Menghentikan Pernikahan Anak, Tanggung Jawab Siapa?
Data 2018 menunjukkan, 1 dari 9 anak Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 1,2 juta perempuan menikah sebelum 18 tahun. Indonesia termasuk dalam 10 negara yang memiliki angka prevalensi menikah yang tinggi. Sejak 2008 hingga 2018 angka prevalensi pernikahan anak hanya menurun 3,5%. Selama pandemi COVID-19, pernikahan anak semakin meningkat.
Hal ini ditandai dengan pengajuan dispensasi pernikahan di Indonesia yang naik dari 23.700 pada tahun 2019 menjadi 34.000 di tahun 2020. Meningkatnya pernikahan anak ini disebabkan diantaranya oleh alasan ekonomi, kehamilan yang tidak diinginkan, bosan belajar dari rumah dan menghindari perzinahan.
Pada paparannya dalam webinar internasional Too Young to Marry bersama organisasi berbasis keagamaan yang diadakan oleh World Vision Asia Pasifik, Selasa (8/6/2021), Alissa Wahid, Koordinator Nasional Gusdurian Network yang juga aktivis demokrasi dan hak asasi manusia, menjelaskan bahwa persoalan pernikahan anak di Indonesia ibarat sebuah gunung es.
Ia mengatakan, di balik berbagai kasus yang mencuat, masih banyak pandangan tradisional di tingkat komunitas, bahwa anak perempuan harus cepat dinikahkan, perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi dan berbagai pandangan lain. Hal ini membutuhkan strategi dan program yang menyeluruh mulai dari regulasi hingga mengubah pola pikir masyarakat untuk menghentikan pernikahan anak.
“Karena itu, selain mendorong kebijakan publik, melakukan penguatan di tingkat akar rumput melalui kerja-kerja organisasi masyarakat sipil, penting untuk bergerak bersama dan meningkatkan kapasitas para pemimpin lokal, para guru, pemimpin muda, dan para pemimpin agama,” tambahnya.
Putri Presiden Indonesia ke-4 ini memaparkan, anak hendaknya tidak terlalu muda untuk menikah, menjadi orang tua dan atau menanggung beban mengurus keluarga apalagi membangun dunia yang lebih baik. Bagi Alissa, sudah selayaknya perlindungan dan pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab bersama
“Ini bukan tentang mereka anak-anak. Mengakhiri pernikahan anak adalah tentang kita," ungkapnya.
Pada webinar tersebut hadir pula Refi (16), dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, seorang anak dampingan Wahana Visi Indonesia (WVI) yang menyampaikan bahwa kondisi pandemi Covid-19 membuat situasi semakin buruk.
"Banyak anak yang menikah di masa pandemi. Hal ini tidak akan terjadi jika orang dewasa di sekitar kami dapat mendampingi dan memberi pengetahuan yang benar kepada kami," kata Refi.
Meski pemerintah Indonesia telah membatasi usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun, kata Refi, anak-anak juga membutuhkan informasi dan pendampingan yang dapat mencegah anak dari pergaulan yang buruk, dan agar anak mengetahui perihal kesehatan reproduksi.
“Kami berharap orang dewasa juga bisa lebih aktif dan responsif, dan bisa menolong kami menciptakan lingkungan dan aktivitas yang positif untuk mengisi waktu,” ujarnya.
Sementara itu, Manajer Advokasi Wahana Visi Indonesia Junito Drias mengungkapkan kasus perkawinan anak perlu dilihat dalam konteks kemiskinan struktural, di mana anak sulit menghindar dari cengkeraman perkawinan anak karena keterbatasan akses ekonomi, pendidikan hingga perlindungan.
“Selain keluarga dan lingkungan sekitar, perlu kebijakan pemerintah untuk mengadakan akses-akses tersebut, supaya orangtua tidak memandang memandang perkawinan sebagai jalan keluar masalah ekonomi atau persoalan seperti kehamilan usia anak,” kata Drias.
WVI melalui program di bidang perlindungan anak terus melakukan upaya sosialisasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat mengenai pencegahan pernikahan anak di 14 provinsi di Indonesia hingga advokasi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.
Ditulis oleh: Amanda Putri, Media Relation Executive Wahana Visi Indonesia