Memulihkan Harapan: Belajar Resilien dari Pelayanan Angelina Theodora

Setiap pekerjaan yang datang dari hati memiliki makna dan risiko tersendiri. Di satu sisi, seseorang bisa merasakan sukacita karena pekerjaannya membawa perubahan bagi orang lain. Tapi di sisi lain, ada optimisme dan energi positif yang terus keluar tapi mungkin abai diisi kembali.
Pekerja kemanusiaan adalah salah satu profesi yang memiliki karakter tersebut, terutama bila harus terjun dalam tanggap bencana. Situasi yang kacau bahkan kadang mencekam, menyaksikan kehilangan, dan mengupayakan keselamatan memberi tekanan yang sangat intens. Semua harus dilakukan cepat dan tepat sehingga bukan hanya kekuatan fisik yang diuji, tapi juga kesiapan hati.
Angelina Theodora, saat ini berperan sebagai Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia, banyak mengisi perjalanan karirnya di dunia kemanusiaan melalui serangkaian program tanggap bencana. Satu pembelajaran berharga yang ia dapat dari pengalaman tersebut adalah pentingnya memastikan bahwa hati kita tetap penuh dengan harapan yang siap dibagikan pada sesama.
“Saya sempat meninggalkan dunia kemanusiaan. Salah satunya, setelah saya ikut tanggap bencana gempa bumi di Gujarat, India. Sebelum saya terlibat dalam tanggap bencana gempa di Gujarat, tahun 2000-2001 saya terlibat dalam tanggap bencana lain di India, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya dalam hitungan bulan. Antara tahun 1999-2000 saya terlibat tanggap bencana di Timor Leste. Saat itu saya tidak menyadari bahwa saya lelah secara mental karena secara fisik saya merasa baik-baik saja,” cerita perempuan yang akrab disapa Angel ini.
Puncak keletihan fisik dan mental yang Angel alami terjadi saat ia harus menempuh perjalanan darat belasan jam menuju pusat gempa di Gujarat. Sepanjang perjalanan, Angel dan tim tanggap bencana lainnya harus menyaksikan begitu banyak kesedihan dan kerentanan ekstrim. “Setiap kami berhenti untuk membagikan perlengkapan darurat, kami mendengarkan kesedihan keluarga yang mencari anggota keluarga yang hilang tertimbun reruntuhan. Kurang lebih sebulan setelahnya saya mulai merasakan tanda-tanda kelelahan mental, tidak stabil secara emosional. Misalnya, tiba-tiba ingin menangis pada waktu yang tidak terduga dan tanpa alasan yang jelas. Ketika kelelahan mental ini juga diikuti dengan kelelahan fisik karena saya demam dan kehilangan nafsu makan, akhirnya tahun 2001 saya memutuskan untuk berhenti, saya ingin istirahat, dan memikirkan apa yang mau saya lakukan setelah ini. Apakah dunia kemanusiaan akan jadi pilihan saya ke depannya,” ujarnya.
Pengalaman ini sangat berharga untuk Angel, belajar mengenai pentingnya kesehatan mental dan membangun resiliensi pribadi. Kurang-lebih tiga tahun Angel memutuskan untuk mengambil jarak dengan dunia kemanusiaan. Di tahun 2004, ketika salah satu bencana terbesar di abad 21 terjadi, Angel memutuskan untuk kembali. Tsunami Asia, yang biasa dikenal masyarakat Indonesia dengan Tsunami Aceh, memberikan dampak luar biasa pada anak dan masyarakat di beberapa negara. Saat itu, World Vision merupakan salah satu lembaga non pemerintah yang turut menjadi first responder untuk membantu anak dan masyarakat yang terdampak di Indonesia, India, Sri Lanka, dan Thailand.
“Saya dihubungi oleh World Vision India saat itu. Sebenarnya saya tidak ada rencana untuk kembali ke dunia kemanusiaan, ataupun ke World Vision, tapi karena yang memanggil saya adalah WV India, saya merasa Tuhan memberi kesempatan untuk menebus penyesalan saya,” ungkap Angel.
Kembali pada Cinta Pertama
Walaupun pernah menjauh, namun dunia kemanusiaan tetap dekat di hati Angel. Ia mengibaratkan dunia kemanusiaan seperti cinta pertama. “Pengalaman pertama yang paling berkesan. Memberikan saya kesempatan untuk refleksi juga. Bahwa ada pekerjaan dan pelayanan yang tidak hanya saya sukai tapi saya bisa berkontribusi, melakukan hal-hal yang baik,” kata perempuan yang telah meraih gelar master dari salah satu universitas di Australia ini.
Keputusannya untuk berhenti dari dunia kemanusiaan sebenarnya sangat manusiawi. Intensitas kerja tanggap bencana yang sangat tinggi membuat Angel berada di posisi sulit. Berpindah dari tanggap bencana satu ke tanggap bencana lain tanpa jeda membuat Angel melewatkan waktu untuk menilik ke dalam dirinya hingga akhirnya burnt out.
“Waktu saya selesai di tahun 2001 itu, karena saya burnt out, saya berhenti dengan penyesalan. Saya tidak bisa memberikan pelayanan yang terbaik pada saat itu karena saya sendiri terlalu letih untuk bisa melayani,” ceritanya. Angel merasa bahwa pekerjaan kemanusiaan bukan hanya soal kesuksesan implementasi program. Namun yang terpenting, berperan sebagai pembawa harapan bagi anak dan masyarakat yang didampingi. Sebagai staf, jika di dalam hati hanya tersisa keletihan, kesinisan, dan pesimisme, tidak akan mungkin dapat membawa harapan untuk siapapun. Pekerjaan pun dilakukan untuk pencapaian di atas kertas semata, tidak membawa sukacita di hati.
Dalam kondisi burnt out, Angel sadar bahwa ia sudah tidak mampu lagi bekerja maksimal. Keputusan untuk berhenti ia ambil dalam ketidakberdayaan dan ketidakpuasan akan hasil kerjanya sendiri. Hal ini yang menjadi sumber penyesalan Angel.
Belajar dari pengalaman ini, Angel menyimpulkan, “It is okay to leave especially when you are leaving to invest in you. Memperbaiki relasi dengan Tuhan, keluarga, dan diri sendiri. Membuat diri jadi lebih utuh supaya bisa kembali dengan 100% juga,”. Refleksikanlah secara rutin, apakah kita masih mampu menjalankan misi sebagai pembawa harapan. Peka mengenali apakah kita masih bisa memberikan yang terbaik atau sedang berada di titik terjenuh. Jangan tunggu sampai burnt out karena kondisi ini sebenarnya merugikan diri sendiri.
Memelihara Komitmen, Merawat Semangat
Selama 21 tahun Angel telah menjalani pasang-surut pekerjaan kemanusiaan yang sebagian besar berkecimpung di sektor humanitarian and emergency affairs di luar Indonesia. Angel pernah menjadi bagian dari kemitraan World Vision di Timor Leste, India, dan Nepal. Ia mulai berkarya sebagai Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia sejak tahun 2021.
“Secara pribadi, pengembangan diri yang paling saya rasakan selama berkarya bersama WVI adalah pertumbuhan spiritual. Menjadi pekerja kemanusiaan bersama organisasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Kristiani membantu saya untuk menjadi pribadi yang lebih utuh, selalu berusaha menyelaraskan karya pelayanan serta tindakan dan pilihan pribadi dengan nilai-nilai yang saya percayai,” ungkapnya.
Karirnya diwarnai dengan peran sebagai pemimpin perempuan di berbagai konteks. Pengalaman dan pengembangan pribadi ini sangat membantu Angel dalam memegang perannya sebagai Direktur Nasional WVI. Namun, bagi Angel, bukan hanya hal-hal tersebut yang utama. Menjadi pribadi yang menghidupi nilai dan prinsip organisasi menjadi hal yang paling penting. “Saya selalu menekankan pada para direktur dan manager bahwa kita harus selalu bisa merangkul perubahan. Jangan kita menggaungkan ke masyarakat tentang perubahan, tapi kita sendiri enggan berubah. Kalau kita tidak menghidupi prinsip perubahan, bagaimana kita mau menjalankan perubahan,” jelasnya.
Komitmen, menjadi salah satu hal yang Angel pelihara di masa kepemimpinannya saat ini. Ia telah menyadari pentingnya merefleksikan dan memelihara komitmen pribadi, bagi dirinya sendiri serta seluruh staf Wahana Visi Indonesia. Sebagai seorang pemimpin, ia berperan penting untuk memastikan dan menghargai komitmen setiap staf. “Bekerja dengan teman-teman adalah salah satu hal yang saya syukuri. Setiap kali saya melihat staf yang berkomitmen di WVI padahal mungkin ada peluang di tempat lain, itu sangat berarti buat saya,” ujarnya.
Keputusan untuk tetap berkarya di dunia kemanusiaan Angel dapatkan setelah mengambil jeda dan menelaah apa yang sudah terjadi secara lebih menyeluruh. Kini, ia memelihara komitmen dan merawat semangatnya dengan mengingat bagaimana anak dan masyarakat benar-benar merasakan perubahan. “Terutama kalau anak dan masyarakat bisa berartikulasi dengan otentik, bagaimana kemitraan mereka dengan WVI. Bisa menceritakan, bukan melulu karena bantuan WVI, tapi bagaimana peran serta mereka dalam mewujudkan perubahan-perubahan di masyarakat,”. Ia pun secara sadar menyediakan waktu untuk beristirahat dan berjarak dengan pekerjaan agar dapat mengisi hati. Hati yang penuh akan mendukung komitmen dan semangat bekerja.
Risiko pekerja kemanusiaan memang cukup besar. Namun di sisi lain, pekerjaan ini juga dapat memperluas hati. Angel sendiri telah merasakannya. “Bila merasa ingin mengisi hidup ini dengan arti, silahkan ke dunia kemanusiaan. Selama masih bisa melayani, layanilah dengan sepenuh hati,” pungkasnya.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)