Jangan Ada Lagi Berita yang Tidak Ramah Anak

Jangan Ada Lagi Berita yang Tidak Ramah Anak

“Saya berharap, melalui hasil riset ini, media massa di Indonesia dapat melakukan kolaborasi dengan organisasi anak-anak, tenaga pendidik, atau psikolog anak, supaya berita-berita yang disebarluaskan lebih melindungi anak-anak,” ungkap Rida, satu dari 18 peneliti anak dan pemuda yang pada tahun 2023 ini melakukan riset mengenai pemberitaan media yang ramah anak. 

Hal senada juga disampaikan Indah, salah satu peneliti anak yang juga anggota Forum Anak Jakarta Timur, “Setiap media perlu memvalidasi, perlu ada kejelasannya, perlu detil, dalam setiap berita yang disebarkan. Media harus punya kepekaan terhadap kebutuhan anak, bagaimana caranya menangani wawancara dengan anak-anak, dan paham bagaimana berita bisa berdampak terhadap anak-anak,”. 

Sudah terlalu banyak berita di Indonesia yang tidak melindungi anak-anak. Utamanya berita-berita tentang kasus kekerasan terhadap anak, baik anak sebagai penyintas ataupun pelaku. Walaupun Indonesia telah memiliki Kode Etik Jurnalistik dan peraturan Undang-undang mengenai perlindungan anak, namun masih muncul berita-berita yang tidak ramah anak. Hal ini menjadi salah satu hal yang menarik perhatian Forum Anak Jakarta Timur yang didukung oleh WVI. 

Selain menyalahi aturan, luputnya berita-berita ini pun berdampak buruk dan berkepanjangan bagi anak yang dimuat di dalam pemberitaan. Dari 100 berita yang dianalisa oleh tim peneliti anak dan pemuda Jakarta Timur, 20% di antaranya masih tidak merahasiakan identitas anak, khususnya yang diduga, disangka, atau didakwa melakukan pelanggaran hukum. 

“Ketika menganalisa, ada berita yang muncul tanpa verifikasi dengan keluarga anak terlebih dahulu. Media sudah menyebarkan secara terbuka padahal harusnya perlu verfikasi juga ke pihak yang berwajib seperti kepolisian,” tutur Rida. Akibatnya, ketika identitas anak tersebar ke khalayak luas, anak dapat menjadi sasaran kemarahan yang tidak beralasan. Hal ini sangat membahayakan kehidupan anak saat itu, dan bahkan menjadi cap yang buruk di masa mendatang. 

Selain bocornya identitas anak dalam berita, cara berita bertutur pun seringkali tidak memberikan nuansa yang positif. Hal ini pun menjadi sorotan utama dalam riset media ramah anak ini. Angel, anggota tim peneliti mengungkapkan, “Salah satu media online besar di Indonesia memberitakan informasi yang sensitif dengan kesan negatif. Akibatnya, anak yang terkait trauma dan berita itu menggiring perspektif pembaca ke hal yang kesannya jorok, jijik,”. Apa yang Angel paparkan pun divalidasi dengan hasil riset media ramah anak yang mengungkap bahwa 1 dari 3 berita masih gagal memberikan pesan yang positif, bahkan mendeskripsikan informasi dengan cara yang tidak patut.  

Praktik pemberitaan yang seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik yang mengatur bahwa wartawan atau jurnalis Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Sehingga, seharusnya berita-berita mengenai kasus kekerasan terhadap anak juga disusun berdasarkan fakta, dengan menggunakan kalimat, narasi, visual, dan audio yang bernuansa positif, empati, dan tidak membuat deskripsi atau rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual atau sadistis. 

Tim peneliti anak yang menggarap riset ini pun memiliki kekhawatiran akan dampak berita-berita yang tidak ramah anak pada para khalayak anak. “Rata-rata pengguna gawai itu Generasi Z, usianya bisa dari 10 sampai 15 tahun, sehingga media dan kontennya itu harus sesuai usia khalayak. Karena saya lihat bisa mempengaruhi ke kondisi mental anak-anak. Misalnya terlalu banyak melihat konten ujaran kebencian, isinya kan sarat kekerasan dan kebencian, itu tidak ada pengaruh positifnya,” cerita Zaky, yang juga salah satu anggota tim peneliti. 

Dengan melakukan child-led research mengenai media ramah anak ini, para tim peneliti ingin agar tidak ada lagi siaran atau berita yang tidak melindungi anak-anak Indonesia. Tim peneliti menegaskan agar Dewan Pers selaku pengawas hilir-mudik berita di Indonesia dapat memberi sanksi bila hal seperti ini masih dipraktikkan. Bukan hanya lingkungan tempat tinggal yang aman, tapi di era digital saat ini, setiap anak pun perlu merasa aman dalam lingkungan pemberitaan. “Supaya anak merasa lebih terlindungi dari konten yang dapat menimbulkan ketakutan atau kecemasan yang tidak perlu,” ujar Indah. Begitu juga dengan Zaky, “Berita yang ramah anak akan membuat anak-anak semakin merasa dihargai dan diperhitungkan,”. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive

Kontributor: Tim kantor operasional WVI untuk area Jakarta Timur 


Artikel Terkait