan anak di setiap masyarakat baik pada saat kegiatan di posyandu, dan sebagainya.